“.... dan bunga Kanijaya akan tumbuh bermekaran. Semua telah termaktub dalam wujud kesaksian, yang berada di tempat paling tinggi.”
Dengan terbata-bata Aradhea membaca bait terakhir dari prasasti Puncak Langit.
“Baiklah, Ade, mari kita lanjutkan perjalanan,” ujar Supriyadi selaku tokoh yang menggagas jalan sejak awal keberangkatan, seraya menunjuk pada tebing yang tampak membentang dari kejauhan.
“Di balik tebing itu kita bisa menjumpai perempuan berambut merah,” lanjutnya dan bergegas jalan.
Mereka pun melangkah melewati jalan setapak di belakang Prasasti. Menuju tebing batu berwarna hijau kecoklatan yang tampak sangat lebar dan tinggi.
“Ngiiiiiiiingggg...”
Belum seberapa jauh mereka melangkah, Aradhea mendengar suara desingan panjang di dalam telinga. Ia lantas terdiam sejenak, lalu memanggil Supriyadi dan Juris.
“Mohon maaf, Pak, bisa tunggu sebentar,” pintanya. Dua orang tua di depannya itu pun menengok.
“Yah, ada apa?”
“Hati Ade mengatakan, kita jangan lewat sana, Pak,” ujarnya.
Aradhea mampu merasakan kehadiran Tuan Guru meskipun berada di Salakabuana. Sangat paham, jika Tuan Guru ada di belakangnya sambil berbisik tentang sesuatu.
“Maksudnya?” kedua pinisepuh itu bertanya.
“Kita jalan lewat hutan sebelah sini.” Tangan Aradhea menunjuk pada satu arah di sebelah kanan, berupa rerimbun semak belukar berdaun ungu muda. Pohon-pohon besar bertengger di atas tanah light cyan kehitaman yang tampak cukup rapat pada arah yang ditunjuk.
Supriyadi dan Juris saling berpandangan. Merasa ‘yakin tak yakin’ dengan apa yang dikatakan pemuda itu. Tetapi sebentar kemudian, mereka berdua sepakat walau tanpa berbicara apa-apa. Mereka yakin oleh sebab Aradhea adalah seorang yang mampu membaca tulisan dari prasasti Puncak Langit.
“Baiklah..., sekarang Ade berada di depan kami,” ucap keduanya, dengan tangan mempersilakan.
Aradhea memejamkan mata sejenak, guna mencermati, apakah Tuan Guru masih sedia membimbingnya untuk menyampaikan petunjuk jalan? Yah, pemuda itu sungguh merasakan sentuhan-Nya yang adigung, petunjuk-Nya yang adiluhung, dan kepedulian-Nya yang adiguna.
“Terima kasih, Pak Supriyadi dan Pak Juris, sudah mengijinkan Ade.” Ia lantas berjalan di depan mereka.
Hanya dengan beberapa langkah mereka mengikuti Aradhea, hutan yang mereka lalui mendadak bersilih menjadi sebuah ruang kosong. Bentang alam yang tertampak pun perlahan-lahan berubah secara berkesinambungan. Laksana waktu siang yang berganti malam dalam tempo yang relatif singkat.
Pertama-tama, ruang kosong itu tampak sangat gelap hingga tidak terlihat adanya apa pun. Namun seiring mereka melangkah, hadirlah titik-titik yang berpendapar beraneka warna. Ruang kosong yang mereka lalui bagaikan jalan menuju luar angkasa, di mana bintang-bintang gemerlapan memenuhi apa yang terlihat.
Semakin lama, vista yang tampak pun berubah menjadi sebuah ruangan luas memanjang seperti lorong yang terang dan bersih. Penerangannya berasal dari dinding ruangan yang mengeluarkan cahaya putih kehijauan.
Mereka terus berjalan melewati lorong besar itu sampai berada di tempat bernama ‘Oh Nabe Kenanya’, yang berarti ‘tiga menjadi satu’ atau kata lain dari percabangan tiga, — pertigaan jalan — mereka baru berhenti.
“Yah... Aku tahu jalan ini,” kata Supriyadi pada Aradhea dan Juris.
“Kalau kita masuk dari badan gunung di balik tebing, kita akan keluar dari ruangan ini.” Tangannya menunjuk pada satu arah jalan. “Saya ingat, ini adalah jalan yang pernah diberitahukan oleh orang tua saya ratusan tahun yang lalu,” lanjutnya.
Aradhea tersenyum. “Iya, Pak. Tapi tempat ini seperti labirin. Jika belum pernah datang ke sini tanpa perwakilan, niscaya akan tersesat dan tidak bisa kembali.”
Supriyadi dan Juris agak terkejut mendengar penuturan Aradhea. Dugaan mereka memang tidak salah ketika berada di puncak Gunung Kasepuhan. Melihat pemuda itu laksana cahaya terang yang memancar dari kejauhan.
Aradhea juga tidak akan mengetahui hal tersebut, jika bukan karena Tuan Guru yang berbisik padanya. Sementara, tiada seorang pun dari mereka yang dapat melihat keberadaan Tuan Guru.
“Kita tidak mengambil jalan yang ada di sini. Mungkin Pak Supriyadi dahulu melewati jalan ini,” tunjuk Aradhea pada salah satu jalan di ‘Oh Nabe Kenanya’.
“Tapi sekarang kita tidak bisa melalui jalan ini lagi, karena kita pasti akan tersesat,” sambung pemuda itu seraya melihat lorong yang tampak seperti labirin tanpa jarak.
“Lantas, kita lewat jalan mana?” tanya pria tinggi berwajah cerah itu.
Aradhea menunjuk ke atas. “Jalan ini, Pak.”
“Hah...!” tiga orang di depannya itu tampak terkejut, karena memang di atas pertigaan jalan bukanlah sebuah lorong, melainkan dinding bebatuan, serupa atap sebuah gua yang bercahaya.
“Baiklah, Pak. Saya jalan duluan.” Aradhea langsung melompat. Duljana yang memang amat taklid padanya segera menyertai. Akhirnya, Supriyadi dan Juris juga mengikuti mereka.
Benar saja. Dinding bercahaya itu memuai dan menjauh. Seperti permukaan balon yang sedang ditiup. Keempatnya pun berada di dalam sebuah ruangan yang luas.
“Ah, saya tahu ruangan ini, De.” Supriyadi mengamati area sekeliling ruangan. Strukturnya bagaikan batu-batu kali bulat berukuran besar yang disusun dengan pola yang sangat rapi. Berwarna biru denim.
“Perempuan berambut merah berada di sana, di ruangan berdinding marmer.” Ia menunjuk salah satu lorong jalan yang ada di ruangan itu.
“Mari, Pak, kita temui sekarang,” kata Aradhea dengan semangat.
“Mari, mari.”
Mereka segera bergerak menuju ruangan marmer. Tetapi di tengah perjalanan, terdengar sayup-sayup suara seseorang, bersamaan dengan suara napas yang terdengar jelas.
“Mendekat. Mendekatlah padaku wahai anak Adam, putra Bram Pujianto. Mendekatlah.”
Aradhea berhenti melangkah dan mencari sumber suara. Duljana terkejut mendengar nama seseorang yang ia kenal, disebut oleh suara tanpa rupa itu.
Supriyadi dan Juris juga ikut terdiam melihat Aradhea berhenti jalan.
‘Greggg...’
Tiba-tiba salah satu batu kali bulat berukuran besar yang ada di permukaan dinding mulai terbuka, hingga menampilkan sebuah lorong kelam dan redup berserta asap-asap tipis. Seperti gorong-gorong yang tampak dari depan dan dilihat pada waktu sore hari.
Dari kejauhan, terlihatlah sesosok makhluk yang sedang berjalan mendekat ke arah mereka.
Makhluk tersebut baru saja keluar dari sebuah ruangan yang ada di kiri lorong gelap tersebut, yaitu ruangan tempat ia mengendalikan Jodi Pratama, Eko Nugroho, Nanda Dimas Prakoso, Sri Lastri Sekar Kasmirah, Warman, dan Rahman.
Supriyadi dan Juris mundur dua langkah ke belakang Aradhea, bahkan berada satu tapak kaki di belakang Duljana. Raut wajah mereka yang semula tercermin kematangan, ketenangan, serta kebijaksanaan, seketika berubah menjadi panik dan takut. Rupa-rupanya mereka sudah tahu mengenai makhluk itu. Sosok jahat yang mengadakan perjanjian dengan ayahnya warmo, menjadi tuan guru bagi pria itu, dan kemudian menjadi biang petaka dan kutukan pada keluarganya.
“De,” Supriyadi berbisik pada Aradhea. “Itu adalah iblis yang senantiasa mengganggu manusia. Kami dapat merasakan betapa besar energi dirinya,”
“Yah..., hanya dengan satu dengusan napas saja, ia dapat mencuci pola pikir seorang manusia,” ujar Juris yang juga mengetahui hal tersebut.
“Sungguh, kami tak kuasa menghadapinya. Kalaupun berhadapan dengannya, niscaya kami akan wafat hanya dalam beberapa detik saja,” balas Supriyadi.
“Cepat kita pergi dari sini, De, sebelum makhluk laknat itu melihat kita,” ujar keduanya.
“Percuma, Pak. Makhluk itu sudah mengetahui kedatangan kita. Di antara kita harus ada yang menahannya.” Aradhea menengok.
Dua orang pinisepuh itu juga paham, sang iblis memang terlihat berjalan dengan santai. Tetapi apabila mereka pergi meninggalkan tempat itu, maka dia pasti akan bergerak secepat kilat dan menghadang mereka.
“Baiklah, kami serahkan urusan ini kepadamu.” Supriyadi menepuk pundak Aradhea.
“Ya sudah, silakan Bapak-Bapak pergi.”
“Baiklah, De. Terima kasih,” ujar keduanya, seraya bergegas jalan menuju lorong ruangan marmer.
Aradhea menengok pada Duljana. “Dul..., sana, kamu ikut dengan mereka.”
Duljana hendak menjawab, namun mulutnya belum juga bisa bicara. Laju pikirannya hanya menduga-duga, kalau semua ini pasti berkaitan dengan masalah keluarga Tante Lastri. Ia lantas memandang serius pada sang kakak sembari menjawab dari dalam hati.
“Enggak, Mas..., lebih baik Duljana meninggal bersama Mas Ade.”
Aradhea tersenyum. “Oke, kita tunggu di sini aja,” gumamnya sambil bergeser sedikit, tepat di depan Duljana selayaknya dinding yang membentengi.
“Lagipula aku sudah berjanji pada seseorang. Jika kami bertemu, aku harus membunuhnya,” sambung pemuda itu, teringat pada sebuah catatan yang ia tulis di aplikasi Evernote dalam ponsel.
Duljana tambah yakin dengan praduganya, begitu mendengar pengakuan langsung dari sang kakak. Padahal dahulu ketika ditanya, ia seolah-olah enggan berbicara tentang masalah ini.
Mereka lalu menatap sesosok iblis yang berjalan di tengah-tengah lorong gelap berkabut.
“Huahahaha...” suara tawa terdengar keras menggelegar di seantero lorong.
“Dua makhluk bodoh yang memilih tersesat di tempat ini.”
Tiba-tiba sosok tersebut sudah ada di batas dinding batu bulat yang terbuka, jarak lima meter dari Aradhea dan Duljana. Tampaklah keseluruhan fisik dari sosok iblis tersebut. Bentuk wajah dan badannya seperti iguana besar berekor panjang yang berdiri dengan dua kaki, namun dengan dahi dan rahang yang agak panjang. Tatap matanya berwarna merah. Lidahnya lentur dan panjang, membasuh-basuh wajah dan mulutnya.