There’s a sign on the wall, but she wants to be sure
Cause you know sometimes words have two meanings
In a tree by the brook, there is a songbird who sings
Sometimes all of our thoughts are misgiven
Ooh, it makes me wonder
Ooh, it makes me wonder
Seorang gadis tampak mengajari temannya, bagaimana cara bernyanyi. Dalam ruangan tertutup di depan sebuah layar besar dan terpampang lirik lagu yang tengah dinyanyikan.
Alunan musik yang sebelumnya amat lembut pun kian menjadi cepat, sampai pada suara gitar yang dominan.
“Lo kurang pede, hahaha.” Gadis itu menyikut pelan bahu sang teman yang duduk di sampingnya.
“Udah, pede aja. Anggaplah gue gak ada. Anggaplah lo bernyanyi sendiri,” lanjutnya dengan nada memotivasi. Sang teman hanya tersenyum sambil menikmati alunan musik.
“Ok..., setelah ini kita nyanyi bareng-bareng yaa. Lepas aja suara lo. Fokus sama rasa, musik, dan lirik. Penilaian dari orang lain tuh gak penting, yang penting adalah gimana lo bisa menikmati suara lo sendiri.”
“Ayo kita mulai,” gadis bermahkota terikat ekor kuda itu menarik napas sambil tersenyum pada temannya yang berwajah hitam manis. Mereka pun bernyanyi bersama.
And as we wind on down the road
Our shadows taller than our soul
There walks a lady we all know
Who shines white light and wants to show
How everything still turns to gold
And if you listen very hard
The tune will come to you at last
When all are one and one is all, yeah
To be a rock and not to rooooooooll
And she’s buying a stairway…, to heaven.
***
Di sebuah tanah tidak rata berwarna abu-abu gelap kemerahan, sesosok makhluk betina tengah berjalan sambil menyeret empat orang dengan rantai tipis. Empat orang itu adalah budak-budak yang dahulu telah melakukan perjanjian dengannya. Keempat budak laki-laki itu merintih kepayahan menahan rasa sakit. Leher mereka tercekik rantai tipis tajam yang teramat kuat.
Makhluk betina itu terus menyeret mereka tanpa sedikit pun perasaan iba.
Wujudnya adalah serupa manusia, namun tangan dan kakinya sama panjang. Jika sedikit membungkuk, maka kedua tangannya dapat menyentuh tanah. Wajahnya juga berbentuk manusia, tetapi sangat tidak enak dipandang. Sepertinya siapa saja yang melihat pasti berkata enggan, tak rela dan berpaling, karena ia memiliki rupa yang teramat buruk.
Rambutnya panjang, besar dan jarang. Telinganya lancip seperti bangsa Elf, tetapi justru meruncing ke bawah. Bentuk matanya besar dan bulat, dengan lingkar kelopak mata berwarna cokelat kehitaman, sklera mata berwarna hijau tua, iris dan pupil masing-masing berwarna merah lembayung dan merah menyala. Dagunya kecil runcing. Mulut sangat lebar sampai melingkar setengah di leher, juga seringkali menjulurkan lidah seperti kelompok hewan berjenis reptil.
Sosok makhluk betina itu terus menyeret keempat budak, sampai ia menengadah ke langit karena merasa kondisi cakrawala berubah.
Langit di tempat itu hanya terlihat permukaan bawahnya saja, yakni berupa awan-awan hitam yang sangat tebal dan tidak mengandung hujan.
“Nyaiiiiiiiiii...!!”
Tiba-tiba ia mendengar suara melengking dan menggema di seantero jagad di sana. Seakan-akan suaranya tembus dari dasar bumi.
“Muridku!”
Ia menggeram dan melakukan gerakan badan seperti orang yang menari, lalu melepaskan rantai di tangannya.
Sekejap kemudian dirinya berada di sebuah lorong dengan struktur dinding sepeti batu-batu kali bulat berukuran besar berwarna biru denim. Ia bergerak cepat sambil melihat-lihat area sekitar seperti mencari sesuatu.
Sosok makhluk betina itu terkejut melihat iblis hijau terkapar tak bergerak. Urat-urat di wajah dan tangannya menegang kaku sembari berjalan mendekat. Ia tidak sedih, hanya merasa rugi saja. Ia paham, sosok yang dianggap sebagai murid dan selalu menuruti kehendaknya itu sudah mati.
Sosok makhluk betina kemudian menghentakkan rantai tipis yang tersambung dari dalam perutnya. Seketika itu juga rantai tersebut secara otomatis mengikat leher, badan dan kaki sang iblis hijau.
Ia berpikir sejenak dan berkesimpulan, jika dirinya sudah dirugikan oleh oknum yang telah membunuh sang murid.
Raut wajahnya sangat marah. Sorot mata memandang tajam pada kejauhan.
“Ini pasti ulah manusia. Muridku tidak akan pernah kalah kecuali melawan manusia. Aku bersumpah demi Sang Pangeran Kegelapan, aku akan mencari sosok yang berani ikut campur urusanku...!!”
***
Sore hari pukul 15.30, Sukaesih menelepon Bram dengan meminjam ponsel tetangga. Jelas, ada hal penting yang ingin disampaikan oleh wanita setengah baya itu kepadanya.
“Baiklah, Bule, saya akan ke sana sekarang.”
Selesai berbicara lewat telepon, Bram segera berkunjung ke rumah Sukaesih. Menurutnya, kecil kemungkinan bilamana wanita jujur itu akan menelepon dirinya, kecuali ada sesuatu yang penting atau berkaitan dengan permasalahan keluarganya.
Mereka kemudian berbincang di ruang tamu, duduk berhadap-hadapan.
“Semalam, Bule mimpi ketemu sama mbak Sekar Kasmirah, Mas. Dalam mimpi, beliau berada di sebuah taman yang sangat luas. Rumputnya hijau, banyak bunga yang sedang mekar. Mbak Sekar Kasmirah memakai selendang yang putih bersih. Wajahnya putih bercahaya, terus tersenyum sama Bule. Beliau lalu bilang sama Bule, kalau semuanya sudah selesai, beliau juga bilang terima kasih sama Bule.”
Sukaesih mengusap mata karena rasa sedih. Sementara Bram tampak menahan tangis, menatapnya dengan mata lembab.
Sukaesih kembali berkata sambil terisak. Suaranya terdengar berat dan terpatah-patah.
“Mas Bram sudah bisa tenang sekarang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, karena semua masalahnya sudah selesai. Tidak akan ada lagi kematian keluarga. Mas Bram juga musti bersyukur, karena mbak Sekar Kasmirah sudah berada di tempat yang enak. Sudah tenang di alam sana.”
Bram kemudian beranjak dari tempat duduk.
“Terima kasih, Bule.” Pria dewasa tampan dan rapi itu mengatupkan kedua tangan di depan dada. Satu tetes air mata mengalir dari matanya yang lembab.
Setelah itu ia bergegas keluar rumah tanpa pamit.
Sukaesih tetap duduk sambil menangis. Wanita itu memaklumi kondisi psikologis tamunya. Memberikan ruang pada Bram untuk menenangkan diri.
Pukul 17.30, Bram berdiri di sisi makam sembari memejamkan mata. Merasakan angin sejuk yang membelai rambut dan kulit. Kepalanya menengadah seraya membuka mata, melihat burung-burung kecil yang terbang riang mengepakkan sayap. Seakan-akan bernyanyi di bawah naungan langit biru berawan putih.
Ia kemudian duduk di sisi makam, melihat satu nama pada batu nisan.
“Lastri..., Aku sungguh meminta maaf padamu. Aku sangat menyesal dengan apa yang sudah aku lakukan terhadapmu. Aku sangat bodoh. Sangat bodoh, tidak berani berterus-terang, karena rasa takut dan silau oleh harta warisan keluargamu.” Bram menarik napas panjang, kemudian menundukkan kepala.
“Yah, aku adalah putra dari Ilham Effendi. Seseorang yang telah dibunuh oleh ayahmu.” Ia membuka mata, melihat kembali pada huruf berwarna hitam yang tertera di batu nisan.
“Dulu ibuku selalu berkata, ayahku belum bisa tenang di alam sana sebelum aku membalaskan dendamnya. Aku telah buta. Aku hanya memanfaatkanmu saja. Menikah denganmu hanya untuk membalas dendam. Aku juga tidak pernah menyangka, kalau aku benar-benar jatuh cinta padamu.” Bram memukul batu nisan, kemudian memeluk gundukan tanah sambil menangis’
“Menjalani waktu demi waktu bersamamu, adalah hal yang paling indah dalam hidupku. Maaf… maafkanlah aku, Lastrii.”
***
Di salah satu wilayah sekitar pohon cahaya berada, terdapatlah sebuah telaga yang airnya sangat jernih. Saking jernihnya, apabila seseorang melihat ke dasar telaga, maka akan terlihat sebuah bangunan yang berwarna emas. Namun, bangunan yang terlihat bukanlah pantulan dari bangunan yang berada di atas atau di sisi telaga, melainkan bangunan yang benar-benar berada di dasar telaga.
Bangunan tersebut merupakan salah satu tempat paling sepi dan sunyi, yang berada di Salakabuana, khususnya di Gunung Puncak Langit.
Dari dalam bangunan itulah perempuan berambut merah berasal.
Kondisi alam di area sekitar telaga senantiasa diam dan syahdu, atau justru bergerak statis. Tidak ada pergerakan alam. Tidak siang atau pun malam. Seakan-akan langit yang menaungi tidak pernah berubah semenjak awal diciptakan.
Perempuan berambut merah sedang berjalan-jalan di pinggir telaga. Wajahnya tersenyum ketika mendengar suara pengakuan seseorang yang identitas dirinya pernah ia gunakan. Yaitu anak dari korban pembunuhan yang dilakukan seseorang di pinggir lapangan pada malam bulan purnama, Bram Pujianto bin Ilham Effendi.
Saat iblis hijau menanyakan siapakah dirinya, ia sengaja memakai identitas Bram — anak korban — karena kesal padanya ketika melihat di Firyis Kenarya.