"Mau dianter nggak?"
***
Ruangan bercat warna pastel itu terlihat lebih berantakan daripada biasanya. Beberapa barang bahkan mangkir dari tempatnya. Selimut bulu tebal bergambar kartun berwarna kuning pun tergeletak di bawah kasur begitu saja. Sementara sang pemilik kamar, gadis berambut ikal sebahu itu menenggelamkan kepalanya pada bantal. Beberapa kali pula terdengar helaan napas yang menyiratkan kegundahan hatinya.
Bila, pemilik kamar itu kemudian terduduk tiba-tiba di atas kasurnya, mengacak-acak rambutnya, Bila berteriak penuh frustasi. Ingatannya berkelana, mengingat apa-apa saja hal memalukan yang sudah dilakukannya hari ini.
"Kenapa mau ditunjuk buat ikut olimpiade?"
Bila terkejut, sedari tadi keadaan diantara mereka hanya hening senyap tanpa sepatah kata. Kemudian, Bila mendekatkan wajahnya ke depan, menjawab pertanyaan dari seseorang yang menawarkan tumpangan tadi.
"Masih lurus terus kak, nanti kalau belok aku tepuk pundak Kak Bian ya," jawab Bila dengan suara agak keras bermaksud agar suaranya terdengar oleh Bian.
Tanpa sepengetahuan Bila, Bian hanya terkekeh geli menatap spion motornya. Berpikir bahwa adik kelasnya satu itu ternyata cukup menggemaskan.
Bila kembali mengusak kepalanya frustasi, itu baru satu dari sekian hal yang memalukan yang baru saja terjadi hari ini.
Mencoba mengalihkan pikirannya dari bagaimana besok menghadapi Bian dan menutupi rasa malunya dari laki-laki itu, Bila memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurnya menuju meja belajarnya. Dia sudah membawa beberapa buku latihan soal yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah tadi. Bila hanya perlu memahami penyelesaiannya, dan besok bisa mendiskusikan bersama Bian atau guru matematikanya, Pak Adnan.
Bian. Bila kembali menggerutu kesal karena bayang-bayang tentang laki-laki itu kembali mengusik pikirannya. Mengabaikan buku yang sudah dibukanya, Bila kembali membanting tubuhnya ke arah ranjang, mencoba untuk tidak peduli dan melupakan kejadian memalukan sore tadi.
"Makasih, Kak Bian."
Bian hanya mengangguk tak bersuara, membuat Bila yang masih berdiri di sampingnya bingung menatap Bian yang tak kunjung pergi.
"Helm."
Satu kata, dan sudah membuat Bila kepalang malu bukan main. Dilepasnya helm yang bertengger di kepalanya dan diulurkannya kepada Bian yang diam-diam tersenyum tipis dari balik helmnya.