“Na, dicari sama kak Gamma di depan kelas.” Mana baru saja menelungkupkan kepalanya di atas meja, namun suara Jeon sang Ketua Kelas membuatnya harus menghela napas. Gamma, untuk apa pria itu ke sini? Mau menjelaskan lebih detail bahwa mereka berdua sudah putus?
Dengan malas, Mana berjalan gontai ke depan kelas. Mana langsung mendapati Gamma yang tengah bersandar pada tembok, kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya, bibirnya bersiul santai. Mana menelan ludah dengan susah payah, tidak menutup kemungkinan bahwa sebenarnya dirinya sangat rindu dengan sosok pria itu. Namun sayang, Mana bukan siapa-siapanya lagi. Mereka hanyalah sepasang orang yang pernah bersama dalam waktu yang cukup lama.
“Ada apa?” Gamma sedikit tersentak kaget, namun buru-buru ia menetralkannya. Ia tersenyum simpul, menatap Mana dengan pandangan yang tidak bisa diartikan saat ini. “Apa sih? Kenapa lihatin kayak gitu?” tanya Mana kesal sekaligus malu juga.
“Santai, jangan ngegas gitu. Setelah putus kamu, kok, jadi kayak singa, sih, Na?”
“Cepat, ada apa mau ketemu? Aku nggak punya banyak waktu.”
“Dulu saja kamu selalu ada waktu buat aku, kenapa setelah kita putus kamu nggak punya waktu buat aku, Na?”
Apa-apaan, sih, Gamma ini, bisik Mana dalam hati.
“Beda.”
“Apanya yang beda? Aku tetap Gamma dan kamu tetap Mana.”
“Hubungannya. Kita udah beda, bukan lagi Mana sebagai pacar Gamma.”
“Iya, aku tahu.”
“Mau apa ke sini?” tanya Mana lagi. Kali ini dengan penekanan di setiap katanya.
“Bertemu kamu, aku rindu.”
“Bodoh,” desis Mana dan berlalu meninggalkannya di depan kelas sendirian. Tidak disangka bahwa dia akan menyusul Mana ke dalam kelas, menimbulkan atensi seluruh penghuni kelas ini tertuju pada mereka berdua. Sebenarnya, Gamma ini mau apa, sih?
“Na. Aku mau ngomong, penting banget. Dengerin, dong!” ucapnya di belakang Mana. Gadis itu mencoba untuk tidak peduli, berjalan dengan cepat ke arah bangkunya. Namun ternyata pria itu masih saja membutuntuti Mana. Bohong jika Mana tidak ingin menangis, kedua matanya sudah terasa panas. Ingin sekali rasanya ia berbalik dan memeluk Gamma, namun dirinya tidak bisa. Gamma sudah bukan siapa-siapanya lagi saat ini.
“Gam, lo apa-apaan, sih? Bukannya kalian udah putus, ya, dua hari yang lalu?” Tania, sahabat Mana berujar kepada Gamma. Mana masih tetap mencoba untuk tidak peduli, yang hanya mampu ia lakukan saat ini hanya pura-pura tertidur. Mana tidak cengeng, aku kuat, aku tidak boleh menangis, ucap Mana dalam hati menyemangati dirinya sendiri.
“Iya, gue tahu. Tapi gue kangen sama Mana.”
“Status kalian sekarang itu udah bukan pacar lagi, Kak Gamma yang tampan. Kalian itu mantan!” ucap Tania dengan kata mantan yang ia tekankan.
“Apa salahnya kangen sama mantan sendiri?”
“Bodohnya. Gam, kalau lo emang masih sayang sama Mana, kenapa diputusin, sih? Dan sekarang saat hubungan lo sama Mana udah bukan siapa-siapa lagi, lo malah ngejar-ngejar dia kayak gini.” Mana mencoba menulikan telinganya ketika Tania dan Gamma mulai cek-cok. Tiba-tiba, datang seseorang yang sangat dikenali suaranya. Bu Husna, guru matematika yang galak dan judes itu sudah masuk ke kelas ini membuat seluruh murid yang sedang menyaksikan perdebatan kecil antara Tania dan Gamma seketika terhenti dari kegiatannya.