Iya, sayang, iya. Nanti aku ke sana, ya.
Bye, sayang.
Gamma dan Kokoh mendengus bersama, menatap Keenan dengan malas. “Kalian kenapa coba lihatin gue kayak gitu?” tanya Keenan menatap kedua sahabatnya bergantian, sedangkan yang ditatap hanya mencibir malas.
“Siapa lagi tadi?” tanya Kokoh.
Keenan tersenyum seraya ber-oh ria. “Oh … itu, Amira,” jawab Keenan seraya mengotak-atik ponselnya.
“Anak mana lagi?” kali ini tanya Gamma yang juga penasaran.
“SMA Garuda.”
Entah perempuan ke berapa Amira itu. Keenan memang seperti Gamma, mereka sama-sama suka bermain perempuan. Namun bedanya, jika Gamma hanya menjalin hubungan dengan satu perempuan saja. Sedangkan Keenan dengan beberapa perempuan yang sudah dipastikan jumlahnya tidak sedikit. Seperti sekarang, baru saja Keenan memutus panggilan dari Amira, ia sudah mengangkat telepon lagi, entah dari siapa sekarang.
“Terusin, Keen. Sakitin anak orang terus …,” sindir Gamma ketika Keenan selesai dengan acara telepon-teleponnya.
“Kayak lo nggak aja.”
“Tapi gue beda, ya. Gue pacaran sama satu cewek aja, lah lo? Seribu mungkin ada kali, ya.”
“Apa bedanya, Maemunah? Sama aja, pada intinya kalian berdua sama-sama menyakiti perempuan. Tapi dengan cara yang berbeda,” timpal Kokoh gemas dengan kedua temannya.
“Kenapa, sih? Lo mau? Kalau mau ambil aja nggak pa-pa. Mau pilih yang modelan kayak gimana juga ada, stok gue banyak,” jawab Keenan enteng. Kokoh mengusap dadanya sendiri dengan sabar seraya terus-menerus beristighfar.
“Stok gue juga banyak, pada ngantre minta dipacarin. Mending buat lo, Koh. Gue nggak tega lihat lo jomlo dari lahir,” tambah Gamma seraya menyalakan pematik api untuk rokoknya.
“Taubatlah wahai saudaraku, hentikan permainan konyol kalian itu.” Kokoh mulai berceramah, Gamma dan Keenan langsung mempersiapkan earphone untuk menyumpal kedua telinga mereka masing-masing untuk mengantisipasi adanya ceramah dadakan dari Kokoh. Kurang ajar memang, diberi ceramah yang baik oleh Kokoh malah menyumpal telinganya. Jangan ditiru, ya.
“Tapi, kan, Koh. Coba kalau lo belajar dikit soal perempuan, mungkin hidup lo nggak semengenaskan ini,” tutur Keenan sembarangan. Mengenaskan katanya? Tidak tahu saja dia, jika diam-diam Kokoh sedang menaruh hati kepada seseorang. Bukannya tidak mau bercerita, namun sedang menunggu momen yang tepat. Pasalnya, kedua sahabatnya ini sangat tidak bisa ia percaya begitu saja. Jika Kokoh bercerita sekarang, lalu semuanya langsung tersebar ke penjuru sekolah, bisa mati kutu si Kokoh.
“Nggak mau, perempuan itu ribet. Lebih ribet daripada tugas prakarya menyulam dari bu Fitri,” jawab Kokoh santai. Gamma dan Keenan saling pandang, kemudian terkejut bersamaan dan menepuk jidad mereka bebarengan juga. “Lah iya, gue belum buat!” kaget Gamma.
“Gue juga belum!” Keenan menimpali.
Keenan dan Gamma bergegas keluar rumah, berniat membeli peralatan yang sekiranya dibutuhkan dalam menyulam. Baru satu langkah keluar dari kamar milik Gamma, mereka berdua kembali membalikkan badan dan menatap Kokoh dengan pandangan heran.
“Lo ikut nggak?” tanya Keenan kepada Kokoh.
“Ke mana?”
“Beli peralatan sulam, bego!” umpat Gamma, sedangkan Kokoh hanya menatap kedua temannya dengan mulutnya yang masih sibuk mengunyah kacang goreng.
“Koh, lo udah? Kok, santai banget?” Kokoh mengangguk santai, pandangannya kini ia alihkan ke acara tv yang sedang tayang itu. Gamma dan Keenan geram, menghampiri Kokoh dan memukul pria itu dengan bantal bertubi-tubi membuat sang empu yang tengah mengunyah kacang goreng jadi tersedak. Bukannya kasihan, Gamma dan Keenan malah tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi wajah Kokoh yang mengenaskan. Tidak ada akhlak sekali memang, temannya tersedak bukannya diambilkan minum atau seperti apa, malah ditertawakan. Untung teman.
“Sialan kalian berdua!” umpat Kokoh.
“Astaghfirullah, gue aduin ke abi lo, ya, kalau omongannya kasar!” ucap Keenan mengancam. Kokoh melotot tajam ke arah Keenan sedangkan Gamma hanya tertawa kecil melihat kedua temannya yang gila-gila ini. Kokoh ini memang anak ustad, tapi tak jarang juga perkataannya kasar, seperti tadi misalnya. Namun tidak sering, kok. Kokoh juga termasuk dalam jajaran siswa populer di SMA Gadjah Mada ini, parasnya yang tampan serta terlihat polos dan lugu membuat banyak perempuan yang ingin mendekatinya. Apalagi dirinya yang selalu menduduki ranking satu pararel di jurusan anak MIA. Namun Kokoh selalu berkata bahwa dirinya ingin menjaga hati untuk calon istrinya kelak, entah siapa perempuan yang akan beruntung menjadi istri seorang Kokoh. Idaman sekali bukan Kokoh ini?
“Karena lo udah buat tugas menyulam dari bu Fitri tanpa kita, hari ini lo harus bantuin kita. Gue nggak mau tahu, kalau nggak, gue aduin ke abi Maul kalau anaknya tadi ngomong kasar, gimana?” tawar Keenan yang terlihat seperti ancaman kepada Kokoh. Gamma terkikik geli, tidak mungkin jika Kokoh berani menolak ini, jika abinya tahu kalau anaknya berbicara kasar, Kokoh pasti akan langsung dipukul mulutnya dengan spatula spongebob. Abi Maul itu sangat galak, bahkan Gamma dan Keenan saja jika ingin main ke rumah Kokoh harus siap mental terlebih dahulu. Siap telinga, siap jiwa, dan raga untuk berlapang dada menerima segala ceramah yang mungkin akan diberikan.
Kokoh menghela napas akhirnya, “Iya-iya gue bantuin!”
Gamma dan Keenan langsung ber-tos ria, “Nah gitu, dong!” ucap Gamma seraya mengusap-usap rambut Kokoh seperti anak kucing. Kokoh bergidik geli, menyingkirkan tangan Gamma dari atas kepalanya. “Gam!”
“Hahaha, iya-iya. Ayo, lo yang nyetir, ya, Koh.”
“Males!” jawab Kokoh ketus.
“Oh, lo mau diaduin ke abi Maul? Gue telepon, nih!” ancam Keenan.
“Untung temen!” balas Kokoh sebal dan berjalan meninggalkan kedua temannya yang sedang berseru girang di dalam hati.