Secangkir kopi hitam hangat menemani pagiku bersama Sang Fajar, tepat di balkon rumahku, saat ini juga. Bersandar santai di atas kursi malas, disitulah aku duduk, membiarkan diriku diterpa lembut hawa pagi. Jarum pendek jam dengan gagahnya menunjuk angka 9, dari sisi yang berlawanan jarum panjang seperti tak mau kalah, bertengger kokoh di angka 3, membentuk garis melintang horizontal, jam 9.15.
Pagi yang cerah menurutku, hampir mendekati sempurna, kala sinar mentari tak henti-hentinya menyirami tubuhku selain tak lupa menunaikan tugasnya menyinari jagat semesta, memberi kehidupan pada manusia dan membantu aktivitasnya setiap hari. Alunan suara burung bernyanyi bersahutan seakan menambah sejuk pagi itu.
Aku melamun… dalam silauan matahari yang hangat ini, dan membuatku berpikir dan mengingat akan sesuatu. Pikiranku dibawa pergi melayang jauh melintasi waktu, liar tak menentu namun kubiarkan. Membuatku jadi dipenuhi banyak pertanyaan yang belum akan kutemui jawabannya dalam waktu dekat. Tiba-tiba pikiranku tertuju pada satu sosok. Bagaimana kabar Alviano? Apa yang dilakukannya sekarang? Kapan dia kembali ke Indonesia, dan bagaimana kuliahnya?
Semua pertanyaan itu mau tak mau menyeretku kembali pada ingatan 10 tahun lalu, rentang yang tak bisa dibilang sebentar, menurutku. Sebuah kejadian disengaja tapi tak disangka-sangka, bisa dibilang lucu tapi juga nekat, keisengan yang berujung pada pengalaman hidup jika mengingatnya lagi saat ini, setidaknya untuk kita berdua.
===0===0===
Pernahkah kalian berpikir dan bayangkan, sedikit saja, jika seseorang yang mempunyai saudara kembar dengan kehidupan dan rutinitasnya masing-masing kemudian saling bertukar peran dan menjadi bukan diri mereka sendiri selama beberapa waktu tertentu?? Tanpa pernah membocorkan jati diri mereka yang sebenarnya kepada orang-orang di sekitar, kepada teman, guru, musuh, bahkan juga pacar, semuanya !! Pernahkah kalian bayangkan, apa jadinya? Bagaimana si kembar itu menjalani kesehari-hariannya di lingkungan dan orang-orang yang sama sekali asing bagi mereka, sama sekali tak mereka kenal tapi harus mereka kenali dan bepura-pura menjadi saudara kembarnya yang mereka gantikan. Susah bukan??
Yah, itu adalah pengalamanku, pengalaman berhargaku dengan Alviano yang akan kuceritakan disini. Benar, aku mempunyai saudara kembar, namanya Alviano. Aku dan teman-temannya kerap memanggilnya dengan sebutan Al. Umurnya 28 tahun, tentu saja sama denganku, hanya saja aku lahir duluan, setidaknya begitulah kata orang tuaku.
Saat ini, Al tengah menjalani kuliahnya di Negeri Kanguru, mengejar gelar master yang begitu diimpikannya sejak masih duduk di sekolah menengah. Semua biaya kuliah ditanggungnya sendiri dari hasil menabung ketika dia masih bekerja di sebuah perusahaan garmen swasta selepas masa sekolahnya. Dia mengumpulkan hasil keringatnya sendiri selama 7 tahun agar bisa melanjutkan pendidikannya ke Australia.
Aku memang kembar dengannya, tetapi tak sama. Aku memiliki wajah yang serupa dengannya, tinggi dan berat badanku pun sama dengannya, rambut kami juga sama, pendek bergelombang dan ikal. Bahkan warna kulit kami juga senada, putih kecokelatan. Kita benar-benar kembar !! Tak ada yang berbeda dari diri kami. Tetapi, ada satu-dua hal dimana kita tidak benar-benar sama, bahkan sangat berbeda, malah bisa dibilang bertentangan. Kami punya hobi dan ketertarikan yang amat bertolak-belakang !!
Al begitu terobsesi dengan musik. Di sekolahnya, dia mempunyai band dan menjadi drummer, drummer yang handal !! Semua genre musik disukainya, tidak pandang bulu, meskipun rock tampaknya menjadi prioritas terdepannya saat bermusik. Bakat bermusiknya itu tampaknya diturunkan dari darah ayahnya. Yah, ayahku memang seorang yang sangat menggeluti dunia musik pada masa mudanya, hingga entah bagaimana ibuku yang dahulu satu kampus dengan ayahku menjadi tertarik dan kemudian menikah dengannya, dan berujung pada kelahiran kami berdua. Betul, kami adalah anak tunggal.
Namun, hobi Al bermusik seakan tak mampu mengubur hobi satunya yang paling aku sayangkan dari dirinya, gemar berkelahi !! Dimanapun dan kapanpun, selalu saja dia terlibat perkelahian dengan siapapun, entah apa yang diributkan. Hebatnya, dia selalu menang dan tidak pernah berada di posisi kalah. Aku sampai berpikir, bagaimana cara dia bisa menang dalam perkelahian yang tidak seimbang. Jika mau kita ibaratkan, dia itu seperti Dewa Perang Ares, selalu haus akan perang dan pertarungan.
Al sangat berbeda denganku yang bisa dikategorikan termasuk salah satu murid terpintar di sekolah. Nilai-nilai tinggi dalam ulangan dan ranking kelas sudah seperti makanan sehari-hariku di sekolah. Aku seperti dengan mudahnya mengingat tiap hal dalam pelajaran, utamanya pelajaran hafalan. Itu membuatku jadi murid andalan tiap guru menerangkan materi soal yang sedang dibahasnya di kelas. Aku pasti langsung menjawab tanpa ragu di kala tidak ada seorang pun murid yang bisa menjawabnya. Prestasiku ini seakan tak mau jauh dariku sejak aku masih mengenyam sekolah dasar. Tak ada seorang murid pun yang berhasil mengkudeta peringkat 1 ku hingga detik ini.
Aku orangnya sangat cinta damai. Bagiku, perdamaian adalah harga mati. Tidak ada yang lebih indah daripada terajutnya tali perdamaian di atas bumi tempatku berpijak. Ini tentu sangat kontras dengan filosofi dan pandangan saudara kembarku, dimana dia berpijak pasti keributan terbentuk. Tetapi, walaupun sudah jelas sifat dan karakter kami berbeda 360 derajat, bak langit dan bumi, itu tak menghalangi kami banyak menghabiskan waktu bersama di rumah. Kami benar-benar kembar yang kompak !!
Kurasa, kumulai saja ceritanya sekarang…
===0===0===
“Pagi, Mah. Aku langsung jalan ya”.
Aku bersiap berangkat ke sekolah. Mataku dengan liar mencari keberadaan ayah sambil menuju ke pintu rumah.
“Iya, hati-hati Apri”. Yah, Apri, itulah sapaanku, namaku Apriano. Hanya beda beberapa huruf di tengah saja dengan Alviano.
“Papah udah berangkat, Mah?”
“Sudah dari tadi”
Ayahku memang tipe pekerja keras. Dia selalu sudah berangkat sejak Sang Fajar belum menampakkan hidungnya. Sejak diterima bekerja di kantor pemasaran dan baru-baru ini mendapatkan promosi untuk menggantikan atasannya yang mengundurkan diri, ayah jadi tambah sibuk. Ayah benar-benar sudah melupakan hobinya sewaktu masih muda, bermusik.
“Al juga?”