Excursion to World's Heart

Dei Arcana
Chapter #1

Bab 1

Suara pedang kayu beradu satu sama lainnya, anak-anak lelaki menggerutu menerima rasa sakit dari lawan main mereka, tapi tidak ada yang berhenti beraksi, tidak ada yang berhenti bergerak atau latihan bahkan tanpa pengawasan.

Mereka yang jatuh kembali berdiri, mereka semua yang merasakan perih menahan diri. Semuanya adalah calon-calon prajurit masa depan, makanan bagi negara kecil mereka yang perlahan mulai terus diancam di luar.

Di sekitar mereka adalah anak-anak gadis muda yang menertawakan dan mempermalukan mereka, mendorong mereka untuk bekerja lebih keras, kecuali ingin bergabung dengan gerombolan anak perempuan itu dalam perjalanan mereka ke akademi.

Robin ingin bergabung.

Napasnya sudah sesak, dadanya kesulitan berkembang. Dia telah kehabisan tenaga, telah jatuh entah untuk yang ke berapa kalinya. Mata lawan mainnya tenang menunggu, melihat jatuh dan istirahat Robin yang berlutut melepaskan senjatanya di tanah sebagai berkah baginya yang tidak ingin menyakiti anak sang jenderal besar.

Robin tidak memikirkan hal yang sama, dia merasa lawan mainnya sudah cukup menyakitinya, dan dia sudah tidak sanggup juga. Mengingat ucapan ayahnya pagi tadi, si mungil memaksa tubuhnya berdiri.

Dia menggunakan pedang kayu yang dia pungut kembali dari tanah sebagai topangan, mengabaikan pandangan matanya yang sudah mulai oleng dan kabur.

Robin mengingat kembali dasar-dasar berpedang, menciptakan kuda-kudanya, dan sekali lagi menantang sang lawan main yang sudah menunggu sedari tadi.

Meski begitu, sang lawan main bisa melihat melewati akting payah Robin. Dari pedang yang bergetar hingga postur setengah sadar, dia tahu lawan mainnya tidak lagi punya kekuatan, hingga tidak benar-benar butuh kekuatan untuk ditaklukkan.

Sang lawan main melihat sekeliling mencari izin untuk meninggalkan lingkaran latihan, tidak menemukannya dari para pelatih yang menatap kasar dan memaksanya untuk menyelesaikan apa yang tidak dia mulai.

Robin didorong jatuh, memecah debu, membiarkan dia bertemu kelabu, dan tertidur dalam lelahnya yang menyeluruh.

Di dalam tidurnya, dia sadar dalam kegelapan, mendengarkan suara-suara yang memanggil dan menggoda dirinya.

Membangunkannya, “Anakmu sakit, Eter.” Adalah suara orang tuanya yang bertengkar di dalam rumah.

“Sakit? Dia kelelahan, Arion. Kau membuatnya bekerja seakan dia bukanlah manusia!”

“Dia memang bukan manusia!” Balas sang ayah, mengundang Robin untuk mengintip, melihat mata sang ayah bercahaya darah saat sang pria melanjutkan, “Dia adalah seorang pria.” Dengan penekanan yang keras pada kata terakhirnya.

“Dia ...!” Sang Ibu berhenti saat menemukan mata Robin menatap keluar, menonton bingung pikiran belianya terhadap alasan kedua orang tuanya tiba-tiba saling menyerang, padahal waktu makan malam telah tiba.

Berbeda dengan ibunya yang melemparkan air muka bersalah, sang ayah membuang wajah, seakan mengatakan pada Robin muda bahwa dia tidak pantas untuk bertatap mata dengan sang ayah yang begitu ingin dia banggakan.

Pelan senyap jatuh pada mereka, membekukan kejadian itu bagai suhu dingin yang siap memecah dan memisahkan mereka semua sebagai keluarga, tapi ibu Robin menghentikannya.

“Robin,” ucap sang ibu kepada Robin yang tidak merespons, “Kemarilah, Sayang.” Robin berusaha membaca raut ayahnya yang dimakan bayangan malam yang telah turun ke seluruh kota, “Kita makan malam. Harimu pasti melelahkan ‘kan?”

“Dan karena itulah dia begitu lemah,” kata ayah Robin menyela sembari memperbaiki jubah merahnya, mengundang tatapan tajam dari ibu Robin yang tinggal sebentar sebelum akhirnya si wanita menyerah, dan lebih memilih untuk membujuk Robin.

Wanita penuh cinta itu berjalan mendekat ke arah Robin, mengangkat gaunnya sedikit agar tidak terseret di lantai rumah yang kotor oleh kaki orang-orang yang membawa Robin pulang ke rumah untuk istirahat seharian.

Sampai kepada Robin kecil, sang wanita berlutut, memasang senyum maternal sembari mengelus rambut pirang Robin dengan pelan dan lembut.

“Robin,” sang Ibu berbisik lembut, “Robin,” mengarahkan tangan Robin untuk menyentuh rambutnya yang dikepang, “Robin!” Tapi perhatian Robin hanya pecah saat sang ibu memaksa, menaikkan nada dan akhirnya mendapatkan mata si bocah.

Berhasil melepaskan mata Robin dari sang ayah, “Bagaimana dengan makan malam?” sang ibu bertanya pelan, memegangi kedua lengan Robin sebagai simbol dari undangan yang tidak bisa ditolak mereka yang diundang.

Lihat selengkapnya