Berakhir sudah malam, kehilangan kekuasaan sang rembulan, kini digantikan oleh simbol dari awal yang bersinar dengan damai dan tenang kepada semua.
Robin membuka mata, sinar mentari sudah menginvasi kamarnya, menyilaukan dia yang agak kesulitan terbiasa. Dia terbangun dari mimpi yang sama, sebuah mimpi yang pertama kali dia lihat satu dekade lalu.
Robin mengambil waktu sebentar untuk menatap langit-langit kamar dan mempertimbangkan maksud mimpi itu untuk yang ke sekian kali sebelum akhirnya bangun dari kasurnya.
Robin memulai paginya dengan semangat, menelanjangi diri dan mandi dengan komoditas berharga seperti air bersih yang Robin pakai sesuka hati, sebuah keuntungan dari menjadi anak sang jenderal besar.
Setelah puas menggosok badan, Robin mulai berpakaian, memakai setelan sesuai dengan aturan tempatnya akan belajar sembari menyisir rambut pirangnya yang sudah mencapai pinggang.
Setelah percaya diri dengan penampilannya, Robin menyiapkan hal yang dia butuhkan hari ini. Dia kemudian melangkah ke dapur rumah mereka. Di sana, dia menemukan sunyi yang dia harapkan ada.
Ibunya belum bangun, dan ayahnya sibuk mengawasi secara pribadi latihan-latihan semua prajurit pilihan ibu kota untuk diikutkan kompetisi tahunan yang mempertandingkan prajurit-prajurit terbaik setiap kota demi sebuah kehormatan untuk disebut nomor satu seantero kerajaan.
Semua itu memberikan Robin kesempatan untuk mempraktikkan apa yang telah dia pelajari di universitas kemarin, membuatnya memulai memasak dua resep sederhana yang tidak membutuhkan banyak bumbu atau waktu.
Setelah selesai menghasilkan sup sayur dan perkedel, Robin menata semuanya di meja untuk dia tinggalkan agar ditemukan oleh sang ibu, lalu mengutip satu apel dari karung di sudut dapur, sebab sekarang dia punya hal yang jauh lebih penting di depan.
Robin berlari kecil dengan hati-hati melewati jalanan ibu kota yang baru bangun. Di sepanjang perjalanannya dia menyapa dan disapa oleh orang-orang yang sudah terbiasa melihat dirinya dengan semangat memulai hari begitu pagi sembari menggandeng setumpuk buku di tangan dan sebuah apel di kantung gaunnya.
Robin sering berhenti di perjalanan, terutama di bagian termiskin ibu kota yang sengaja dia lewati demi memberikan sedikit uang kecil kepada siapapun yang dia temui di sana dan meminta.
Hal itu dan fakta bahwa rute yang Robin ambil menuju tujuannya berputar adalah alasan utama Robin bangun bersamaan dengan terbit mentari, selain untuk sesekali memasak juga demi ibunya di rumah yang semakin tua.
Semua aktivitas pagi itu sudah cukup bagi banyak orang untuk menyebut Robin produktif, belum menghitung pelajaran yang sebentar lagi akan dia terima di universitas yang sudah dia capai.
“Pak,” sapa Robin ditemani senyum kepada penjaga gerbang akademi yang membalas, “Red.” Dengan senyuman yang sama hangatnya.
Telah bertukar santun dengan sang penjaga gerbang, Robin melangkah masuk untuk menemukan pemandangan yang sudah dia terlalu kenal.
Murid-murid melangkah mondar-mandir dengan teman bicara masing-masing, mereka semua anggun dan cantik dalam mengabaikan Robin yang juga punya tujuan tersendiri di sana.
Robin melangkah dan terus melangkah, melewati jalan biasa menuju kelas pertamanya sebelum lonceng berbunyi dan memaksa dia untuk tinggal di luar sambil kelas selanjutnya, sebuah pengalaman yang begitu membosankan bagi Robin yang datang hanya dengan niat belajar.
Dalam perjalanannya ke kelas, Robin bertemu dan disapa oleh beberapa teman sekelasnya yang menyapa dengan sopan kepada Robin yang membalas dengan nada yang sama.
Saat sampai di dalam kelas, Robin menaruh apel yang dia bawa bersamanya itu di meja guru sebelum duduk di depan, menjadi yang pertama sampai ke kelas.
Hanya perlu sebentar bagi teman-temannya yang lain untuk menyusul masuk, dan sekali lagi menyapa Robin yang sudah berhenti berlari kecil, tapi tetap tampak penuh energi di tempat duduknya.
Robin sudah punya kertas dan alat tulis di depan, siap mencatat segala macam penjelasan sang pengajar yang akhirnya masuk untuk menerima sambutan dan salam.
Hari Robin berlanjut dengan mendengarkan penjelasan demi penjelasan. Kelas pertamanya hari ini adalah etika, dan mendengarkan serta melihat peragaan sang guru, jelas sekali memang Robin masih perlu banyak belajar masalah etika.
Mungkin ibu juga, pikir Robin dengan senyuman saat mengingat kembali tingkah laku ibunya yang jauh lebih maskulin daripada semua wanita yang pernah Robin lihat di ibu kota.