Robin membeku di tempatnya tidak percaya, tidak ingin percaya. Dia ingin lari dari kenyataan, melupakan kalimat sang ayah yang baru saja dirinya dengarkan.
Tubuhnya gemetar, matanya berkaca-kaca. Ingin menangis dia, berlutut di tanah dan menyalahkan siapa pun selain dirinya sendiri yang sudah terlalu lelah.
Namun, Robin tak bisa melakukannya. Dia masih ingat pesan sang ayah tentang seorang pria.
Mereka tidak menangis, mereka menelan semuanya, dan menggunakannya sebagai senjata untuk diarahkan ke lawan yang telah merebut segalanya dari mereka.
Dia menahan dan menahan perasaannya, membiarkan kekecewaan itu tersangkut di tenggorokan dengan sekuat tenaga, hingga gagang pintu dirampas paksa dari tangannya.
Sang ayah muncul di depannya, pria yang sudah telanjang dada itu menatap Robin menjatuhkan air mata dengan penuh amarah beberapa saat sebelum akhirnya meludah ke tanah di depan Robin dan berjalan pergi dari rumah.
Robin diam untuk beberapa lama sebelum akhirnya melangkah masuk ke rumah keluarga mereka yang begitu hangat sepuluh tahun yang lalu. Dia menutup pintu di belakangnya, kemudian bergabung dengan ibunya duduk di sofa.
Sang wanita yang begitu mencintainya itu menatap Robin dengan iba, mulai mengelus rambut pirangnya seperti biasa. Begitu lembut, begitu sederhana, begitu hangatnya.
Robin membenci dirinya sendiri yang tidak bisa benar-benar bisa menikmati manisnya kasih sayang dari sang ibu. Dia hanya bisa terus memikirkan sang ayah yang tampak begitu marah dan kecewa kepada dirinya.
“Bu.” Hal itu membuat Robin, “Apa artinya menjadi ....” Membuka mulutnya, “... seorang pria?” Dan melemparkan pertanyaan kepada rahim yang melahirkannya.
Wanita itu terdiam terhadap pertanyaan Robin, tidak ada sehelai rambut kepang hitam panjang si wanita atau bahkan pakaiannya yang bergerak.
Membatu sebentar Ibu Robin dan berhenti melakukan semua hal untuk menenangkan Robin sebelum kembali sadar, melepaskan kutukan dan mengadakan semua gerakan.
Di kepala sang ibu ada begitu banyak kata yang muncul untuk menggambarkan seorang pria. Akan tetapi, tidak ada satu pun dari kata itu yang menggambarkan Robin.
Hal ini mengantarkan mereka hanya pada diam dan senyum canggung, Robin yang melihat ekspresi itu terukir di wajah sang ibu hanya bisa memasang air muka bersalah.
Dia tahu betul ibunya tidak ingin menyakiti perasaan Robin. Lagi pula, Robin sudah tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri. Dia sudah bisa membayangkannya sejak pertama kali dia menyebutkannya.
Sang ayah adalah seorang pria.
Perkasa, berani, dan keras kepala dengan tubuh tinggi nan berotot penuh luka dari latihan dan peperangan sungguhan yang sudah dilalui oleh sang ayah.
Jelas sekali bagi Robin bahwa dia bukanlah ketiganya. Robin lemah, dia takut pada kegelapan malam di ibu kota, dan bisa dengan mudah diseret untuk melakukan apa saja.
Tubuhnya kurus dan pendek, kulitnya putih halus dan lembut. Wajahnya oval, dagunya tidak tegas, jakunnya bahkan sulit terlihat.
Dia adalah apa pun yang bukan pria, segala hal yang dikeluarkan dari definisi pria itu sendiri. Bahkan, banyak orang yang akan berargumen bahwa Robin adalah kebalikan dari seorang pria.
Mulai dari rambut panjang hingga suaranya yang tidak dalam, tidak ada orang yang akan menduga Robin sebagai seorang pria bahkan walaupun dia mengenakan pakaian maskulin di depan mereka semua.
“Mungkin itu masalahnya ....” Robin membisikkan isi kepalanya.
“Apa masalahnya, Sayang?” Mengundang perhatian ibunya yang kemudian bertanya, mengejutkan Robin yang tidak mendengarkan dirinya sendiri.
Keinginannya untuk menyembunyikan rencananya dari sang ibu, “Aku ....” Dia musnahkan setelah melihat ekspresi khawatir yang jujur di wajah ibundanya, “... Apakah ayah akan bangga padaku jika aku menjadi seorang pria?”
Bagai anak tak bersalah yang tak tahu apa-apa, nada pertanyaan Robin benar-benar serius tanpa sedikit pun tanda goyah yang terdeteksi dalam suaranya.
Bahkan sang ibu yang sudah menjadi sangat hebat dari membaca segala macam petunjuk di tubuh, mata, dan suara sang anak tidak bisa menemukan secuil keraguan di wujud putranya.
Robin benar-benar serius, pikir Demeter yang melanjutkan kereta pikirannya ke apa yang harus dia katakan selanjutnya kepada sang anak.