Seorang anak gadis muda duduk di tengah restoran mahal. Pakaian anak itu pantas ada di sana, berwarna merah dan mekar bagai mawar, sebuah gaun mewah yang sulit dibeli uang, terutama saat gaun itu memiliki sedikit ungu.
Seluruh setelan sang gadis jelas sekali ditatakan oleh seseorang yang mengerti aturan dan cara merawat seorang tuan putri berambut putih panjang yang kini sedang makan bistik dengan lahapnya.
Sudah ada belasan piring yang bertumpuk di meja si gadis muda, tapi itu bukan juga alasan semua orang menatap atau menjauhi tengah restoran.
Ada alasan lain di mulut mereka yang harus mereka tahan di sana agar tidak mengundang bencana, hingga akhirnya membiarkan si gadis untuk terus melahap makanannya dengan lahap.
Setelah habis, tangan mungil sang gadis menaruh piring yang sudah dia jilat bersih ke tumpukan piring di mejanya. Kemudian, kedua mata merah sang gadis berkeliling restoran mencari orang yang menyajikan kepadanya semua bistik itu.
Setiap orang gemetar menciut di bawah tatapan mata sang gadis, tapi dia tidak peduli pada mereka. Dia hanya ingin lanjut makan, “Lucy.” Beruntung karena ayahnya sudah datang.
Pria besar yang telanjang dada itu mendobrak pintu restoran dengan kasar, memasang senyum lebar di wajah yang menjadi perhatian semua, termasuk Lucy yang kini melompat turun dari kursinya.
Mata Lucy bersinar bahagia, “Papa!” Lucy menyahut dan berlari mendekat ke sang pria dengan kaki kecilnya.
Pria itu menyambut dengan lengan terbuka, menangkap dan mengangkat Lucy segera setelah si gadis muda mencapai tangan besar kasarnya yang penuh luka.
Dia menarik Lucy lebih dekat ke gendongan yang nyaman, “Bagaimana makanannya, Sayang? Enakkah?” Sembari bertanya.
“Hm!” Lucy mengangguk dengan senyuman manis.
“Tidak ada yang mengganggu Lucy ‘kan?” Sang pria bertanya dengan manis tanpa menatap sang gadis muda, mata sang pria sedang sibuk melemparkan tatapan benci dan menuduh kepada seisi restoran yang diam membatu di bawah tatapannya.
Kemudian, Lucy menggeleng, melepaskan aura menekan yang keluar dari sang pria besar yang selanjutnya berjalan ke arah meja Lucy dengan si gadis muda di gendongannya tersenyum dan memeluknya.
Menjentikkan jarinya, sang pria memanggil pelayan yang sedari tadi melayani Lucy untuk cepat datang, sesuatu yang sang pelayan lakukan dengan sedikit gemetar.
“Berapa semuanya, temanku?” Sang pria bertanya dengan ramah.
Akan tetapi, “Uh ....” Hal itu tidak membantu lawan bicaranya, “G ... gratis ....”
“Oh, ayolah!” Suara sang pria naik, “Aku tidak tahu kenapa kalian semua melakukan ini padaku.” Semua orang membeku di bawah tatapannya yang berkeliling sekali lagi.
“Aku ingin membayar.” Sang pria menekankan, “Jadi katakan padaku harganya, teman.” Dia membungkuk agar sejajar dengan mata si pelayan yang menunduk.
Akhirnya, “E ... enam belas keping emas, Tu ... tuan ....” Sang pelayan menjawab dengan suara yang putus dan menghilang di akhir karena tidak tahu nama asli pria yang terkenal itu.
“George, temanku.” George mengulurkan tangannya yang bebas dengan senyum biasanya, “George Mayn.” Sang pelayan yang tidak bisa menolak hanya menerima dengan lemah.
“Aku ... Eros.” Balas si pelayan yang memperlebar senyum George.
“Senang mengenalmu, Eros.” Ucap George yang akhirnya melepaskan tangan si pelayan, “Jadi berapa tadi?” Dia memindahkan topik ke bisnis, “Enam belas keping emas?”
Sang pelayan mengangguk.
George menggunakan tangan bebasnya untuk mencapai ke belakangnya dan mengutip kantung emas yang dia gantungkan di pinggangnya.
Selesai melakukannya, George menarik kantung itu ke depan, kemudian menjatuhkannya ke meja, membuat piring-piring yang bertumpuk di atas sana melompat dan jatuh ke lantai restoran.
Mereka retak, rusak, pecah. Mengundang tawa dari Lucy yang bertepuk tangan melihat pertunjukan kecil George yang sibuk melihat ekspresi anaknya dari awal.