“Hm ...!” Lucy protes kecil, berbalik untuk meregangkan badannya meski masih terlentang.
Matanya mengintip, melihat George di sampingnya yang masih belum juga menggerakkan tangan yang menjadi bantalan Lucy untuk tidur yang hampir nyenyak.
Lalu, matanya mencuri pandang keluar, berusaha menebak apa yang ada di balik tirai jendela hanya dengan menilai cahaya yang ingin mendobrak masuk dari sana.
Dan Lucy menebak, “Matahari saja belum ada ....”
“Sebentar lagi dia akan ada, Sayang.” George membantah, “Kita ingin pergi saat itu tiba.” Menjelaskan, “Ditambah lagi, Lucy tidak mau tampil buruk saat pertama kali memasuki ibu kota mereka ‘kan?”
Berpikir sebentar, Lucy akhirnya mengangguk dan bangun dari posisi terlentangnya. Kali ini, sang gadis duduk dengan malas di kasur sembari memperhatikan ayahnya yang membelakanginya untuk mengganti pakaian.
Sang ayah tidak mengambil banyak waktu, hanya mengganti hal-hal yang dikenakan paruh bawah tubuhnya, karena memang hanya itu yang ditutupi sesuatu.
Lucy tidak pernah mengerti mengapa ayahnya tidak suka pakai baju, dia cuma iri karena sang ayah bisa melakukannya dengan bebas sementara Lucy tak boleh melakukannya.
Lucy padahal ingin bertelanjang dada juga ..., protesnya di dalam hati.
Ingin dia untuk mengatakan hal itu secara keras sekali lagi, pakaiannya kadang terlalu panas bahkan untuk Lucy, tapi setelah pembicaraan dan penekanan yang keras dari sang ayah, Lucy tahu betul mengatakan hal itu hanya akan menghasilkan hal yang sama.
Oleh karena itulah, “Lucy, kemarilah.” Saat sang ayah memanggil untuk mengganti pakaiannya, “Hm!” Lucy hanya bisa mengangguk dan menelan tidak sukanya terhadap pakaian.
“Mau yang mana hari ini, Sayang?” Sang ayah menunjukkan padanya beberapa gaun mewah dari tas perjalanan besar mereka, tapi Lucy tidak menginginkan satu pun dari mereka, sejujurnya.
Dia sudah merasa gerah dengan melihat wujud mereka saja, apa lagi mengenakannya di tubuh. Dan ekspresi tidak suka Lucy itu bisa George baca jelas di mata putrinya.
Anaknya itu memang terlalu jarang menyuarakan sesuatu bagi George agar dia bisa menyesuaikan tindakan, sikap, dan cara bicaranya agar tidak membuat putri semata wayangnya kewalahan.
Akan tetapi, untuk hal semacam ini, George bisa mengerti terlalu mudah. Dia menyentuhkan punggung tangannya ke kepala sang gadis, merasakan punggung tangan itu terbakar.
Naik lagi, huh. Bisik hati George yang memasang senyum yang dia paksa keluar, dia harus menemukan sesuatu yang bisa menghentikan panas ini dari merenggut putrinya.
“Bagaimana dengan mandi sebelum ganti pakaian?” George mengubah topik mereka.
“Tapi di sini tidak ada pemandian ....” Lucy menjawab segera, tertarik untuk menghentikan rasa gerah yang mengunyah seluruh tubuh ini, tapi tidak melihat solusi.
“Ayah melihat sebuah sungai dekat sini saat berkeliling kemarin.” George menghapus khawatir, “Dia ada di arah ibu kota yang akan kita tuju.” Lalu kembali bertanya, “Bagaimana?”
Lucy menaruh telunjuknya di bibir, menekan-nekan mulutnya sembari berpikir, “Akankah Papa ....”
“Ayah akan menghalangi orang-orang dari menonton, tentu saja.” George menghentikan kereta pikiran anak semata wayangnya dengan jawaban penuh keyakinan.
Senyum percaya diri yang lebar itu ditiru Lucy yang mengangguk yang mengizinkan George untuk mulai bergerak.
Dia menggendong tas besar yang penuh berbagai barang untuk kehidupan nomad, lalu mengangkat putrinya ke gendongan depan yang putrinya cukup suka.
Lucy hanya diam di sana dengan George berjalan keluar setelah merebut beberapa keping emas dari kantung emas yang tergantung di belakang pinggangnya.
Dia menaruh keping-keping emas itu di atas meja resepsionis yang masih kosong sebelum kemudian keluar dari pintu penginapan, memulai perjalanan keduanya ke ibu kota dengan sedikit berhenti di sungai.
George menatap sang putri yang sibuk memeluknya.
Dia berbisik, “Bertahanlah ....” Entah sudah berapa kali Arion membisikkan hal itu kepada dirinya sendiri, berharap jantungnya berhenti berdetak terlalu cepat.
Matahari sudah begitu tinggi di langit, tapi Arion tidak peduli. Dia tetap berjemur di bawah mereka di depan rumah, memastikan semua perlengkapannya siap perang.
Istrinya tidak melakukan hal yang sama, wanita itu sudah menghilang sejak tiba kabar dari informan mereka bahwa Sang Badai sedang menuju ke ibu kota pagi ini.
Arion berharap sang istri ada di sini agar keduanya bisa mengalihkan perhatian masing-masing dari bencana yang akan datang ini. Paling tidak, Arion ingin tahu apa yang istrinya sedang lakukan sekarang agar dia bisa membohongi dirinya sendiri bahwa mengiyakan permintaan istrinya kemarin untuk ikut dalam perang ini bukanlah hal yang salah.