Robin menghentikan sandiwara saat dirinya menutup pintu rumah keluarganya. Tangannya melekat di gagang pintu itu tidak mau melepaskan. Perasaan yang dia bendung terus naik ke tenggorokan, tubuhnya gemetar.
Begitu banyak kenangan yang disaksikan oleh gagang pintu itu, terbuka dan tertutup oleh tangan-tangan keluarga kecil mereka serta beberapa tamu yang jarang sekali datang ke rumah.
Robin berharap, tidak, dia berdoa. Dia berdoa agar suatu hari nanti dia bisa kembali lagi kemari, berdoa agar ini bukanlah yang terakhir kali dirinya menyentuh gagang pintu yang sekarang dia coba elus itu, ingin dorong agar dirinya bisa masuk lagi, dan menemukan kedua orang tuanya di dalam mengatakan bahwa mereka bercanda, atau berubah pikiran.
Apa saja ... apa saja selain ini .... Pikir Robin, tapi seakan mengingatkan akan kenyataan, tangan kanannya yang sedari tadi memegang gagang pintu itu ditusuk rasa sakit yang menyengat.
Dia menarik tangannya, jatuh berlutut kemudian di tanah memegangi pergelangan tangan kanannya itu. Perlu beberapa lama sebelum rasa sakit itu berhenti, mengizinkan Robin untuk kembali berdiri sembari berusaha mengatur napasnya agar kembali normal.
Dia menatap tangan kanannya dengan rasa penasaran, tidak tahu apa yang baru saja terjadi di sana, tapi tidak berani juga membuka zirah yang sudah dilekatkan ke tubuhnya oleh sang ayah.
Pada akhirnya, Robin memutuskan untuk mengabaikan itu, seperti bagaimana dia memutuskan untuk mengabaikan fakta bahwa dirinya baru saja diusir dari rumah.
Seperti orang bodoh, dia hanya melangkah tanpa tujuan mengelilingi ibu kota. Matanya sesekali menangkap nostalgia di jalanan-jalanan yang sepi di bawah terik mentari siang itu.
Robin masih ingat beberapa kali dia berhenti di sekitar distrik pasar tempatnya ada sekarang untuk berbincang dengan beberapa orang, dia masih ingat anak-anak di daerah kumuh yang selalu mengajaknya bermain setiap kali mereka ketemu.
Dirinya ingat kali pertama dan terakhir dia masuk akademi militer, dia ingat hari dikala sang ibu menawarkan padanya untuk masuk universitas wanita saja demi mengejar pendidikan.
Dia mengingat semuanya, masa yang lebih indah, sesuatu yang tidak akan bisa dia capai tidak peduli apa, seperti luar tembok ibu kota yang telah menutup gerbangnya.
Robin yang terjebak dalam ibu kota karena terlalu sibuk nostalgia pada akhirnya dipaksa untuk menginap satu malam di penginapan dengan sebuah restoran mewah di bawah.
Dirinya melepaskan zirah yang dipakaikan ke tubuhnya oleh sang ayah dengan hati-hati, tidak ingin ada satu pun lecet di tubuhnya atau si zirah.
Kemudian, dia melemparkan tubuhnya ke kasur, merasakan empuk itu mengobati sedikit luka di hatinya, tapi juga menyadarkannya dari segala hal bodoh yang sudah dia lupa.
Tangan kanannya cepat dia angkat untuk dia tatap, membiarkan dirinya melihat simbol lingkaran besar kosong dengan lingkaran kecil berisi di dalamnya sudah terukir di punggung tangannya dengan luka yang mirip stempel besi panas.
Pemandangan itu dan kedamaian palsu yang sekarang adalah hal yang membuat bendungan perasaannya pecah. Air matanya mengalir perlahan, semakin cepat jatuhnya bersama setiap ingatan akan apa yang akan hilang setelah hari ini.
Masakan ibunya, makan malam bersama ayahnya, cerita kecil tentang hari-hari membosankan mereka. Semuanya akan hilang, segalanya akan sirna, dan sebabnya adalah Robin.
“Maafkan aku.” Dan dengan pikiran buruk itu, “Ayah ....” Robin menutup mata, “... Ibu ....” Tertidur tanpa mampu menahan kesendirian yang menggerogoti.
Mimpinya malam itu adalah bisikan-bisikan yang sama, mengajaknya ke pusat dunia agar satu hal yang dia inginkan bisa dikabulkan oleh siapa pun, apa pun yang menunggu di sana.
Lalu, Robin membuka mata.
Apa yang membangunkannya adalah sinar mentari yang silau menembus kelopak mata. Dia melompat berdiri dari kasurnya, tidak ingin terlambat ke kelasnya hari ini.