Excursion to World's Heart

Dei Arcana
Chapter #12

Bab 12

Quinn yang memimpin perjalanan mereka sibuk bercerita, “Kalian akan menyukainya di sana!” Membanggakan tempat yang menerimanya itu dengan semua hal yang bisa dia ingat.

Mulai dari rasa bir dari bar favoritnya hingga penginapan yang sampai sekarang tidak pernah dia bayar, Quinn menceritakan segalanya tanpa rasa malu sedikit pun ke Robin dan kawan-kawannya.

Mereka bertiga hanya mendengarkan dan mengiyakan, sibuk mengagumi Quinn yang bisa berjalan dengan mata tertutup secara harfiah tanpa jatuh sejauh ini.

Bahkan saat wanita pendek itu sedikit berakting atau beraksi, dia tidak terjatuh ke bawah seperti kebanyakan orang, seakan si wanita mengingat posisi setiap rintangan kecil yang Robin dan kawan-kawan masih harus hindari di perjalanan seperti batu dan akar pohon besar.

Tapi itu mustahil ‘kan ...? Pikir Robin yang berusaha membaca wajah Quinn yang sudah selesai menceritakan semua hal yang dia banggakan dari negaranya.

Sekarang, “Abaikan saja orang-orang bodoh yang berusaha menipu kalian, ya!” Berusaha membela orang-orang yang sifatnya serupa dengannya di dalam Peterarchland yang jumlahnya bisa membanyak karena sang raja tidak peduli sama sekali.

Namun Robin, George, dan Lucy tidak benar-benar mendengarkan Quinn yang sudah berhenti berjalan dan menatap ke arah mereka. Mata mereka bahkan tidak lagi menatap Quinn.

Mereka menatap ke depan, sesuatu yang membuat Quinn bingung tapi tidak berbalik sampai, “... Apakah kami harus mengabaikan monster-monster itu juga?” Robin bertanya.

“Monster?” Quinn memiringkan kepala bingung, “Apa ....” Lalu dia menganga saat matanya menatap apa yang mereka semua tatap di depan sana.

Scorchbay sungguh terbakar. Bar favorit Quinn hancur berantakan, dengan alkohol mereka banjir membasahi tanah yang sudah mengering di lantai kayunya.

Penginapan-penginapan yang pernah Quinn tipu rata bersama tanah, tidak lagi terlihat gedung bertingkat mereka, terkubur bersamanya adalah para tamu dan semua karyawannya.

Tidak ada tanda-tanda kehidupan manusia atau tentara, kota itu hancur di gerbang tembok, dan di dalamnya. Apa yang tersisa adalah api abadi yang menolak mati, dan begitu banyak monster yang tidak seharusnya ada di dunia.

Salah satu dari mereka, seekor Imp bersayap datang dengan tombak ke arah kelompok mereka, hanya untuk dihajar habis oleh George yang bergerak maju ke depan.

“Apakah ini kota tempat raja dan ratu itu tinggal?” Dia bertanya pada Quinn yang akhirnya tersadar dari keterkejutannya, wanita pendek itu menggeleng, “Mereka tinggal di ibu kota, tapi ini ....” Masih melanjutkan pikirannya.

Akan tetapi, “Bagus.” George memotongnya. Pria besar itu memandang ke belakang, melihat ke arah Robin, lalu ke arah anaknya, “Jangan pernah lepaskan tangan temanmu, Sayang.” Kemudian memberi perintah.

Lucy ingin protes, dia ingin berada dalam gendongan ayahnya tempat di mana semua hal menarik akan terjadi, tapi dia juga tahu bahwa ayahnya ingin kebebasan pergerakan penuh dalam pertarungan semacam ini, karena itulah Lucy menyerah dan mengangguk.

Berpegangan tangan dengan Robin yang tersenyum kepadanya, Lucy jujur saja jengkel dia harus melakukan ini semua. Sang pemuda sudah semakin dekat dengan ayahnya, membuat Lucy khawatir sebentar lagi dia akan kehilangan si pria besar karena pemuda ini.

Ditambah lagi, semua usahanya untuk menyakiti Robin dengan kekuatannya tidak pernah bekerja, seakan si pemuda mampu menahan panasnya seperti sang ayah.

Tidak! Lucy menolak, tidak ada yang sama seperti ayahnya yang sekarang sedang sibuk mendiskusikan strategi dengan si wanita pendek. Tapi kalau bukan itu lalu ....

“... apa?” Pikiran Lucy diselesaikan oleh Robin yang terkagum terhadap pemandangan di depannya.

Setelah mendengarkan George menyuruh Quinn untuk menarik perhatian semua monster di kota ke arahnya, si pria besar kini berjalan jauh ke depan, didatangi oleh monster-monster yang mengejar bola-bola cahaya ciptaan Quinn.

Pria itu menarik napas dalam, memasang ekspresi serius yang kemudian terhapus saat dia membuang napasnya keluar. Kembali ke wajah itu adalah senyum arogan yang lebar, dan pembantaian bermula.

George menghajar seekor iblis yang pertama berada dalam jangkauannya. Makhluk menjijikkan yang gemuk, merah, dan bertanduk itu kehilangan muka cepat.

Semua setelah itu sulit dilihat oleh orang di luar, tapi George bisa merasakannya. Setiap gigitan, cakaran, dan usaha sia-sia lainnya untuk menyakitinya tidak melakukan apa pun kecuali membuat darahnya jatuh ke tanah.

Pergerakannya tidak terhambat atau melambat, dia menghancurkan kepala semua yang bisa dia hancurkan, merobek sayap dari setiap iblis yang terbang, dan melubangi tubuh sisanya.

Lihat selengkapnya