Excursion to World's Heart

Dei Arcana
Chapter #19

Bab 19

George menghentikan langkahnya, mendengarkan tali panah ditarik dan dilepaskan, dengan anak-anak mereka kini melayang di udara, menggelapkan langit siang musim panas dengan bayangan mereka yang mendung menandakan hujan rasa sakit yang sebentar lagi akan tiba.

Pria itu tersenyum membuka tangannya lebar-lebar dan menutup mata, menyambut kedatangan hujan panah itu ke arah tubuhnya yang kini memiliki Lucy dan kawan-kawan di belakang punggungnya.

Meski begitu, Quinn punya ide yang berbeda. Si pendek menggerakkan tangannya, mengangkat naik mereka seakan sedang mengembalikan ombak yang tak kasat mata.

Lalu, tangannya mengepal, menunjukkan ombak tak kasat mata yang dia kendalikan berupa angin yang kini mengamuk dan berputar di udara, menangkap setiap panah yang siap menghujani mereka, dan melemparkan anak-anak panah itu jauh dengan satu gerakan tangan yang lain.

George membuka matanya, prediksinya salah. Melihat ke udara, panas terik mentari kembali bersinar kepada mereka. Si raksasa tidak tahu kenapa.

Semua yang dia tahu adalah, ini merupakan saatnya untuk menghabisi mereka semua. Dia berlari, lebih cepat dari ekspektasi orang terhadap tubuhnya yang besar.

Formasi musuh terbelah, mengizinkan pasukan berkuda yang berjumlah ratusan untuk keluar dari dalam mereka. Semua kuda itu sama, bersisik hijau tua yang mengkilap di bawah cahaya, dengan mata merah dan mulut berlendir lengket.

Begitu pula pengendara setiap dari mereka yang membawa tombak besar di tangan. Tercipta dari tulang, mereka tampak begitu lemah di depan George yang tersenyum lebar, mengepalkan tangannya dan meninju.

Salah satu dari mereka jatuh dan pecah, kudanya melawan berusaha menggigit George yang menangkap leher sang kuda, melemparnya ke arah pengendara-pengendara lain yang berusaha mendekat juga.

Belum puas, George menunggu lebih banyak datang. Tombak mereka mulai melukainya. Senjata bergerigi itu menarik dan mengupas kulitnya, membuat si pria berdarah, tapi tidak menyerah.

Sang pria dikerumuni begitu banyak, sementara sisanya berusaha mencapai Quinn dan kawan-kawan dengan sia-sia. Hanya mampu menabrak halangan tak kasat mata ciptaan Quinn, mereka semua dipaksa menghadapi si pria perkasa.

Quinn dan Robin menonton tanpa senyuman, dikontras oleh Lucy yang bertepuk tangan pelan seakan begitu percaya bahwa sang ayah akan menang di antara serangan ratusan prajurit berkuda yang bukan lagi manusia.

Tidak bisa lagi melihat si pria di antara kerumunan pasukan berkuda musuh, Quinn membuat keputusan. Dia menggerakkan tangannya, merapal mantra lama, dan memaksa semesta tunduk pada keinginannya.

Sebuah bola api raksasa tercipta, dia tembakkan langsung ke arah kerumunan itu.

“George!” Quinn memanggil memperingatkan, membuat George berbalik. Sang pria menatap bola api itu di mata tapi tidak menghindar, dimakan ledakan besar yang menghancurkan semua pengendara kuda yang mengelilinginya.

George sendiri masih berdiri, berbau gosong dengan rambut yang sedikit terbakar, tapi tidak kehilangan senyuman. Tidak ada lagi pengendara kuda musuh yang berdiri, membuat tentara seberang menembakkan anak panah kedua.

Quinn kembali menggerakkan tangannya, memaksa angin untuk jatuh ke dalam inginnya dan melindungi mereka bertiga. Sang penyihir memutuskan untuk mengetes teori yang muncul di kepalanya setelah melihat George selamat dari bola apinya.

Melihat dirinya tidak dilindungi, George hanya tersenyum lebar menantikan rasa sakit yang menyegarkan. Tangan kirinya dia gunakan untuk menahan anak panah yang akan membuat dia buta.

Sisa dari tubuhnya yang setengah telanjang dia biarkan, merasakan darah segar dan luka baru di setiap tempat, membuat dia terbangun dari bosan dan menjadi semakin bersemangat.

Kakinya menapak tanah kuat, “Lagi.” Maju selangkah menantang musuh yang mulai bergerak sesuai perintah komandan mereka yang masih menonton George dengan mata yang bosan.

Tentara biasa mereka mulai maju, dengan pasukan bertombak dan perisai berada paling depan berusaha mengusir George mundur dengan menodongkan senjata mereka ke depan.

Di belakang mereka adalah prajurit yang membawa pedang dan perisai, sementara di atas kepala para prajurit itu merupakan makhluk-makhluk dengan wujud menjijikkan yang bisa terbang dan membawa belati di tangan.

Robin memperhatikan George berdiri diam dengan santainya, perlahan mengerti bagaimana sang pria bisa mendapatkan julukannya di antara orang-orang.

Mengingat kembali dua hari latihannya dengan sang pria, Robin juga menjadi paham akan tujuan dari mereka semua. Mulai mengerti prinsip maskulinitas yang George bawa.

Lihat selengkapnya