Excursion to World's Heart

Dei Arcana
Chapter #20

Bab 20

Berjaga-jaga untuk kondisi terburuk, Quinn mengurung mereka berdua dalam setengah bola menggunakan penghalang tak kasat mata yang sedari tadi dia gunakan.

Tidak sempurna atau sama dengan penghalang sihir yang menyelimuti pusat dunia, tapi mampu untuk menahan cukup banyak stres seperti yang sudah dia tunjukkan sebelumnya.

Sayangnya, Quinn tidak yakin penghalangnya itu bisa menahan kekuatan salah dari mereka yang sekarang sedang dia kurung, lebih tidak yakin lagi dia penghalangnya mampu menahan kombinasi kekuatan keduanya yang masih berdiri menatap satu sama lain, berusaha menilai masing-masing.

Tiga orang yang kini berdiri agak jauh dari lingkaran ciptaan Quinn itu juga melakukan hal yang sama. Quinn sendiri kebingungan, tidak bisa benar-benar menilai siapa yang akan memenangkan pertarungan ini.

Dia merasa bahwa si Merah memiliki kekuatan yang luar biasa, dan juga bukanlah manusia. Akan tetapi di lain sisi, dia sudah menyaksikan secara langsung kekuatan George yang tidak bereaksi sama sekali bahkan saat ditikam senjata yang diimbuhi sihir.

Ditambah fakta bahwa George mampu menghancurkan zirah-zirah dan perisai yang juga diimbuhi sihir, dia tidak mampu memutuskan. Persis seperti Robin yang berusaha percaya bahwa gurunya akan menang, tapi tidak bisa menghapus fakta bahwa wujud si Merah meminta penghormatan.

Satu-satunya di antara mereka yang percaya penuh pada kemenangan George adalah Lucy, dan hanya itu yang dibutuhkan oleh sang raksasa.

George mengayunkan tinjunya, menghantam wajah si Merah dengan semua kekuatan yang dia punya. Merah sendiri tidak menghindar, ingin mengetes kekuatan lawannya, satu keputusan salah.

Dia terlempar jauh hingga menabrak penghalang tak kasat mata ciptaan Quinn. Membuat kekuatan magis itu bergetar hebat dan retak, hanya mampu memperbaiki dirinya sendiri karena Merah yang oleng oleh tinju George yang mengambil waktunya.

Merah menatap musuhnya yang begitu arogan dan percaya diri, memiliki bukaan, celah, dan kelemahan di dalam posenya yang begitu santai. Sesuatu yang dia manfaatkan.

Kakinya menolak cepat dengan tanah, menaikkan debu ke udara, menutupi pemandangan dari semua penonton di luar yang tidak bisa melihat dia mengepalkan tangannya dan mengantarkan tinju dengan kekuatan penuh kepada George yang juga tidak menghindar.

Kesalahan yang sama dengan si Merah, bukan karena kekuatan pukulan si merah sama dengan kekuatan pukulannya. Tidak, George hanya terdodong mundur beberapa kaki.

Namun sebab si Merah berbeda dengan George yang memberikan kesempatan baginya untuk bangkit, dia tidak ada niat untuk membiarkan George kembali sadar.

Serangan bertubi-tubinya dia lanjutkan, terus menerus mengincar kepala dan badan si pria perkasa yang hanya tersenyum tanpa menutup mata.

Terus menatap si Merah dengan tajamnya seakan menantang sang iblis untuk melakukan hal yang lebih buruk lagi, dan lagi, dan lagi. Hingga si Merah terdiam di tempatnya, kehabisan tenaga dan lawannya masih berdiri tegap tanpa perubahan yang luar biasa.

Benar memar berwarna ungu dan biru ada di sana, berdarah hidung dan mulut si pria. Akan tetapi ekspresi makhluk yang menurut si Merah bukan manusia itu tidak berubah.

“Hanya itu, temanku?” Dia bahkan masih bisa bertanya sembari mengepalkan tangannya, “Kau mengecewakan.” Kini membalas semua serangan si Merah.

“Balas aku!” Menggoda dan menghina dalam setiap tinjunya, “Ayo!” Terus memberikan kesempatan bagi si merah yang kehabisan tenaga, kehilangan satu-satunya kebanggaannya di Neraka: kekerasan.

Dia merasakan egonya jatuh dan pecah bersama setiap hantaman tinju musuhnya, semakin lemas dan lemah dengan setiap ayunan yang datang dari sang lawan yang kini meninggalkannya untuk tetap berdiri, jelas sekali tahu hanya perlu satu tinju lagi untuk menjatuhkan dirinya.

Satu tinju yang akan segera datang dari atas. George berdiri tepat di depan si Merah yang berusaha menormalkan napasnya, mengangkat tangannya ke udara dengan senyuman lebar di wajah.

Dan dia tertusuk. Seluruh tubuhnya membeku, tombak besar yang tercipta dari kegelapan sempurna menembus tempat di mana jantungnya seharusnya berdarah, membuat dada sebelah kirinya itu berdarah.

Lihat selengkapnya