Sudah beberapa hari sejak sang ayah mengambil keputusan sepihak itu, tapi Lucy masih belum mengatakan apa pun kepada si pria perkasa. Alasannya terlalu sederhana: tidak ada yang berubah.
Paling tidak, begitulah pikir Lucy sampai hari yang dia takuti tiba.
“Papa ...?” Matanya menangkap wujud sang ayah yang bersiap keluar tanpanya, melihat pria itu berdiri di depan pintu rumah sementara mereka untuk keluar tanpa sepengetahuan Lucy.
Berkomentar, “Sudah kubilang dia akan menemukan kita, George.” Adalah Quinn yang hanya mengangkat bahunya sembari berjalan keluar terlebih dahulu, “Aku akan menunggu di luar.”
George mengangguk, berbalik memasang senyum hangatnya yang biasa kepada Lucy yang sibuk berusaha mengerti mengapa sang ayah melakukan ini semua.
“Lucy.” George memalsukan senyumnya, “Sayang, Papa harus keluar sebentar.” Berlutut cukup rendah untuk sejajar dengan mata Lucy yang melihat melewati kebohongannya.
Cepat menjawab, “Lucy ingin ikut.” Lucy menggenggam tangan besar sang ayah yang memegang pundaknya dengan semua tenaga yang tubuh kecilnya punya, tidak mau ditinggalkan.
George membuat napas yang agak berat, menatap Robin di belakang yang menggeleng tidak tahu, benar bingung harus mengatakan apa kepada Lucy yang bahkan tidak mau menatapnya.
Melihat tidak ada satu pun orang yang mau menolongnya, “Bagaimana kalau begini.” George menawarkan satu-satunya hal yang dia tahu putrinya suka, “Lucy tinggal di sini sejenak, dan saat Papa pulang ....”
Sayangnya George gagal mengerti satu hal, “Tidak!” Lucy tidak mencintai apa pun di atasnya cintanya kepada George, “Lucy ingin ikut!” Anak gadis itu menaikkan suaranya.
Sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya, mungkin karena ini tidak pernah terjadi sebelumnya pula.
Tangannya berusaha menggenggam lebih kuat, perlahan kehilangan warna. Mata si gadis berkaca-kaca, menatap memelas ke arah sang ayah yang hampir menyerah.
Namun, “Papa akan segera pulang, Sayang.” Masih segar semua kesempatan putrinya itu bisa mati di kepala George, membuat dia pada akhirnya tega menarik tangannya mundur dan memaksa sang anak gadis untuk berdiri diam di sana.
Tidak percaya.
Lucy tidak percaya.
Begitu tidak percaya dia bisa meragukan ayahnya yang kini berjalan semakin jauh darinya. Lucy bisa merasakannya, semua kehangatan itu sirna begitu saja.
Mengkhayalkan hal itu, kakinya bergerak maju selangkah.
Membuat sang ayah merespons, “Lucy!” Membentak Lucy yang kembali membatu, “Jadilah anak yang baik dan tunggu Papa kembali.” Berusaha menemukan mata pahlawannya yang kini sudah berjalan keluar meninggalkan dia berdua dengan musuh bebuyutannya.
Mungkinkah dia salah dan ternyata bukan Robin yang akan merebut sang ayah darinya tapi Quinn? Dan pertanyaan lain yang mirip mulai mengisi kepalanya, hanya menghilang dan berhenti saat sang musuh bebuyutan menyentuh pundaknya.
Lucy bergidik dan berbalik untuk menemukan senyum penuh simpati si pemuda di sana.
“Mereka pasti akan pulang lebih cepat dari kau bisa bilang ‘bistik’, Lucy.”
“Bistik.”
“... mungkin tidak secepat itu, tidak.”
Tahu betul bahwa Robin salah ditambah dengan jawaban penuh putus asa dari sang musuh bebuyutan, Lucy akhirnya hanya menundukkan kepalanya, jatuh ke dalam pikiran panjang yang terus menghantuinya sepanjang hari.
Kenapa ...? Terus menggema di pikirannya, gagal dibangunkan oleh mandi atau bistik buatan si musuh bebuyutan yang kini menjadi satu-satunya temannya di rumah.