Setelah bekerja selama beberapa hari, Lucy akhirnya punya cukup uang untuk membeli hadiah sang ayah. Anak gadis itu sendiri sudah tahu apa yang akan dia berikan kepada pahlawannya.
Oleh karena itulah, “Ayo, Lucy.” Sekarang dia akan pergi dengan sang musuh bebuyutan bergandengan tangan, hanya karena dirinya tidak mau hilang di keramaian.
Paginya hari ini tidak lagi dibuang di kerajaan melakukan pekerjaan kecil-kecilan yang tidak benar-benar bisa Lucy lakukan. Beruntung sang ratu cukup baik untuk tetap menggaji mereka meskipun semua yang Lucy lakukan adalah menambah pekerjaan pelayan di istana.
Semua uang itu terletak dalam kantung koin emas yang Lucy peluk ke dada dengan satu tangannya yang bebas, tidak pernah mengizinkan Robin atau siapa pun menyentuhnya setelah dia menerima.
Tingkah laku semacam itu hanya bisa membuat Robin tersenyum, sadar selama beberapa hari ini bahwa anak mentornya itu memanglah anak biasa dengan sedikit hobi dan ketertarikan yang unik saja.
Menerima hal itu sebagai fakta, “Jadi, apa yang akan kau beli untuk Papa?” Robin siap menjadi pembimbing sang gadis muda demi melepasnya dari kesendirian.
Mendengar pertanyaan Robin, mata Lucy menemukan milik musuhnya, melihat masa lalu berputar di sana, mengingat kembali apa yang sudah hilang dari ayahnya karena keinginan egois dirinya.
Hari itu, keduanya sedang berada di desa yang terletak di kaki gunung tertinggi di benua. Keduanya ada di sana setelah Lucy mendengarkan kisah naga dari seorang penyair di restoran di kota sebelumnya.
Penasaran dan ingin melihat naga yang mengagumkan ini, Lucy bercerita ke sang ayah yang mengatakan bahwa memang ada seekor naga di atas gunung tertinggi di benua.
Melihat kilau di mata Lucy, pahlawannya akhirnya mengajak Lucy untuk naik ke atas sana dan melihat sang naga legendaris dengan kedua matanya sendiri.
Setelah menginap sehari di desa di bawah sembari membeli perlengkapan mendaki, keduanya naik sebelum mentari menampakkan diri keesokan hari.
Awalnya Lucy berjalan dengan kakinya sendiri, tapi semakin tinggi mereka mendaki, semakin terjal pula jalanan ke puncak gunung, sesuatu yang akhirnya membuang sang ayah menggendong Lucy sepanjang perjalanan, hingga mereka dipaksa berhenti.
Sudah dekat mereka ke puncak, tapi ayahnya tidak melanjutkan, sebab sang pahlawan melihat Lucy yang sudah menguap beberapa kali di gendongannya.
Tiga perempat dari puncak gunung yang diselimuti salju, mereka berhenti. Lucy menatap ayahnya membangun tenda dari dekat. Setengah sadar, tapi Lucy masih bisa sesekali melihat kalung itu.
Kalung yang sama yang digunakan sang ayah sejak pertemuan pertama mereka itu tidak pernah lepas dari leher si pria tidak peduli apa, dan Lucy tidak pernah tahu alasannya.
Semua yang dia tahu adalah, dia ingin menjadi sama berharganya dengan kalung itu bagi sang pahlawan. Oleh karenanya Lucy memeluk leher sang ayah erat saat dia tidur di atas dada si pria, memimpikan pertemuan mereka, dan terbangun saat burung pertama bernyanyi di kanopi hutan.
Lucy membuka matanya, “Bagaimana dengan sarapan, Sayang?” Menemukan sang ayah tersenyum sembari mengelus rambutnya di depan sana.
Lucy mengangguk pelan, “Hm.” Meregangkan tubuhnya sebentar di tubuh pahlawannya sebelum bangun dari sana dan membiarkan sang ayah membangun api dan mulai memasak.
Lucy menonton dari kejauhan, matanya memperhatikan api di bawah tuku itu menari dan bergerak, memanggilnya untuk mendekat, tetapi Lucy menolak.
Dia mengalihkan matanya ke arah sang ayah yang tersenyum dan bertanya, “Bagaimana tidur Lucy? Enak?”
Lucy mengangguk senang, mengingat kembali mimpinya yang menceritakan tentang masa paling indah hidupnya.
Memperhatikan ekspresi Lucy, “Begitukah?” Sang ayah tersenyum, “Papa juga bermimpi bagus, Lucy tahu.” Mulai menceritakan mimpinya untuk menemani makan mereka berdua.
Lucy cuma diam dan mendengarkan, sebagaimana dia hanya diam memperhatikan sang ayah merapikan perlengkapan berkemah mereka untuk melanjutkan perjalanan naik ke atas.
Mereka sampai ke atas sana saat hari sudah hampir siang untuk menemukan kekosongan. Lucy dan ayahnya melihat sekeliling untuk mencari sosok naga yang ternyata tidak ada.
Lucy kecewa, bahkan sedikit tidak terima. Sayangnya, dia tidak bisa mengatakan semua itu saat ayahnya sudah bekerja keras untuk membawanya kemari.
Mencari alasan untuk bahagia, Lucy melihat sekelilingnya, menemukan dirinya sendiri cukup tertarik dengan pemandangan yang memberikan ilusi melayang di sekitarnya.
Kabut tebal putih mengelilingi mereka, tidak begitu mengizinkan Lucy melihat ke bawah, tapi dia cukup jeli untuk tetap melakukannya. Dirinya memperhatikan kota asal mereka, melihat kabut itu terbelah, mendengarkan suara sayap raksasa yang berkepak di atasnya, dan sang ayah yang melompat ke arahnya.
Lucy sekali lagi berada dalam dekapan ayahnya yang tersenyum lebar kepada sang naga yang baru saja muncul dari angkasa, naga yang jelas sekali ingin memakan mereka.