Quinn berjalan sendirian di bawah kanopi hutan. Tasnya lebih besar dari tubuhnya, berat berisikan semua perlengkapan yang dia perlukan untuk memulai hidup baru di kerajaan lain.
Dalam perjalanannya, dia bertemu dengan Liana. Mata pendeta wanita itu menatapnya kosong, seakan tidak sedang berada di alam yang sama dengan Quinn.
“Kau baru saja melihat Neraka, huh, orang asing.” Sesuatu yang Quinn komentari dengan senyuman cerah yang menipu.
Mendengarkan lelucon Quinn, “Dari mana kau tahu ...?” Kesadaran Liana kembali ke bumi, berhenti menatap masa lalu yang sudah pergi meninggalkannya.
Bersamaan dengan kesadaran Liana yang kembali, “... eh? Senyum Quinn menghilang, “Tunggu!” Tentu saja dia tidak menyangka Liana sungguh kembali dari Neraka, “Neraka sungguh ada?!”
Liana mengangkat alisnya bingung, “Iya ...?”
Mendengarkan jawaban penuh keraguan itu, “Sial!” Quinn mengentakkan kakinya ke tanah dengan frustrasi.
Melihat tingkah laku si pendek, “Kenapa?” Liana bertanya.
Quinn mengangkat wajahnya, “Itu artinya aku sudah pasti akan masuk ke dalam sana!” Memasang ekspresi paling serius di sana.
Liana terkekeh, memecah ekspresi setengah bingung dan seriusnya, membuat Quinn melakukan hal yang sama. Setelah pertukaran singkat itu, Quinn dan Liana mulai bertukar cerita, dengan Quinn mengatakan tujuannya dan menawarkan Liana untuk pergi ke tempat yang sama.
Tidak lagi punya tujuan atau rumah, Liana akhirnya setuju, memulai perjalanan panjang keduanya bersama di mana mereka perlahan saling membantu dan mengenal.
Meski begitu, hari-hari paling terang mereka adalah saat keduanya sudah berada di Peterarchland, dengan Quinn mendapatkan pekerjaan sebagai peramal gadungan dan Liana mendaki naik hierarki gereja.
Di sana, tabiat keduanya yang sudah terungkap kepada satu sama lain melengkapi masing-masing, menjadikan mereka rekan kerja yang cukup efektif untuk mencapai tujuan bersama.
Itu tentu saja jika mereka masih punya tujuan bersama, sayangnya tidak lagi. Quinn tidak lagi menginginkan Neraka di dunia hanya demi kemampuan untuk melakukan sihir, dia sudah mendapatkannya, dan Liana tidak tahu apa-apa.
Tidak ingin kehilangan kekuatan itu dengan begitu mudah, Quinn mengkhianati Liana tanpa pikir panjang, hal yang sekarang menghantui mimpinya dengan kejadian yang berulang.
Hari itu hujan, tapi keduanya telanjang, dan tidak berpelukan. Mereka berbaring agak berjauhan, terlentang di kasur Liana yang menatap langit-langit juga.
Bosan, “Quinn.” Sang wanita memulai percakapan.
Sama bosannya, “Ya?” Quinn merespons dengan nada yang hampir sama.
“Tidakkah kau takut?”
“Pada apa?”
“Mati.”
Quinn membuka matanya, dia mendecakkan lidah, jengkel pada mimpinya yang berusaha membuat dia merasa bersalah karena mengkhianati wanita yang sungguh mencintainya.
Misi mereka untuk menghabisi si wanita sudah masuk kemarin, dengan hari ini mereka harus berangkat sebelum kehilangan kekasih Quinn yang mungkin saja akan mencoba lari.
Namun, Quinn tahu wanita itu tidak akan lari. Bukan itu yang Quinn takutkan, dia takut akan kebalikannya. Wanita keras kepala itu tidak akan mundur, dan George akan membunuhnya.
Membayangkan itu sudah cukup untuk mengisi hatinya penuh rasa bersalah, mendorong dia mondar-mandir di kamarnya berusaha menenangkan diri sembari, “Sial, sial, sial.” Mengutuk dunia ini.
Akan tetapi, dia tetap tidak tenang. Mendorongnya untuk menghilang, dimakan kabut yang menelan dan kemudian membawa dia ke tempat yang terlalu dia kenal.
Tubuhnya memadat di kamar sang mantan, muncul dari asap yang kembali menyebar lalu menghilang dari pandangan.
Matanya mencari, “Liana?” Dia memanggil lembut dengan niat berdamai, berharap bahwa mereka bisa menyelesaikan ini dengan lebih mudah.
Sayangnya, “Quinn.” Ana jelas sekali tidak mau melakukan hal yang sama. Wanita itu masuk membawa pisau ritual di tangannya sementara tangannya yang satu masih berdarah segar.