Kematian bisa merasakannya, dari naluri dan secara harfiah. Nalurinya mengatakan bahwa dia tidak akan bisa menang melawan apa pun yang datang selanjutnya.
Sementara matanya memperhatikan langit yang kehilangan purnama dan bintang-bintangnya, dimakan awan gelap yang berputar dan bergemuruh marah.
Mereka bergerak ke arah pos yang dirinya jaga sendirian dengan cepat, seakan ditiup angin kencang Utara yang biasanya datang bersama musim dingin.
Namun, sekarang bukanlah musim dingin. Sekarang adalah malam musim panas yang masih panjang ke depan, pastinya akan dipenuhi kesedihan, penderitaan, dan kekeringan.
Wabah penyakit akan menyebar walaupun saudarinya sudah dikonsumsi oleh seorang anak manusia. Perang akan tetap menyuburkan tanah walaupun saudaranya sudah hancur menjadi mayat penyet belaka.
Dan kematian tetap akan membunuh begitu banyak manusia, bahkan walau dia akan kalah dan hancur oleh musuhnya yang terus mendekat ke arah dirinya.
Kematian membuang napas berat, membuat senyuman di wajahnya yang hanya berupa tengkorak, persis seperti sisa tubuhnya yang hanya berupa tulang ditutupi zirah berduri.
Sekelilingnya diselimuti kabut hitam yang berasal dari dia yang berdiri menopang pedang penjagal besar di tangannya. Memiliki lubang di tengah untuk melepaskan semua jiwa yang dirinya renggut dari manusia.
Manusia yang kejam dan kaya, miskin dan baik hatinya, tua dan muda. Tidak ada yang bisa larinya, tidak ada yang bisa selamat dari pedangnya, kecuali mungkin ....
Dia mengangkat kepalanya, “Selamat datang, George.” Menyambut dia yang baru saja tiba di daerah kekuasaannya.
Pria itu menjawab, “Minggir.” Wajahnya menyembunyikan marah dalam yang panasnya hampir setara dengan api yang terbakar di bagian paling bawah Neraka.
Mendengar perintah sang pria, “Maafkan aku.” Kematian mencabut senjatanya dari tanah dengan tangan kanannya, bersiap untuk menghadapi George yang mendengkus maju.
Pria perkasa itu berjalan santai mendekati Kematian dengan anak di gendongan. Hanya punya satu lengan fungsional dan sebuah beban untuk dilindungi, banyak yang akan mengasumsikan George tidak akan mampu melakukan kerusakan yang besar dengan kekurangan semacam itu.
Mereka bukanlah Kematian. Dia menghindar ke kanan, menggunakan momentumnya yang tersisa untuk menggerakkan pedangnya ke leher si pria yang cepat berbalik.
Pedang itu menancap di punggung besar si pria yang selanjutnya berdarah merah saat Kematian mencabut pedang itu, mengalir jatuh ke tanah yang haus.
Sesaat setelah pedang itu dicabut, George berbalik dengan kekuatan, mendekati Kematian cepat tanpa niat memberikan sang tengkorak kesempatan untuk menghindar.
Hal itu memaksa Kematian mengangkat pedangnya, menggunakan senjata itu sebagai perisai sementara untuk menahan semua tenaga George yang berhasil mendorongnya jauh hingga dia menabrak tembok tak kasat mata.
Tubuhnya terpantul ke depan, dia berlutut ke tanah dengan tangan tulangnya menggenggam erat pedangnya yang beruntung masih utuh setelah menerima tinju sang musuh.
Mengalihkan perhatian mereka berdua adalah suara cempreng yang terlalu optimis untuk tempat angker ini, “Kami di sini!” Keluar dari mulut seorang wanita pendek yang melayang di udara dengan senyuman lebar.
Dari kejauhan, “... di ... di sini ....” Suara lain menyahut. Dia datang dari seorang pemuda dengan zirah perak yang kehilangan kilaunya oleh awan yang mengamuk.
Di perisai si pemuda adalah simbol yang Kematian tidak kenali, tapi pedang pemuda itu memiliki inskripsi dalam bahasanya, pepatah lama yang sering dikatakan orang tua kepada anaknya.
Lupakan dunia .... Pikirannya dipotong, intuisinya sebagai seorang petarung membuatnya berbalik dan sadar bahwa dirinya sudah terlambat. Tinju musuhnya sudah terlalu dekat untuk dihindari, semua yang dirinya bisa lakukan adalah diam dan menerima tinju yang tidak sampai itu.