Excursion to World's Heart

Dei Arcana
Chapter #27

Bab 27

Mereka berlari kemari, hanya bisa beristirahat karena Robin dan Quinn mampu membujuk George bahwa anaknya butuh istirahat saat sedang sakit dan menderita.

Namun sekarang, mereka tampak sangat salah. Lucy mengamuk dan meronta, perlahan terangkat ke udara lepas dari pegangan Robin yang tidak harus melepaskan tangannya, tidak mau ikut terangkat bersama Lucy yang kini tinggi di udara.

“Lucy!” George siap melompat, tapi mata Liana terbuka, cahaya putih menyebar dan membutakan semua, menghentikan George dari mencapai anaknya.

Saat mata mereka semua terbuka lagi, mata Liana sudah kembali tertutup, dengan senyuman yang lembut di wajah, dan Lucy di gendongannya.

Anak semata wayang George itu tenang di sana, tampak begitu damai di dekapan Liana. Akan tetapi, George tidak peduli pada hal semacam itu, dia tidak percaya pada Liana, tidak suka wanita itu mengelus rambut anaknya.

Marah, guntur bergemuruh mewakilinya, hujan semakin deras, petir menyambarnya, dan dia mengambil satu langkah maju dengan tangan yang terkepal.

Lagi, “Ah, ah, ah.” Liana menghentikannya. Berhenti mengelus putrinya untuk mengarahkan kuku tajam di tangan ke arah leher putrinya yang kembali khawatir.

George membatu di tempatnya, tidak ada dari mereka yang bergerak, membiarkan Liana kembali mengelus dan menenangkan Lucy di dekapannya dengan lembut.

“Kurang lebih enam tahun yang lalu.” Setelah Lucy kembali tenang, “Kau mencuri sesuatu dariku.” Liana menyerahkan anak itu pada kematian yang juga mengarahkan tangannya untuk menyentuh Lucy jika George bergerak.

“Sebuah kunci yang akan mengizinkan aku pulang ke rumah.” Wanita itu sibuk melukai dirinya sendiri, “Atau paling tidak ....” Menggunakan darah yang keluar dari tubuhnya untuk menggambar simbol di tanah, “... membawa rumah kemari.”

Saat selesai, “Tapi kau, George.” Dia kembali mengambil Lucy dari kematian, “Kau merebutnya dariku.” Menaruh anak itu di tengah lingkaran, “Kau merebut kunciku.” Dan memulai sebuah ritual.

Melihat itu sebagai kesempatan, George melompat ke depan, tapi Kematian menghentikan. Tangan mereka terkunci pada satu sama lain, dengan George jelas sekali marah dan frustrasi, tapi tidak bisa melempar lawannya begitu saja karena kekuatan mereka yang hampir sama.

Perbedaan tipis itu tidak membantu George yang tidak kebal dari pembusukan, dengan tangannya terus membusuk dan petir terus menyambar tempat mereka bertarung.

Quinn juga mencoba melakukan sesuatu, tapi ritual itu terjadi lebih dulu, dengan efek yang tidak dia duga bisa ada. Perutnya berputar, aliran darahnya serasa bergerak ke arah yang sebaliknya.

Dia memuntahkan asap dari mulutnya, keluar dan mengalir mengelilingi ritual yang sedang dirasakan Liana. Menutup takdir mereka, tanah bergetar hebat saat seekor iblis jatuh dari udara.

Robin dan grupnya mengenali iblis itu sebagai yang pertama kali mereka kalahkan, seharusnya masih terkapar sebagai mayat penyet di tiga kota sebelum ini.

Namun di sanalah mereka semua berkumpul, menyambut kedatangan sang Raja yang perlahan terbentuk dari tubuh Lucy yang berteriak dan meronta.

Sesuatu yang cepat menguatkan George yang sudah berkali-kali disambar petir dari angkasa. Dia melemparkan lawannya ke belakang dan berlari tempat ke arah Liana yang dipaksa menghentikan ritualnya untuk menghindar.

Hanya itu yang diinginkan George. Dia menghentikan tubuhnya sebelum dirinya mencapai si merah yang berdiri di belakang Liana dan tidak menghindar seperti si wanita.

Dirinya sibuk mendekap dan memeluk putrinya, mengangkat pergi anak semata wayangnya dari kumpulan makhluk Neraka itu untuk mendarat tepat di samping Robin.

“Jangan biarkan mereka mengambil Lucy darimu,” ucap George yang menyerahkan anaknya ke pelukan Robin

Lalu, “Eh?” George melompat menjauh, “Tapi ....” Tidak mendengarkan Robin yang sibuk menatap bolak-balik antara Lucy yang bernapas berat di pelukannya dan keempat orang yang George harapkan Robin bisa jaga sendirian.

Sadar betul bahwa mereka menginginkan Lucy, “George!” Robin ingin melepaskan tanggung jawab itu secepat yang dia bisa, yakin akan mengecewakan mentornya dalam sekejap saja.

Dan Robin merasa pikiran buruknya itu sebentar lagi akan dibuktikan benar saat dia melihat Perang berlari ke arahnya saat Quinn sibuk menghadapi Kahat dan George Kematian.

Lihat selengkapnya