Pukul 06:00 pagi, suasana kota sudah ramai dengan segala hiruk-pikuknya. Di luar sedang gerimis, udara lembap dan dingin membalut kota tua yang seringkali dijuluki sebagai kota paling tertinggal di negara ini. Perekonomian kian merosot tahun demi tahun, menjadikan perputaran mata uang menurun secara drastis sejak satu dekade terakhir. Akibatnya, orang-orang harus bersusah payah mencari cara demi menyambung hidup, meski harus membahayakan nyawa orang lain.
Termasuk Ellen, seorang gadis yang tinggal di bagian Barat kota ini harus bekerja keras agar ia dan adiknya, Vea, dapat bertahan di tengah kerasnya kehidupan kota Derner. Orang tua mereka telah menghilang sejak lama, rumor mengatakan bahwa mereka tewas dalam perjalanan pulang dari ibu kota, namun tak ada bukti yang menandakan jenazah mereka ditemukan. Aneh.
Aroma telur goreng memenuhi dapur yang hanya berukuran 2 x 1 meter. Dua buah telur goreng yang dihidangkan dengan dua potong roti adalah menu sarapan Ellen dan Vea pagi ini.
“Aku akan berangkat lebih awal hari ini,” ujar Ellen dari dapur.
“Terserah kau saja, aku tidak peduli,” balas Vea yang tengah asyik menonton TV.
“Kau mau makan? Aku membuatkanmu telur goreng dan roti panggang,” lanjut Ellen.
“Nanti saja, aku belum lapar,” balas Vea.
Vea memang sedingin itu kepada Ellen. Sejak orang tua mereka menghilang, seketika itu juga senyum Vea seolah direnggut oleh takdir. Seolah tak ada lagi yang berharga baginya, seolah semua harapan dan kesukaannya tidak ada artinya lagi. Ia selalu merasa hidupnya penuh dengan ketidakadilan. Usianya baru 9 tahun saat orang tua mereka dikabarkan menghilang. Terpukul, tentu saja. Terlebih lagi Vea adalah anak bungsu yang sangat dekat dengan ayahnya. Tragedi itu nampaknya masih menyisakan luka batin pada Vea yang kini sudah beranjak remaja.
Di dapur, Ellen menghabiskan sarapannya, mencuci piring, merapikan rambut, mengenakan jaket dan sepatu kets usangnya, lalu berjalan menuju pintu.
“Jangan lupakan sarapanmu, Ve. Pastikan juga kau mencuci piring makanmu sehabis makan. Aku tidak mau melihat tumpukan piring kotor lagi sepulang kerja,” pesan Ellen kepada Vea yang sama sekali tidak digubris oleh remaja berambut pendek sedagu itu.
Ellen menghela napas.
“Jangan terlalu lama menonton TV. Aku tidak mampu membayar tagihan listrik jika kau terlalu boros,” lanjut Ellen lalu berjalan keluar rumah menuju ke tempat kerjanya—sebuah pabrik tembikar tua—yang jaraknya tak sampai 1 km dari rumahnya.
Gerimis masih setia menyapa kota tua ini. Ellen mempercepat langkahnya menuju ke pabrik karena khawatir akan turun hujan lebat. Rambut cokelatnya berayun mengikuti irama langkahnya yang tergesa-gesa di tengah kerumunan warga yang sibuk berjual-beli. Suasana pasar tetap ramai meski awan sudah berwarna abu-abu tua ditambah rintik-rintik air yang sebentar lagi akan bertransformasi menjadi guyuran hujan. Bagi warga Derner, pasar ini adalah jantung yang membuat kota ini masih hidup. Bahkan jika hujan es menghujam, menutup pasar mungkin tetap tidak terpikirkan oleh penduduk kota.
Di antara semua tempat hingga ke sudut kota Derner, pasar inilah tempat yang paling masif dikunjungi orang-orang. Suasananya yang riuh menjadikan tempat ini juga yang paling berpotensi menjadi pusat keributan—dan berbagai tindak kriminal—yang menjadikan lokasi pasar cukup berbahaya bagi anak-anak.
Kecurangan pun menjadi hal yang lumrah bagi para pedagang, baik dengan cara memanipulasi timbangan dagangannya, menaikkan harga bahan pokok segila-gilanya, hingga menjual bahan pangan yang sebenarnya sudah tak layak konsumsi. Meski demikian, tak ada yang dapat membantahnya. Warga dan hukum di negeri ini sudah telanjur bobrok, tak ada yang mampu menegakkan keadilan meski hanya sebatas membicarakannya. Semua warga hanya memiliki satu tujuan yang sama—berusaha mencari makanan agar bisa tetap hidup.