Expired Girl Expired Money

daun kecil
Chapter #2

UANG KADALUARSA

MENABUNG. Jika kau punya uang lebih baik ditabung, itu akan sangat berguna bila kau membutuhkannya suatu saat nanti. Atau....

Jika kau ingin membeli barang dan uangmu tak cukup maka lebih baik menabung dulu. Nah, itulah paham yang dianut oleh banyak orang, termasuk Suryati. Semakin miskin semakin harus menabung.

Yang paling khas dari Suryati adalah ia memiliki senyuman yang polos, Hani melihat senyum itu setiap bertemu dengan-nya. Ia selalu menyapa terlebih dahulu dengan suaranya yang terdengar centil dan lucu. Namun nama Suryati termasuk dalam daftar yang disebut banyak orang untuk dijadikan contoh nyata perempuan yang tak laku-laku.

Kali ini Hani berjumpa Suryati saat membeli bakso. Pak Ji nama penjual bakso itu. Entah siapa nama panjangnya, tak per-nah menjadi pertanyaan. Para pelanggan sepakat memanggil-nya pak Ji. Kesabaran Hani pun diuji di situ, karena aroma bakso Pak Ji begitu menggoda dan begitu banyak pembeli. Gadis pendiam itu memperhatikan Suryati yang tampak berseri-seri dan membawa bungkusan plastik hitam mencurigakan. Bukan bakso isinya, karena Suryati masih antre di dekat Hani. Setelah antre beberapa lama, giliran Pak Ji melayani Suryati, tentunya melayani sebagai penjual bakso.

Pak Ji memasukkan lima bungkus bakso ke dalam kan-tong plastik berwarna merah. Pembeli lain meragukan jika Suryati yang memesan lima bungkus bakso itu. Namun, kali ini, tampaknya Suryati sedang banyak uang.

“Berapa Pak Ji?” Tanya Suryati dengan wajah berseri, Hani melihat bahwa tetangganya itu tak sabar untuk pulang dan membagikan bakso kepada anggota keluarganya yang lain.

“Dua puluh lima ribu.” Ucap Pak Ji datar. Pak Ji memang tidak pernah tersenyum saat melayani pelanggan. Tapi tetap saja baksonya laku keras. Mungkin karena tak ada saingannya. Tukang bakso yang pelit senyum itu selalu lewat seusai magrib dan setelah itu takkan ada pedagang makanan lain yang lewat. Suasana desa menjadi sepi.

Suryati membuka bungkusan plastiknya, ternyata ada uang di dalam. Tampak ia menghitungnya dengan serius. Kemudian menyerahkan plastik beserta isinya ke Pak Ji.

“Hitung saja Pak uangnya, saya bingung ngitungnya.” Pinta Suryati.

Pak Ji menarik napas dalam-dalam, lalu mulai membuka kantong plastik itu, ia masukkan tangannya ke dalam, kemudian ia keluarkan uang recehan dan menghitungnya, sesekali Pak Ji berhenti dan geleng-geleng kepala. Beberapa orang dan Hani yang masih mengantre ikut menjadi saksi dan diam-diam dalam hati penasaran. Tampaknya uang receh Suryati belum mencu-kupi, kemudian Pak Ji merogoh kantong plastik dan menge-luarkan beberapa uang kertas. Pak Ji tampak heran dengan uang kertas yang ia pegang. Ia garuk-garuk kepala, kemudian menerawang uang kertas tersebut dengan wajah yang tak lagi datar. Para pembeli lain kaget melihat uang kertas yang ditera-wang Pak Ji.

Pak Ji juga memeriksa beberapa uang kertas lain yang sama saja. Para pembeli yang kaget pun ikut memegang uang kertas itu dan menerawangnya.

“Ada apa Pak Ji, uang saya palsu ya?” Tanya Suryati yang tampak bingung dengan sikap Pak Ji dan para pembeli lainnya.

“Ini uang sudah tak laku lagi Ti.” Jawab Pak Ji. “Sudah nggak beredar kok masih kausimpan. Nggak ada uang lain?”

Suryati tampak bingung dan panik. “Lho kok nggak laku, ini uang hasil saya nabung. Masak sudah nggak laku?”

“Ini uang sudah nggak laku Ti, kamu nabungnya sejak kapan... uang-uang ini sudah kadaluarsa buat mbayar! Sudah nggak beredar lagi!” Sahut pembeli yang lain.

“Kayak makanan aja kadaluarsa... ah nggak mungkin!” Suryati tampak tak terima dengan kenyataan yang ada.

“Kamu itu kok ngeyel, coba kamu beli ke tempat lain uangmu nggak bakalan diterima!” Ucap Pak Ji, didukung bebe-rapa pembeli lain yang berusaha meyakinkan Suryati kalau uangnya sudah tak laku.

 “Lha, terus, uangnya gimana pak?”

“Saya nggak mau terima. Ini uang recehmu juga banyak yang sudah nggak laku. Masak nggak pernah kauhitung tabu-nganmu.”

Wajah Suryati tampak pucat. “Tunggu sebentar ya pak!” Suryati berlari menuju rumahnya. Ia kembali dengan bungkus plastik yang lebih besar. “Pak Ji, coba hitung uang di kresek ini juga...”

“Lho-lho-lho ini uang celenganmu juga, rajin benar kau nabung.” Pak Ji dibantu dengan pembeli lain mulai menghitung uang tabungan Suryati. Tampaknya orang-orang sudah lupa akan niat membeli bakso. Hani tak mau ikut-ikut, tapi ia juga penasaran dengan status uang tabungan Suryati, masih banyak yang laku atau tidak.

Lihat selengkapnya