PAGI-PAGI sudah ada berita duka yang terdengar dari speaker masjid. Berita yang sungguh mengejutkan, lantaran yang meninggal adalah pengantin baru yang rumahnya berada di gang sebelah dari gang rumah Hani. Tangis pilu keluarga yang kehilangan menyebar dari mulut ke mulut menyulut rasa iba setiap orang yang mendengar.
“Kasihan, baru menikah, masih muda meninggal.”
“Emang yang meninggal siapa?” tanya Hani yang sedang membantu Emaknya memasak.
“Tini, masak tadi tak kaudengar. Kau tahu Tini? Yang badannya gemuk besar itu. Katanya mati karena sesak.”
“Kok tahu cara matinya, emang masjid juga ngumumin?”
“Ea, tadi waktu belanja, ada yang cerita. Padahal baru menikah dua bulan, masih muda pula. Kok nggak yang tua-tua dan penyakitan saja yang mati. Sayang sekali badan segede itu sebentar lagi dimakan cacing. Pasti cacingnya senang.”
“Ea sudah takdir, umurnya pendek.” Ucap Hani datar.
“Ea emang takdir, tapi keluarganya pasti sulit menerima. Apalagi ibunya. Ia anak perempuan satu-satunya. Kok bisa mati sesak ya.. apa karena gemuk?” tanya Bu Romlah pada anaknya.
“Ea bisa saja, orang gemuk emang rawan penyakit.” Hani menjawab dengan datar lagi. “Emak juga gemuk, diet Mak. Biar nggak kayak Tini.”
“Besar badan Tini daripada badanku! Sudah dilarang makan tapi tetap saja. Berbeda jauh dengan suaminya yang kurus kering. Aku tak menyangka ternyata masih ada yang mau dengan perempuan gemuk sepertinya. Pasti suaminya juga sangat bersedih, tapi takkan lama. Di usia yang muda sudah menjadi duda, belum punya anak pula. Pasti cepat cari pengganti.” Ucap Bu Romlah yang pikirannya sudah menerawang jauh, sambil mengiris berambang untuk digoreng. “Cepat kau telpon kakakmu, bilangin jangan gemuk-gemuk. Anaknya juga jangan boleh makan banyak-banyak. Padahal baru PAUD sudah tiga puluh kilo, bagaimana nanti kalau sudah besar.”
“Iya, nanti aku telpon.” Ucap Hani singkat sambil merenungi kata-kata Emaknya. Ia teringat dengan kakak perempuan-nya yang memiliki tubuh terlalu subur dan keponakannya yang lucu.
“Kau lanjutkan masak, aku mau ngelayat.” Ucap ibu tiga anak itu.
Ternyata proses pemakaman berjalan lama sekali, dan hari sudah mulai siang. Hani melihat Suryati yang sudah pulang duluan. Perempuan itu pun menghampirinya.
“Habis melayat Ti? ”
“Iya mbak, luama. Nunggu keluarga saudara jenazah lengkap. Kasihan mbak, tadi ibunya nangis nggak karu-karuan.”
“Ya iya Ti, pasti sulit kehilangan anaknya. Apalagi seorang ibu.” imbuhnya.
“Harusnya yang mati duluan orang kayak saya. Kasihan pengantin baru, malah meninggal. Kalau orang seperti saya yang meninggal, nggak ada yang harus sedih.”
“Hush, Aneh-aneh saja kau. Mau disiksa malaikat di alam kubur! Mumpung masih hidup ea banyak berbuat baik, banyak doa biar bisa diampuni dosanya.” Hani berusaha sok bijak.
“Kadang saya takut mbak, ditinggal sendirian. Nanti kalau Emak, Mbok Nem, Parmin, sama Lita meninggal duluan pasti saya sangat kesepian. Apa Tuhan adil mbak, masak orang yang punya suami, keluarga bahagia malah mati duluan. Sedangkan saya?”
“Yang masih sehat harusnya bersyukur masih diberi kesehatan. Kok malah pengen mati duluan. Nanti kalau ditanya malaikat kubur mau jawab apa?”
“Ea emang apa pertanyaannya mbak?”