Expired Girl Expired Money

daun kecil
Chapter #6

RADIO TUA

Langit sebagai atap rumahku...

Dan bumi sebagai lantainya...

Hidupku Menyusuri jalan...

Sisa orang yang aku makan...

 

ITULAH cuplikan lirik lagu Bang Haji Roma Irama, yang selalu Hani dengar sekitar pukul sepuluh malam. Parmin selalu menyalakan radionya sebelum ia tidur, dan terkadang di kala sore. Hani yang kamarnya dekat dengan rumah Parmin sampai hafal lagu-lagu yang dinyanyikan raja dangdut itu.

Kali ini Parmin gundah gulana bersama SONETA. Betapa tidak, kemarin ia telah memecahkan dua plafon milik Pak Lukman. Suami Bu Romlah itu mempercayakan plafon yang baru dibelinya dari toko bangunan pada Parmin untuk diangkut. Tidak hanya dimarahi, ia juga menanggung rasa tidak enak. Kredibilitasnya sebagai tukang becak profesional menjadi turun. Apalagi, ia tak sanggup mengganti plafon yang pecah. Parmin tak berdaya, mendengar omelan Pak Lukman dan Bu Romlah. Pasalnya waktu Parmin membawa plafon itu dengan becaknya Parmin tak mengikatnya dengan kuat dan jatuh.

Kini hubungan baik dengan tetangganya menjadi retak. Tetangganya itu takkan menggunakan jasa becaknya lagi.

Satelit ikut pusing memikirkannya, apa yang akan ia katakan jika bertemu Bu Romlah. Satu kata maaf pastilah tak cukup, Bu Romlah akan terus menyindirnya sebelum lega hatinya.

“Akhir-akhir ini becak sepi. Semuanya sepakat mati.” Ucap Parmin. Pria berkumis lebat itu tiduran, padahal sudah mulai siang, ia tak menarik becaknya. Badannya masih meriang dan ngilu sekujur tubuh.

“Siapa yang sepakat mati mas?”

“Ea para pelanggan becakku, satu persatu dari mereka meninggal. Mbok Min meninggal bulan lalu, Mbok Nah meninggal minggu lalu, Mbok Rah meninggal kemarin. Padahal mereka yang setiap pagi naik becakku.”

“Ea sabar mas.” Ucap Lita sambil mencari dompetnya.

“Aku mau belanja, Mas Parmin istirahat dulu biar cepat sembuh.” Imbuhnya.

Lita pun keluar, dengan baju berwarna pink bermotif bunga-bunga dan rambut rapi di sanggul. Walaupun termasuk dalam kategori orang tak punya, selera cara berpakaian Lita termasuk yang paling modis. Karena baju jadul yang ia kenakan kini kembali nge-trend.

Sampai di warung Bu Esti, ia melihat banyak ibu-ibu yang sedang ngerumpi sambil berbelanja. Namun, Lita lebih suka menjadi pendengar.

“Bulan ini yang nikah di desa kita banyak banget ya bu...” Ucap Bu Mila.

“Iya, kalau dihitung saja minggu kemarin ada dua, minggu depan Erma, sama anaknya Tumi, siapa namanya.... aku lupa.” Ucap Bu Romlah sambil mengingat-ingat.

“Susi...” Sahut Bu Esti.

“Iya si Susi... Bukannya anakmu juga akan menikah tiga minggu lagi. Bagaimana persiapannya?” Tanya Bu Romlah kepada Bu Esti.

“Ya lancar, sudah kularang nggak usah ada resepsi, nikah di penghulu saja. Biar nggak makin malu-maluin.”

“Wong anak perempuan satu-satunya, ya dituruti saja, namanya juga anak perempuan wajar kalau ingin pernikahannya mewah, meriah ada resepsinya.” Ucap Bu Romlah sambil mengambil seikat kangkung dan tempe.

“Muka ini mau disembunyikan ke mana, wong perut Yuli sudah besar. Ngeyelnya minta ampun mau diadakan resepsi. Disembunyikan pakai baju sekalipun, perutnya bakal tetep keliatan njemblung.” Ucap Bu Esti sambil menghitung belanjaan para pembeli. Satu desa tampaknya sudah tahu mengenai kehamilan Yuli.

“Yang penting, sebentar lagi Bu Esti jadi nenek lagi.” Ucap Bu Mila. “Lha terus, anak Bu Romlah kapan kawin? Bukannya Hani umurnya lebih tua dari Susi dan Yuli?”

Bu Romlah merasa tidak senang mendapat pertanyaan itu, “Entah, anak itu sulit, terlalu pendiam. Sukanya belajar melulu, kalau nggak gitu ya nggambar. Nanti kalau sudah ketemu jodohnya juga pasti ngebet minta kawin.”

“Ea jodoh kalau nggak dicari nanti nggak ketemu-ketemu. Bisa-bisa kayak Suryati. Jadi perawan tua.” Hati Bu Romlah terasa ditohok dengan ucapan Bu Esti. Lita mulai ikut bicara mendengar nama kakak iparnya disebut, “Iya, Hani cantik, tinggi dan langsing. Pasti banyak yang mau. Nggak mungkin akan jadi perawan tua.” Sahut istri Parmin. “Dijodohkan saja Bu.”

Kuping Bu Romlah makin panas mendengar omongan Satelit. Kalau Suryati nggak ada yang mau wajar! Wajahnya jelek, kuntet, dekil. Kalau anaknya yang nggak kawin-kawin jadi perawan tua, itu akan membuatnya malu seumur hidupnya. Apa kata dunia. Batin Bu Romlah. “Suamimu tampaknya sudah sehat habis biaya berapa kemarin?” Bu Romlah yang melihat Suami Bu Esti keluar dari rumah, menemukan celah untuk mengalihkan pembicaraan.

“Iya, tampaknya sudah sehat sekali, sudah bisa jalan-jalan.” Sahut Bu Mila.

“Aku nggak sanggup Bu biayain. Untung ada Juned, adik iparku, yang mau bantu bayar uang pengobatan. Untuk rawat inapnya saja sudah habis hampir lima juta. Belum obatnya. Total keseluruhan ada tiga puluh juta.”

“Banyak benar, ya untung masih bisa berobat ada yang membantu. Kalau sudah sehat, bisa jadi wali anakmu nanti.” Ucap Bu Mila yang betah ngerumpi walau belanjaannya sudah ditotal sejak tadi.

Lita bersyukur karena Parmin tidak sakit jantung seperti suaminya Bu Esti. Paling hanya meriang, masuk angin, paling parah pun sakit menceret, kalau suaminya sakit parah nanti mau berobat pakai uang apa? Lita bertanya-tanya dalam hati.

“Dokter sudah ngelarang nggak boleh naik sepeda motor biar jantungnya nggak komplikasi lagi. Tapi tetap saja naik sepeda cari perempuan! Kalau sakit mau ke mana, kalau bukan aku yang susah.” Bu Esti mengungkapkan keluh kesahnya. Cerita keluarga Bu Esti memang sudah seperti sinetron di TV.

“Hush! Ngomongmu mbok ya pelan-pelan. Suamimu bisa dengar.” Bu Romlah menyahut.

Lihat selengkapnya