HANI pulang dari mengajar, berjumpa dengan murid-murid di kelas selalu membuatnya merasakan semangat kembali. Semangat untuk tak menyerah meraih mimpinya. Saat memarkir sepedanya, tampak orang tuanya berbicara dengan beberapa orang di ruang tamu. Hani masuk rumah, terpaksa ia harus memasang senyum dan menyalami semua tamu Bapaknya. Setelah itu buru-buru melarikan diri ke kamar.
Ada yang mengganjal di benak Hani, tamu Bapaknya tak lain adalah Pak Leman, bersama istri, Supri, dan dua orang lainnya yang tak dikenal. Semua yang ada di ruang tamu memakai baju rapi. Hani menebak sesuatu yang tak diinginkannya. Ia pergi menemui Emaknya di dapur.
“Mak ada apa? Kenapa Pak Leman dan anaknya datang kesini.” Bu Romlah sedang menyiapkan kue dibantu dengan Bude Hani.
“Keluarga Supri datang untuk melamarmu. Bagaimana Supri, tampan kan anaknya.”
Hani terkejut mendengar jawaban Emaknya, “Ya ampun Mak! Sudah aku bilang. Aku belum mau nikah! Jangan dipaksa. Ini malah mengatur lamaran.” Apa yang ditakutkan Hani terwujud, “Pokoknya aku nggak mau! Batalkan Mak!”
“Hush! Suaramu itu pelankan... Nanti terdengar Pak Leman! Nggak bisa dibatalin Bapakmu sudah setuju. Kalau kau mau batalin bilang saja sama Bapakmu.”
“Lho-lho! Yang mau kawin itu aku atau bapak. Kok nggak tanya langsung main setuju.”
“Kau menurut saja sama orang tuamu. Supri anak yang baik, pekerja keras, ganteng pula. Hidupmu akan terjamin.” Sahut Budenya Hani.
Hani masuk ke kamar dengan penuh emosi. Orang tuanya telah berlaku semena-mena. Ia pun berfikir untuk melaksanakan ancamannya yaitu kabur dari rumah. Namun ia tak punya cukup uang. Hingga diurungkannya niat itu. Kemudian gadis itu menangis, namun tak lama. Karena menangis tak akan merubah keputusan Bapaknya. Hani benar-benar tahu, Bapaknya adalah orang yang sangat keras, satu bentakan darinya bisa membuat Hani menangis selama tiga jam. Jika ada orang yang paling ia takuti, itu adalah Pak Lukman, Bapaknya sendiri.
Hani keluar kamar setelah mengeringkan matanya yang basah, ia mengintip dari balik pintu ruang tengah. Dilihatnya ayahnya sedang berbicara serius, diamatinya Supri. Wajah laki-laki itu memang tampan terlihat bersih. Kulitnya tetap putih walau rajin ke sawah. Hidung mancung dan bibir tipis yang merah, sepertinya Supri bukan pria perokok. Namun tergambar jelas bahwa Supri adalah pria pendiam dan penurut.
Hani berniat memecah pembicaraan di ruang tamu dan berteriak tidak setuju untuk dilamar. Namun ia tak berani melakukannya. Benar-benar tidak berani. Bisa terjadi perang besar anatara Hani dan Bapaknya.
Hani kalut, ia kembali lagi ke kamar dan menangis lagi. Kali ini tangisan panjang berderai. Hani membayangkan jika ia menikah dengan anak Pak Leman, ia harus ikut ke sawah untuk membantu Supri, mencucikan semua pakaian kotor keluarganya, berkutat di dapur selama hidupnya, belum nanti kalau mertuanya cerewet. Hidupnya akan benar-benar kelam, jauh dari impiannya. Hidup bebas, tanpa beban, tak ada yang mengekangnya menjadi seniman. Hani ingin keluar dari desa Sukowati. Terbang mengejar mimpinya, bertemu dengan seniman-seniman hebat dan belajar dari mereka. Ia ingin bebas, seperti burung dengan sayap terkuat layaknya burung albatros. Takkan ada lagi orang yang bisa mencegah termasuk kedua orang tuanya.
Kalau kodrat perempuan ialah menjadi ibu rumah tangga, ia akan tetap menjalaninya. Tapi tidak dalam waktu dekat apalagi dengan Supri. Pria yang taunya cuma mengurus sapi dan penurut. Bisa-bisa Supri akan disetir orang tuanya setelah menikah. Semua pikiran buruk tentang Supri muncul dalam benak Hani. Bayangan masa depan yang suram bersama Supri tergambar jelas dalam imaji.
Setelah Pak Leman dan keluarganya pulang. Bu Romlah membagikan kue kepada para tetangganya. Ketan salak yang terbuat dari ketan, dimana pembuatannya hampir mirip dengan dodol sesuai tradisi dan terus turun-temurun. Dipercaya, lengketnya kue tradisional itu akan membuat lengket pula hubungan antar keluarga.