Esok harinya Hani keluar rumah untuk bertandang ke rumah Pak Leman dengan misi yang sama. Namun berita begitu cepat menyebar, entah darimana sumbernya. Bu Romlah pun telah diberondong dengan sejuta pertanyaan saat berbelanja.
Ketika Hani sampai di depan rumah Pak Leman, ia disambut Supri. Baru kali itu ia berkunjung ke rumah Pak Leman yang besar. Hani melihat wajah Supri yang lebam.
“Sampeyan kenapa?” Tanya Hani, “Kok seperti habis dipukuli.”
“Supri tersenyum tipis, Mbak Hani tau saja. Saya habis dihajar bapak tadi, setelah membenarkan berita yang beredar.”
Hani terkejut, “Maaf Mas, gara-gara saya sampeyan jadi kayak gini. Saya tak menyangka beritanya begitu cepat menyebar.”
“Saya belum pernah melihat bapak semarah tadi, saya jadi khawatir.”
Tiba-tiba terdengar teriakan perempuan yang tak lain Emak Supri. Rupanya Pak Leman jantungnya kumat dan langsung dilarikan ke rumah sakit.
Hani menanggung rasa bersalah atas kumatnya jantung Pak Leman. Dilihatnya Supri yang sangat cemas dan istri Pak Leman yang tidak berhenti menangis di rumah sakit. Supri menghampiri Hani. Gadis itu duduk dengan wajah sedih.
“Mbak pulang saja, ini hampir mau magrib.”
“Ini gara-gara saya mas. Gara-gara berita itu Bapaknya Mas kumat jantungnya.”
“Tidak usah berpikir seperti itu mbak.” Supri mengeluarkan sebuah foto dari dompetnya. “Ini foto nenek saya, dulu waktu kecil saya nakal sekali, hingga suatu saat ia meninggal, jatuh karena mengejar saya yang berlari ke jalan. Ada motor saat itu. Saya selamat, tapi nenek meninggal. Saya sempat menyalahkan diri. Tapi Bapak selalu bilang bahwa itu takdir.”
Hani tak menyangka Supri menyimpan foto neneknya di dompet. “Sampean penyayang keluarga ya, foto nenek saja sampai disimpan di dompet.”
“Ini juga ada KTP Bapak saya jaman dahulu. Ini kenang-kenangan. Bapak saya sudah sangat tua. Mbak lihat tahun lahirnya.” Hani memegang KTP lama Pak Leman, yang ukuranya lebih besar dari KTP jaman sekarang. Fotonya juga masih hitam putih. Tertera 1947 tahun kelahiran Pak Leman. “Lahir dua tahun setelah kemerdekaan. Sudah tua sekali Bapak sampeyan.”
“Sebenarnya lahir 1943, umurnya di KTP di buat lebih muda. Waktu menikah bapak berumur 50 tahun, Mak saya 27 tahun.”
“Wow... jarak umur yang begitu jauh.” Hani mengembalikan KTP Pak Leman, “Kok bisa Mas?”
“Bapak saya dulu jejaka tua, begitu juga emak saya terancam jadi prawan tua. Padahal belum pacaran sebelumnya, mak saya langsung setuju saat melihat bapak.” Supri bercerita sambil mengeluarkan dua foto lagi. “Ini foto emak saya, dan ini foto adik-adik saya. Foto-foto ini selalu saya simpan di dompet. Saat melihat foto-foto ini saya selalu ingat dengan kewajiban saya sebagai anak pertama.” Hani melihat mata Supri yang berkaca-kaca.
“Kalau mas mau nangis, nangis saja mas. Tidak usah di tahan. Saya mengerti perasaan mas.” Hani berusaha menghibur. Mendengar ucapan Hani Supri mengusap matanya yang basah.
“Dulu, saya sangat ingin pergi keluar kota bekerja, mencari pengalaman seperti teman-teman saya. Emak selalu melarang, karena bapak sudah tua. Takkan ada yang membantunya di sawah dan mencari rumput untuk makan sapi.”
“Mas hebat begitu berbakti dengan orang tua. Jauh dengan saya.” Hani menjadi teringat orang tuanya, bahkan menyimpan foto keluarga di HP-nya saja tidak pernah, apalagi di dompetnya.
Kedua adik perempuan Supri datang, karena sudah ada adiknya yang menemani Emaknya jaga Supri mengantar Hani pulang.
Mulai muncul perasaan kagum pada pria penyayang keluarga itu. Supri pria desa yang lugu, Dimana kebahagiaan orang tuanya adalah segalanya bagi Supri.
***