SEUSAI rumah selesai dibedah pak Lurah, pak RW dan pak RT mengunjungi rumah Parmin. Tak hanya sekedar mengunjungi mereka membawa empat kambing. Rupa-rupanya pemerintah memberikan bantuan berupa kambing yang diserahkan kepada keluarga mbok Jah untuk dirawat dan dibesarkan agar beranak pinak sehingga dapat membantu perekonomian keluarga mbok Jah dan Parmin. Tentu saja bantuan itu sangat genius dan briliant. Bantuan berupa uang saja tentu akan cepat habis untuk kebutuhan sehari-hari. Bagaimana dengan bantuan berupa hewan ternak ?
Kambing itu diikat di belakang rumah Parmin tepat di samping kamar Hani, gadis itu bisa melihat kambing-kambing keluarga Mbok Jah lewat jendela. Satu setengah meter dari belakang rumah parmin sudah pekarangan milik keluarga bu Romlah. Hani heran, jika pagi dan siang kambing-kambing itu diikat di belakang rumah mereka. Kalau malam dimana? Ia membayangkan Lita dan Parmin satu atap dengan hewan berkaki empat itu, karena tak dilihatnya mereka punya kandang kambing di luar rumah mereka.
Semua keluarga Mbok Jah ikut mencari makan kambing. Parmin, Suryati, Lita, Sarinem, bahkan Mbok Jah juga ikut memberi makan. Mereka berusaha sebaik mungkin merawat hewan sumbangan pemerintah itu. Satu minggu pertama kambing masih belum bisa beradaptasi mereka sering mengembik. Membuat para tetangga Parmin tak bisa tidur.
Dua minggu kemudian kambing mulai jarang mengembik dan nafsu makan mereka berkurang, setiap membuka jendela anak Bu Romlah mengamati kambing-kambing itu, dilihatnya rumput yang mereka makan dibiarkan kering. Badan kambing itu bukan tambah gemuk tapi kurus drastis.
“Kurus benar kambingmu, jarang kauberi makan?” Tanya Bu Romlah dari jendela kamar anaknya.
“Makannya susah, sudah dicarikan rumput nggak mau makan. Bingung aku Bu,” Jawab Suryati.
“Sakit mungkin. Liat aja kurus kering gitu, daripada nggak bisa ngerawat dijual saja. Lumayan dapat uang.”
“Ini kambingnya dari pemerintah, ya tak berani. Nanti kalau ada petugas yang memeriksa, saya jawab apa? Masak saya jual, ya dimarahin.”
“Kambingnya sudah diberikan, sudah jadi milikmu. Nggak apa-apa kau jual. Nanti dijelaskan kalau ada petugas yang nanya. Bilang aja nggak bisa ngerawat. Beres.”
“Kemarin dikasih kambingnya disuruh ngerawat, bukan untuk dijual Bu Romlah..” Ucap Suryati yang teguh memegang amanat.
“Hmm ya terserah, aku cuma memberi saran.” Bu Romlah pergi meninggalkan Suryati dengan kambingnya.
Beberapa hari kemudian Hani melihat jendela dan kaget, karena kambing keluarga Mbok Jah tinggal tiga.
“Mak, kambingnya Mbok Jah kok tinggal tiga? Satunya dijual?” Tanya Hani pada Emaknya yang sedang nonton TV.
“Mati tadi pagi, sudah dibilangin dijual saja. Tetep ngeyel.”
“Mati kenapa?” Hani terkejut mendengar kabar kematian kambing tetangganya, pasti keluarga Mbok Jah sangat ber-sedih, batinnya. “Terus dikuburnya di mana?”
“Ya belakang rumahnya dekat jendela kamarmu itu.” Hani ke kamar melihat dari jendela gundukan tanah yang tiba-tiba ada di belakang rumah Parmin, itulah kuburan sang kambing.