HUJAN deras turun beserta angin kencang. “BRaKKKKK BRUAKKK BRAK.” Hani dan Ana kaget mendengar suara itu dan keluar melihat dari teras. Mungkinkah rumah Parmin roboh atau ada pohon tumbang yang menimpanya. Rupanya atap kamar mandi keluarga Mbok Jah yang jatuh terbawa angin kencang. Atap dari asbes itu tampaknya tak terpasang dengan benar, mungkin angin yang terlalu kencang hingga mampu membuat asbes tersebut jatuh.
Setelah hujan reda, dengan susah payah dibantu Lita dan Suryati, Parmin memasang kembali atap kamar mandinya. Sore harinya hujan deras dan angin kencang datang lagi. Membuat asbes itu kembali jatuh.
“Sudah biarkan saja, nggak usah dibenerin, nanti jatuh lagi!”
“Ya masak dibiarkan tanpa atap. Nggak enak dilihat tetangga.” Sahut Lita sambil memasak di pawon.
“Yang penting bukan dindingnya yang roboh. Biarkan saja.”
Sebagai istri yang patuh Satelit hanya diam, dengan keputusan Parmin. Sore harinya Lita mandi setelah lelah bekerja di rumah Mbak Iswatun. Belum selesai ia mandi, hujan turun dengan derasnya.
“Mungkin gini rasanya mandi pakai shower” Gumam Lita, Ia teringat kamar mandi majikannya terdahulu. Namun tubuh-nya yang kurus kering tak mampu menahan dinginnya hujan. Ia cepat-cepat menyelesaikan mandinya. Lita pun tersadar bahwa handuk dan pakaian yang ia gantungkan di pintu kamar mandi basah semua. Terpaksa ia memakai baju basah kuyup. Keluar dari kamar mandi dan masuk rumah.
“Kenapa basah semua bajumu? Katanya mandi.”
“Mandi kalau nggak basah ya bukan mandi namanya mas. Liat, gara-gara atapnya tak ada baju dan handuk basah semua kena hujan.”
“Makanya kalau mandi jangan pas hujan.”
“Tadi belum hujan mas hmmm..”
“Nah kalau mendung jangan mandi kalau gitu.”
“Hmmm.. Mas Parmin memang susah diajak ngomong.” Gumam Lita, “Ia melihat kambingnya yang sudah masuk, diikat di dekat pawon.”
“Mas kambingnya yang warna cokelat kok nggak gerak sama sekali. Jangan-jangan mati!”
“Tadi aku masukin masih bisa jalan.” Parmin langsung bangun dari dipan.
Lita memukul-mukul kambing tersebut, “Mbek-mbek, bangun mbek. Tapi tidak ada respon. Mas, mati kambingnya, mati lagi. Mati tenan, lihat mas nggak gerak!” Ucap Lita.
“Lhadalah mati lagi. Hmmm.... masih hujan. Mau dikubur nunggu terang dulu.” Hujan semakin deras bersama angin kencang. Lita memberitahu Mbok Nem dan Suryati bahwa kambing mereka mati lagi. Sebenarnya mereka sedih karena kambing mereka mati, tapi karena itu pemberian pemerintah dan bukan beli dengan uang mereka jadi kesedihan itu hanya sesaat.
“Kalau mati ya mau bagaimana lagi, mungkin sudah takdir. Kita nggak jodoh memelihara kambing.” Ucap Sarinem yang duduk di teras sambil menunggu hujan reda. Ia duduk bersama Suryati dan Mbok Jah. Lita duduk di bawah bersandar tembok karena bangku kayu di teras rumah Mbok Jah hanya muat untuk diduduki tiga orang. Bajunya pun sudah ia ganti dengan baju kering.
“Iya, lebih baik melihara ayam dan kucing.” Sahut Lita.
“Kucingmu mau beranak lagi gitu. Makin banyaklah anak-anakmu.” Ucap Suryati
“Iya, kemarin waktu di rumah Pak Warsun kucingku kawin dengan kucing anggora milik Diah.” Diah merupakan istri dari anak Pak Warsun yang pertama. “Pasti anaknya nanti lucu-lucu.”
“Kaubilang dulu punya anak Ta? Di mana sekarang, kok nggak pernah nyariin?” tanya Sarinem.
“Anaknya Lita ya kucing itu Mbok Nem.” Sahut Suryati
“Aku memang punya anak Mbak Ti! laki-laki. Aku dengar ia sudah jadi modin. Mungkin ia kesulitan mencariku. Waktu aku cerai, ia ikut bapaknya.”
“Mana buktinya kaupunya anak. Bukannya kucing itu anak-anakmu.” Sahut Suryati. “Lagi pula kau tahu dari mana anakmu sudah jadi modin? Jelas itu karanganmu saja! Buktikan! Kalau memang anakmu itu ada.”
Lita terdiam dan hanya menunduk. Ia tak bisa membukti-kan apapun. “Mas Parmin lo tahu aku punya anak. Aku dan Mas Parmin pernah bertemu dengan tetanggaku waktu dulu di Surabaya. Ia memberitahuku bahwa anakku sudah besar dan kembali dari Jakarta.”
“Hemm itu karanganmu saja.” Suryati tetap tak percaya.
“Tanya Mas Parmin kalau nggak percaya!” Lita mulai emosi dengan sikap kakak Iparnya.
“Sudah-sudah, ribut terus! Sudah terang, ayo ngubur kambing.” Ucap Parmin dari pintu rumahnya. “Ta, kaupinjam-kan cangkul Bu Romlah.” Lita beranjak dan menuruti perintah suaminya. Suryati dan Mbok Nem membantu Parmin untuk mengangkat kambing yang telah mati kaku itu ke belakang rumah.
Saat Parmin mencangkul hujan kembali turun, ia segera menyelesaikannya, sehingga lubangnya tidak terlalu dalam digali. Proses penguburan kambing itu akhirnya berlangsung singkat.
***
Malam harinya Pak Sarwan masih melakukan ritual yang sama, kali ini ritual dilakukan sesudah magrib. Tampaknya Pak Sarwan tidak sadar bahwa sudah ada orang yang membuka botol miliknya. Botol yang ia sembunyikan di celah atap rumah Parmin. Ia hanya memakai celana kolor hitam, dan melakukan gerakan yang sama persis dengan sebelumnya. Jika bapak satu anak itu memakai kolor ijo pasti membuat pikiran yang melihat-nya menjadi semakin tidak-tidak.
Hani memanggil Emaknya lagi untuk melihat melalui jendela kamar.
“Wan, kau ngapain di situ!” Tiba-tiba Bu Romlah ber-teriak, menegur Pak Sarwan yang sedang melakukan gerakan seperti pemburu hantu di TV.
Pak Sarwan tetap melanjutkan gerakan tanpa menggubris teguran tetangganya. Seolah-olah tidak mendengar. Karena merasa tak dihiraukan, Bu Romlah pergi ke rumah Bu Mila dan mengadukan perilaku Pak Sarwan. Bu Mila yang sedang asyik menonton sinetron, terkejut mendengar kabar dari teman ngerumpinya. Mereka berdua pun menuju tempat Pak Sarwan melakukan ritual aneh itu. Hani yang penasaran pun ikut melihat.
“Mas Sarwan! Sampeyan lagi ngapain!” Teriak istri laki-laki berkolor hitam itu. Bu Mila sangat terkejut melihat kelakuan suaminya. “Ayo pulang Mas!” Pak Sarwan tetap tak meng-hiraukan.
Karena suaminya tetap melakukan gerakan-gerakan yang aneh dan tak menanggapi ajakannya, Bu Mila menarik tangan suaminya, berusaha menggeretnya pulang. “Mas! Ayo pulang!” mendengar ribut-ribut Parmin dan keluarganya keluar melihat.
“Kalian mengganggu saja! Pergi! Pergi!” Tampaknya Pak Sarwan malu atraksinya menjadi tontonan, apalagi istrinya ber-usaha menggeretnya untuk pergi. Ia menghempaskan tangan Bu Mila dengan kasar, kemudian pergi meninggalkan para penonton yang kecewa. Padahal Hani sudah berharap akan ada adegan kerasukan. Kerasukan arwah kambing Parmin.
Bu Mila tampak terpukul oleh karena suaminya berbuat kasar di hadapan para tetangganya. “Maaf, atas kelakuan Mas Sarwan yang mengganggu.”
“Iya, emang Sarwan sedang melakukan apa? Masak kau tak tahu?” Tanya Bu Romlah.
“Saya benar-benar baru tahu ini, kalau Mas Sarwan berlaku aneh seperti tadi. Untuk apa saya juga tak tahu. Saya permisi, mau pulang dulu.” Bu Mila tampak buru-buru mengejar suaminya.
Kerumunan bubar, Hani dan Emaknya pulang. Kemudian terdengar suara pertengkaran dari rumah Pak Sarwan. Saat mau pulang Hani sempat melihat Parmin mengambil botol milik Pak Sarwan yang tertinggal.
Setelah kejadian itu, tak pernah terdengar suara orang memukul-mukul dinding rumah keluarga Bu Romlah. Tampak-nya suami Bu Mila sudah berhenti melakukan ritual-ritual aneh.
***
“Pak Sarwan melakukan ritual apa mas, kok malam-malam di samping rumah kita?” Tanya Lita sambil menyisir rambutnya yang tipis.
“Dengar-dengar Pak Sarwan sedang melatih tenaga dalamnya.” Jawab Parmin. Semalaman suami Lita itu meng-amati botol yang ditinggalkan tetangganya.
“Botol kosong kok diamati terus mas.”
“Siapa tahu ada jimat atau jinnya. Kalau Pak Sarwan melatih tenaga dalam, apa tenaganya ia simpan di dalam botol ini?” Parmin tampak berpikir memecahkan misteri botol suplemen itu.
“Mas kok percaya gituan.” Lita tampak sudah rapi bersiap ke rumah Mbak Iswatun. Parmin beranjak dari pembaringan-nya. Ia mengambil tali rafia, diikatnya botol itu di becaknya seperti gantungan.
“Kenapa diikat di becak mas?” Tanya perempuan tua itu pada suaminya. “Mau mas buat jimat? Jangan percaya gituan mas, nanti dosa.”