Expired Girl Expired Money

daun kecil
Chapter #20

LELAKI PENOLONG

“DIMANA mbak, di mana?” Ia kemudian segera berlari mengikuti Suryati, Hani segera ke rumah Parmin. Setan telah berhasil menemukan celah untuk menggoda Parmin yang sendiri, Suryati masih berteriak meminta bantuan tetangga lain. Mas Pur berusaha mendobrak pintu yang ternyata dikunci. Hani melihat dari jendela kaca yang memang didesain tak bisa dibuka, hanya sebagai pemanis, tampak kaki Parmin tak menginjak lantai dengan tali di leher yang mencekiknya. Kaki Parmin tampak masih bergerak, rupanya Parmin belum lama ditemukan oleh Suryati. Tubuh kurus Mas Pur tidak kuat mendobrak pintu, untung bantuan dari Pak Sarwan datang. Istri Pak Sarwan juga datang dengan ibu-ibu lainnya, ada yang menggendong anaknya pula. Mereka menyemangati dua lelaki yang sedang berusaha mendobrak pintu. Akhirnya berhasil.

Semua orang segera masuk ke rumah yang tak besar itu. Mas Pur segera mengambil kursi dan melepas tali yang mencekik leher Parmin, dibantu Pak Sarwan. Parmin ditidurkan di lantai dalam kondisi tak sadarkan diri, Mas Pur memeriksa napas dan denyut nadinya dengan meraba leher Parmin. Dengan sigap ia membuka baju Parmin, tiba-tiba ada suara yang menegurnya.

“Lho-lho mau apa sampeyan?” Tanya Bu Mila mencurigai orang asing yang tiba-tiba membuka baju Parmin.

“Saya ini mau nolong!” Jawab Mas Pur sedikit emosi, “Tolong jangan mikir macam-macam. Ini gawat!” Bu Mila dan para ibu-ibu lainnya pun terdiam, mereka menunggu aksi Mas Pur.

“Pak tolong panggilkan ambulans.” Pinta Mas Pur sambil meletakkan kedua tangannya di atas dada Parmin, lalu menekannya seperti gerakan memompa. Ia melakukannya dengan cepat dan berulang.

Tiba-tiba Mas Pur melakukan hal yang membuat semua orang yang sedang menyaksikan terkejut. Bahkan ibu-ibu yang menggendong anaknya, menutup mata anaknya dengan tangan, agar anaknya tak melihat adegan tak senonoh itu. Mas Pur membuka mulut Parmin sambil memencet hidung laki-laki malang itu. Kemudian bantuan napas diberikan oleh Mas Pur dari mulut ke mulut. Ia ulangi beberapa kali memompa jantung dan memberi napas buatan. Ia juga memeriksa nadi Parmin sesekali.

Mas Pur tampak kelelahan, keringat sebesar biji jagung menetes dari keningnya. Namun tak ada yang bisa membantu Mas Pur melakukan pertolongan. Pak Sarwan pun masih belum kembali dari memanggil ambulans.

Kalaupun ada yang membantu, itu pun melalui doa dan semangat yang terwujud dalam tatapan cemas. Suryati mena-ngis melihat kondisi adiknya yang tak sadarkan diri. Mbok Nem pun ikut menangis, kecuali Mbok Jah yang sedari tadi di luar komat-kamit dan mondar-mandir dari pintu ke sumur dan sebaliknya.

Tindakan Mas Pur sungguh membuat semua orang yang mengerumuni takjub bercampur jijik. Jika para warga disuruh memberi bantuan napas dari mulut ke mulut Hani yakin, mereka akan berpikir seribu kali terlebih dahulu untuk melaku-kannya bila korbannya adalah Parmin. Setelah beberapa kali proses memompa dan meniup anak Pak Sindung itu mengusap keringat di keningnya, lalu memeriksa nadi dengan menekan dua jarinya di leher Parmin untuk merasakan denyutnya.

Alhamdulillah.... denyut nadinya terasa.” Mendengar hal itu, orang-orang yang sedang menyaksikan jadi tegang, juga spontanitas mengucapkan kalimat syukur secara serentak. “Alhamdulillah...” Diikuti oleh tepuk tangan para ibu-ibu yang diprovokasi oleh salah seorang penonton.

Mas Pur melanjutkan dengan mengecek napas Parmin. “Waduh! Napasnya belum kembali!” Ia memberi napas buatan lagi, kali ini tanpa memompa jantung. Suasana tegang kembali, tangisan Suryati semakin menyayat hati. Sudah tak terhitung berapa kali mulut mereka berdua beradu, kerumunan orang semakin banyak, mereka menonton dengan antusias. Hani yang berada pada barisan paling depan dapat melihat langsung bagaimana Mas Pur berusaha memberi napas buatan.

Hani berpikir apa yang dirasakan Mas Pur. Mulut bertemu mulut, kumis bertemu kumis, jigong bertemu jigong, dan ia meniupkan napas untuk mengembalikan napas Mas Parmin yang terancam tak kembali selamanya. Mungkinkah Mas Pur bermain lidah? Batinnya.

Lalu, pria berambut ikal itu kembali memeriksa napas dengan mendekatkan telinganya di dekat hidung Parmin untuk merasakan hembusan napas.

Alhamdulillah... sudah kembali bernapas.” Ekspresi lega bercampur kelelahan terlihat di wajah laki-laki kurus itu.

“Parmin sudah bernapas? Kok belum sadar?” Tanya Mbok Nem cemas.

Mas Pur tidak menjawab pertanyaan itu, “Cepat bawakan air!” ucapnya dengan napas terengah-engah.

Sarinem segera melewati kerumunan untuk membawa-kan air. “Ini mas airnya diminumkan ke Parmin apa?”

“Jangan, ia belum sadar. Airnya buat saya. Untuk kumur.” Mas Pur keluar membawa segelas air, melewati kerumunan warga. Tak ia hiraukan tatapan warga yang bertanya-tanya. Beberapa ibu-ibu kusak-kusuk mempertanyakan identitas lelaki yang telah menolong Parmin itu. Beberapa lainnya menghibur Suryati dan Sarinem agar tenang sambil duduk mengelilingi Parmin.

“Wah pacar Mbak Hani hebat benar, bisa nolong Parmin.” Tiba-tiba Bu Mila yang duduk di samping Hani, mengajak bicara.

“Bukan! Bukan! Cuma teman kok Bu.” Hani punya firasat buruk akan ada berita yang tidak-tidak.

“Ah masak sih.... saya lihat beberapa kali datang ke rumah Mbak Hani, pasti calonnya ya...” Ucap istri Pak Sarwan yang selama ini mengamati rumah tetangganya.

“Cuma teman Bu...” Hani melihat jari tangan Parmin bergerak. “Mas Parmin mulai sadar!” mendengar ucapan Hani para warga yang ada di rumah Parmin kembali berkerumunan. Kesadaran Parmin menolong Hani dari obrolan dengan Bu Mila. Ia keluar dari kerumunan, mencari Mas Pur. Bersamaan itu ambulans desa datang.

“Ambulansnya kok baru datang. Lama banget.” Gerutu Mas Pur sambil masih berkumur. Tampaknya ia juga membasuh wajahnya dengan air sumur.

“Bagaimana rasanya?”

“Air putih, rasanya ya hambar. Kalau sirup manis.” Jawabnya sambil terus berkumur. “Mbak Hani nggak pernah minum air putih?”

“Bukan, maksudku bagaimana rasanya mencium Mas Parmin? Hahahaha... keliatannya sampeyan sungguh menikmati saat memberi napas buatan.”

“Hmm Mbak Hani meledek. Kalau Mbak Hani penasaran, sini! Dengan sukarela akan saya praktekkan ke mbak.” Ucap Mas Pur dengan tatapan nakal.

“Lho-lho! Kok saya!”

“Ya biar Mbak Hani tahu rasanya diberi napas buatan, hahahaha....”

“Hmmmmm... Mas Pur kok bisa nolong orang kayak tadi.” Tanya Hani penasaran, “Kalau nggak ada Mas Pur, pasti nyawa tetangga saya itu sudah melayang.”

“Saya hanya mempraktekkan ilmu yang saya punya. Dulu saya pernah mengikuti pelatihan pertolongan pertama.” Jawabnya, “Lagi pula tadi keajaiban Mas Parmin bisa bernapas lagi, kemungkinannya tadi sangat kecil saya berhasil. Mungkin malaikat pencabut nyawanya kasihan lihat saya ngos-ngosan berusaha, jadi ia gak jadi nyabut nyawa tetangganya Mbak Hani heheeee...”

“Emm begitu...Tadi Mas Parmin sudah siuman.”

“Mas, apa masih perlu Parmin dibawa ke rumah sakit?” Tanya Pak Sarwan. “Dia udah siuman mas.”

“Ya dibawa Pak. Untuk antisipasi, bila ada apa-apa, bisa saja tulang rusuk Mas Parmin ada yang patah waktu saya tekan.” Hani termenung mendengar kata-kata mas Pur, mungkin benar tulang rusuk Parmin patah, tapi bukan karena pertolongan yang diberikan Mas Pur tapi karena Lita yang telah pergi mungkin tak kembali.

“Baik mas.” Pak Sarwan memapah Parmin ke ambulans desa, Parmin menolak. Suryati dan Mbok Nem berusaha mem-bujuk. Karena Pak Sarwan tidak sabar, ia memaksa Parmin. Akhirnya Parmin mau ke rumah sakit. Suami Bu Mila itu memang terlihat garang dengan tubuh tinggi besar, dan tato di lengan kirinya.

Lihat selengkapnya