Expired Girl Expired Money

daun kecil
Chapter #22

BAHRUDIN

BAHRUDIN. Hani ingat nama itu. Jika diartikan ialah lautan agama. Sesuai namanya ia tinggal di lingkungan keluarga yang agamis, penampilannya begitu menipu. Saat pertama kali meli-hatnya kesan nakal dan urakan begitu terlihat, namun saat ber-bicara soal agama ia mendadak berubah menjadi seorang ustaz. Selidik punya selidik ia lulusan sebuah pondok ternama yang kemudian melanjutkan kuliah jurusan tehnik informatika. Ia teman sekelas Hani. Namun, tak lama, karena ia putuskan untuk tak meneruskan kuliah. Gadis itu mendengar ia berhasil lulus membawa gelar sarjana muda, namun nasibnya menge-naskan karena masih menganggur.

Hani menghubungi laki-laki itu untuk mengajaknya bertemu di alun-alun Jombang, dulu mereka sering bertemu di sana untuk saling curhat.

Saat datang ke alun-alun Hani melihat Bahrudin sudah menunggunya, duduk di bawah pohon. Suasana alun-alun tak sera-mai malam minggu. “Kau lama sekali.” Ucapnya sambil meng-isap rokok. Setelah memarkir sepedanya dan duduk di samping temannya itu Hani baru menjawab.

“Ya maaf sudah membuatmu menunggu, biasanya kau yang molor kalau diajak janjian. Ngomong-ngomong lama tak jumpa kau semakin kurus saja.”

“Badanku memang gini, kurus, nggak ngabisin tempat. Aku yang pangling melihatmu. Semakin manis saja. Hehehe..” Selain tambah kurus, Bahrudin tampak lebih putih setelah memperhatikan dengan saksama, rambutnya juga lebih pan-jang lurus tergerai. Jika dilihat dari belakang akan tampak seperti perempuan.

“Hmmm... gimana kabarnya, kau sudah lulus, sudah dapat kerja?”

 “Belum ada yang cocok.” Ucap pria berambut gondrong itu.

“Masa nggak ada yang cocok. Bukannya banyak lowongan yang butuh lulusan tehnik komputer? Kau saja yang malas.”

“Kau tahu sendiri, dari dulu aku pengennya berwirausaha. Buka percetakan. Hanya modalnya saja yang belum ada.”

“Ya kerja dulu, cari modal. Baru bangun usaha. Kau maunya instan melulu. Dengar-dengar sawah bapakmu terkena proyek pembangunan jalan tol, bukannya dapat uang banyak?”

“Uangnya habis, buat berobat Ibuku. Ibu sakit parah. Lagi pula bapakku keras orangnya. Menghambur-hamburkan uang entah buat apa. Hobinya ngelayap pulang nggak bawa apa-apa, padahal lulusan pondok, ilmu agamanya sampai tumpah-tumpah. Nyatanya! Aku kemarin saja geger sama bapakku, sampai-sampai hampir kucekik dia.”

Mendengar hal itu Hani merasa kasihan, ia tak menyangka masalah keluarga Bahrudin begitu rumit. “Itu cobaan buat keluargamu. Sekarang kau fokus cari kerja. Ya kalau misalnya kau ingin bekerja, pekerjaan apa yang kau mau? Kalau belum punya modal kan cari modal dulu.”

“Aku ingin pekerjaan yang gajinya besar, gak capek, dan ringan. Hehehe.. kau sendiri sekarang bagaimana? Dengar-dengar kau ngajar.”

“Hmmm sudah kuduga itu jawabanmu, kau masih tak berubah. Iya aku ngajar ekstrakulikuler desain di sekolah ma-drasah aliah, ngajar photoshop sama corel. Gajinya jangan ditanya. Kecil. Aku punya tawaran kerja untukmu.”

“Kerja apa?” Tanyanya sambil menyalakan rokok lagi.

“Ini sesuai kriteriamu, gajinya besar, nggak capek, ringan plus menyenangkan. Hehee...”

“Iya kerja apa? Ngedarin heroin? Enak tuh bisa sambil jalan-jalan apalagi kalau ngedarinnya sampai luar pulau.”

“Ya nggaklah, pekerjaannya lebih simpel, bahkan tak ada risiko ditangkap polisi. Kau cukup mengajak temanku pergi jalan-jalan dan membuatnya senang.”

“Sesimpel itu?” Udin menatap Hani tak percaya.

“Iya, tapi kau harus membuatnya senang. Ajak ia jalan-jalan sehari. Kau akan langsung menerima bayaran-mu jika kau sukses.”

“Boleh juga, emang temanmu umurnya berapa? Cewek? Kalau cantik sih sekalian akan aku gebet dia.”

“Iya, cewek, cantik banget. Umurnya lima puluh tahun lebih dikitlah.... tapi tenang saja wajahnya masih tampak tujuh belasan kok.. hehehe... ”

Lihat selengkapnya