KINI dengan uang bagian hasil menjual koin kuno Suryati, Hani akan mewujudkan mimpinya. Semua baju sudah dimasuk-kan tas ransel. Tak sabar ia menunggu pagi tiba. Bu Romlah tak bisa mencegah anaknya pergi lagi, karena ia sudah punya cukup uang. Tak sabar Hani menunggu pagi. Semua sudah direncanakan secara matang.
Hani berangkat pagi-pagi sekali, naik angkutan umum untuk pergi ke stasiun, di dekat stasiun sering ada bus berhenti. Banyak orang yang berdiri di pinggir jalan menunggu bus.
Masih banyak kursi yang kosong, ia memilih barisan kursi yang dekat pintu masuk, dan duduk dekat jendela. Kemudian ada seorang laki-laki bertopi, berjaket, dan berkaca mata hitam. Orang itu tampak asing. Padahal, masih banyak kursi kosong kenapa ia memilih duduk di samping Hani.
“Mbak Hani, kita bertemu lagi.” Laki-laki aneh itu menegurku. Hani kaget dan memperhatikannya.
“Anda.... kenal saya?”
Kemudian ia membuka topi dan kaca matanya. Tampaklah pria berambut ikal yang tak asing lagi. Ia tersenyum dengan sok imutnya. “Saya Pur, senang bisa satu bus dengan mbak.”
“Hah... Mas Pur?” Hani sangat terkejut. “Kok bisa satu bus?”
“Hehe.. Mbak Hani tidak usah terlalu shock begitu. Saya sengaja memberi kejutan.”
“Kejutan, maksudnya?”
“Ya kemarin Mbak Hani berencana ke Jogja, kebetulan saya juga mau pergi ke sana. Jadi, daripada mbak pergi sen-dirian, lebih baik saya temani.” Jelas Mas Pur sambil melepas jaketnya. “Kemarin saya mau hubungi Mbak Hani, tapi saya urungkan. Akan lebih seru kalau menjadi kejutan.”
Hani mulai merasa, duduk bersama laki-laki yang sangat aneh. “Mas Pur ngapain ke Jogja?”
“Saya mau berburu uang kuno di sana, kebetulan mau survey tempat juga buat bangun toko barang-barang antik, sesuai rencana saya.”
“Sudah dapat modal mas?”
“Sudah, dari koin yang saya beli dari Mbak Hani. Saya jual ke bapak saya. Hehehe... makasih lho mbak, karena telah konsisten dengan janji mbak untuk tetap menjual ke saya.”
“Hehe.. iya mas, yang namanya janji harus ditepati. Emang mas jual berapa?”
“Ya seratus ke atas mbak... hehe...”
“Seratus ribu?”
“Jutalah mbak, kalau seratus ribu mana untung saya.”
Mendengar hal itu Hani merasa sangat menyesal menjual-nya ke Mas Pur. “Wah banyak benar mas.”