Express Project

Adinda Amalia
Chapter #3

Bab 01: Pesta Minum Teh

“Bab pertama dimulai!”

Wangsa langsung waspada dengan sekitar. Itu suara yang sama seperti kemarin. Warna suara yang sama persis dan nada bicara yang masih terdengar bermain-main—menyebalkan di telinga. Begitu jelas terdengar, tetapi dia masih tak tahu dari mana asalnya.

“Nikmati empat jam di senja hingga petang bersama tuan putrimu sebaik mungkin.”

Wangsa mendengus, melipat tangan di depan dada, lantas menyahut, “Memangnya apa yang akan terjadi setelah—”

“Ngomong-ngomong,” suara dari dalam dalam ruangannya, mengalihkan perhatian Wagsa, “kau masih di situ, Wangsaya?” 

Lelaki itu berdiri di dekat pintu ruangan Hayu sejak tadi, menunggunya karena gadis itu bilang ingin mengganti pakaiannya dengan gaun sebelum datang ke Pesta Minum Teh sore ini. “Iya, saya di sini.”

“Bisakah kau kemari sebentar?”

Wangsa sedikit terkejut. “Tak masalahkah, Tuan Putri?”

“Tentu, aku belum mengganti pakaian,” sahutnya, saat Wangsa kemudian mengucap permisi dengan sopan lalu memasuki ruang perlahan. “Sortir beberapa map berisi dokumen di sana.” Dia menatap meja besar di ujung ruangan, dekat jendela kaca luas dan tinggi dengan gorden  krem menutup—menyisakan separuh dari cahaya matahari menembus masuk. “Kategorinya ada di selembar kertas. Kau bisa mengerjakannya, bukan? Aku sangat lupa untuk melakukan itu, sedangkan Ayah memintanya saat ini juga.”

Wangsa mengangguk kecil dengan tegas, berlalu menuju sisi ruangan. Saat berada di depan meja, punggungnya menghadap Hayu. Tangan Wangsa tak terlalu lihai dalam pekerjaan administrasi atau sejenisnya, tetapi setidaknya dia tidak bodoh. Dia memeriksa tulisan di selembar kertas, sebelum mencari-cari map dokumen yang sesuai. 

Setengah pikirannya terpecah dengan hal lain. “Ngomong-ngomong, Tuan Putri. Tentang suara waktu itu, Anda mendengarnya, bukan?”

Hayu di seberang ujung ruangan, berdiri di depan lemari pakaian besar, terbuat dari kayu jati yang dipoles mengkilap, serta ukiran bunga dan bentuk meliuk-liuk bagai tarian dansa dalam pesta tengah malam. Dia melepas ikat di rambutnya. “Sesaat setelah penghakiman—eksekusi mati—terakhir?”

“Iya,” kata Wangsa, masih menyortir dokumen, “saya mendengarnya lagi barusan.”

“Benarkah?” nada bicara Hayu naik sedikit. “Aku tak mendengar apa pun.” Gadis itu menggoyangkan kepala sedikit, membiarkan rambut panjang terurai jatuh.

“Begitukah? Aneh….” Wangsa kembali sepenuhnya fokus untuk menyelesaikan tugasnya, setidaknya sampai samar—bahkan nyaris tak bisa terdengar—suara kancing pakaian Hayu yang dilepas—dan Wangsa dapat memprediksi bahwa gadis itu menanggalkan kemeja, membuatnya berhenti bernapas untuk sejenak.

Cara gadis itu begitu enteng dan santai melakukan segalanya saat Wangsa berada di sekitar—selayaknya dahulu ketika Hayu masih belia—membuatnya keheranan campur gugup. “Anda membutuhkan bantuan untuk mengenakan gaun pesta teh, Tuan Putri?” suara Wangsa tegas dan garang seperti biasa, menutupi perasaan sesungguhnya.

“Tak masalah, lagi pula itu bukan bagian dari tugas seorang pengawal,” seru Hayu dengan enteng. “Para dayang akan membantuku. Ah, ini, datanglah mereka.”

Sekian menit selanjutnya, Wangsa tak mengatakan apa pun, hanya terdengar suara dari Hayu dan para dayang yang membahas mengenai gaun gadis itu sore ini. Wangsa menunduk saat melangkah sepanjang ruang untuk menuju pintu. “Saya hendak menyerahkan map-map ini kepada Yang Mulia.”

Hayu menoleh sedikit untuk menatapnya. “Bila Ayah mengajakmu mengobrol panjang lebar, katakan bahwa aku menginginkanmu kembali segera untuk mengawalku menuju Pesta Teh.”

“Baik, Tuan Putri.”

Senja makin kental memenuhi langit dan seluruh hamparan area istana Kerajaan Bumantara, ketika Wangsa kembali dari singgasana rajanya, Rama Dananjaya, untuk kembali ke ruangan Hayu.

Tepat beberapa detik sebelum pintu hendak diketuk, Hayu muncul dari dalam ruangan. Gaun biru malam dengan ornamen perak. Ketat dengan korset, menunjukkan jelas pinggang ramping, dilingkari oleh pita yang diikat disamping dan menjulur ke bawah beberapa belas sentimeter. Roknya berlapis, dengan kain bergelombang, mengembang seperti kelopak-kelopak bunga mekar. Satu lapis kain berhias bunga melingkar di dada hingga lengan atas. Sarung tangan warna senada menghias jemari. Rambut terurai ke samping dengan tiara sederhana.

Wangsa terdiam sejenak, memandangi. “Bukankah gaunnya terlalu berlebihan, Tuan Putri?”

“Tak masalah bukan?” gaya bicara gadis itu yang tegas, tetapi entah mengapa kerap kali jahil di hadapannya, masih saja membuat Wangsa keheranan. “Aku tuan rumahnya, lho, dalam Pesta Teh kali ini.” 

“Yah… kurasa itu sedikit masuk akal.”

Wangsa mengenakan tuksedo standar—tak ingin terlihat mencolok di tengah acara para bangsawan. Dia berdiri di belakang Hayu saat gadis itu memasuki aula dan menyapa beberapa tamu penting.

Lihat selengkapnya