KATANYA, setiap manusia memiliki cinta pertama.
Bagi Sam, dia hanya ingat momen itu. Ketika masih berada di Middleburgh—sebuah kota kecil di salah satu bagian utara New York—dan baru berusia 5 tahun. Pada waktu itu, Dad sedang sibuk mengatur ulang barang-barang dalam gudang yang berada di samping rumah sementara Sam asyik dengan mainannya sendiri di halaman.
Dad menemukan sebuah kardus bertuliskan "bisbol" yang dibalut oleh sebuah isolasi cokelat. Dad membersihkan debu di atas kardus, lalu membawanya keluar. Diletakkannya kardus itu di halaman yang tertutup oleh dedaunan kecokelatan sambil memanggil Sam. Dengan kaki pendeknya, dia berlari mendekati Dad, lalu melongok ke dalam kardus yang hampir menenggelamkan tubuh mungil Sam. Kedua mata Sam membelalak takjub. Tongkat pemukul, topi dengan bordiran inisial, sarung tangan kulit yang sedikit mengelupas, dan bola putih lusuh, berjejalan dalam kardus.
Sejujurnya, Sam tidak lagi asing dengan bola berpola jahitan merah itu. Di ruang tengah rumah, Dad membuat pajangan khusus di atas perapian kayu. Sebuah pajangan dari kaca seperti akuarium, dengan bola bisbol penuh coretan berupa tanda tangan melayang di dalamnya. Sam sudah mendengar ratusan cerita tentang Dad yang pernah bermain bisbol. Dia kemudian berhenti setelah seluruh anggota tim membubarkan diri karena sibuk dengan keluarga dan pekerjaan masing-masing—termasuk Dad.
“Can I have this one, Dad?” tanya Sam sewaktu tangannya mengeluarkan sarung tangan dengan kedua mata tipis yang berbinar.
Lalu, Dad mengajak Sam untuk bermain lempar-tangkap.
Itulah yang Sam suka tentang rumah di Middleburgh. Terdapat halaman yang luas dengan pohon-pohon kurus tinggi yang tumbuh hanya beberapa meter dari bagian pintu belakang. Pohon-pohon itu seolah memberi celah-celah kecil untuk masuk ke dalam hutan yang akan membawa mereka menyusuri tepi jalan Cotton Hill. Namun, pada pertengahan musim gugur seperti sekarang, pohon-pohon itu meranggas.
Seperti kala itu.
Di antara gemeresik daun kering, Dad mengambil jarak, lalu mengatakan agar Sam fokus pada bola yang akan Dad lempar. Namun, semua bola Dad hanya jatuh di tanah dan Sam berlari-lari kecil memungutnya. Tanpa mereka sadari, langit telah berarak menuju gelap. Dad benar-benar melupakan kegiatan membereskan gudang. Kemudian, Mama muncul. Sambil sedikit mengoceh, Mama malah bergabung dengan permainan Dad dan Sam.
Bola masih melambung rendah. Sam mengamati benda bulat itu membentuk kurva kecil di udara. Lalu, entah pada lemparan ke berapa, benda itu akhirnya jatuh ke dalam sarung tangan Sam dengan bunyi puk pelan. Dia membelalak tidak percaya. Pada waktu itu Dad langsung bersorak girang, “That’s my son!” Dan, Mama bertepuk tangan kagum sambil meraih Sam ke dalam pelukan.
Tepat ketika berhasil menangkap bola itu, Sam menyadari bahwa cinta pertamanya dimulai dari sana.
***
Berkemah di alam terbuka menjadi cinta kedua Sam.
Sam selalu percaya bahwa berkemah memiliki peranan besar dalam keluarganya. Jauh melebihi kebersamaan yang mereka tebar di atas meja makan.
Semua berawal ketika Dad tidak memiliki uang simpanan untuk mengunjungi rumah Grandpa di Oregon, apalagi berlibur ke rumah Tante di Jakarta—seperti yang kerap mereka lakukan untuk mengisi libur musim panas Sam. Sebagai ganti, Dad justru membawa keluarga kecilnya menuju area kemah. Kata Dad, tempat itu pernah menjadi lokasi berkemahnya ketika sekolah. Cokelat hangat dan roti isi menjadi perekat kebersamaan Mama, Dad, dan Sam menemani cerita-cerita mereka di dalam tenda. Setelah hari itu, sebagian besar musim panas Sam pun diisi dengan berkemah.
Hingga ketika Dad harus kehilangan pekerjaan sebagai Guru Olahraga di Middleburgh Center, Mama kemudian menawarkan sebuah solusi untuk pindah ke Jakarta—tempat asal Mama. Saat itu Sam langsung memprotes, bagaimana dengan teman-temannya di Middleburgh? Bagaimana dengan sederet rencana berkemah yang sudah tersusun di dalam kalender di ruang tengah?
Akan tetapi, Mama mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Mama malah mengingatkan Sam mengenai udara tropis Jakarta yang membuatnya bisa memiliki jadwal berkemah lebih banyak. Setidaknya hal itu membuat Sam bisa sedikit lebih tenang ketika berpisah dengan Middleburgh pada saat usianya yang ke-11.
Mama dan Dad pun menepati janji mereka.
Tanpa berkemah, Sam mungkin tidak akan bercerita tentang seorang anak perempuan yang dia temui di sekolah barunya. Anak perempuan yang sangat galak dan memiliki suara nyaring saat bicara, meski huruf R-nya akan melesap. Juga mata bulatnya—benar-benar bulat, yang seperti ingin menelan Sam hidup-hidup.
Semula Sam mengira bahwa berkemah akan menjadi bagian dari keluarga mereka, selamanya. Namun, dia salah. Karena kegiatan berkemah akhir pekannya kali itu tidak lagi sama.
Malam itu, saat berkemah di usianya yang ke-17, Mama menyodorkan cangkir berisi cokelat hangat. Kemudian, dia meletakkan kepala di pundak Sam yang semakin kokoh. Sementara itu, Dad duduk sedikit menjauh sambil mengusap tepian cangkir. Pandangannya terlihat sedikit kosong.
Dalam temaram malam, Mama kemudian berkata pelan—sangat pelan, “Honey, Mama dan Dad memutuskan untuk bercerai.”
***
Sam duduk di salah satu sofa ruang tengah dalam diam. Seragam putih abu-abu masih melekat sementara jari-jari tangan Sam saling mengait melewati kedua lututnya. Semakin rahangnya terkatup kuat, semakin Sam tenggelam pada ingatan-ingatan masa lalu.
Sungguh, Sam ingin ada orang yang memberi tahu, apa kesalahannya?
Apa karena Sam pernah berbohong agar tidak sekolah? Atau, karena dahulu sekali dia pernah membolos demi menghibur salah seorang dari temannya yang menjadi korban dari orang tua pecandu alkohol? Karena seingat Sam, saat itu dia dan Mama bertengkar hebat. Lalu, kekesalan Mama berpindah kepada Dad. Pertengkaran keduanya bahkan terdengar hingga ke dalam kamar Sam.
Mungkinkah kesalahan itu sangat fatal?
“Honey,” Mama berpindah ke samping Sam, membiarkan Dad tetap duduk di sofa lain dalam ekspresi kacau. Lalu, Sam merasakan tangan Mama merengkuh pundaknya. “Sidang sudah final, Sam, dan kesepakatan hak asuh kamu ada pada Mama. Tapi, ketika usia kamu delapan belas, kami ingin membiarkan kamu memilih.”
Sam mengangkat satu alisnya, menatap Mama gamang. Nyaris tidak bisa memercayai pendengarannya.
“Dad cuma akan pindah rumah. Tapi, sepanjang kontrak kerjanya, Peter masih akan tetap ada di Jakarta, honey.” Mama menambahkan sambil berusaha menyentuh lengan Dad yang saling mengait di antara kedua lututnya. Mama melirik Dad seolah memberi kode untuk bicara.