SAM menggoyangkan salah satu kakinya yang dia topang pada lutut kaki lain. Kabel earphone di telinganya mengalirkan musik dari sebuah Walkman berwarna biru metalik, yang dia letakkan di atas perut. Sam membiarkan punggungnya menyerap dingin dari bangku semen di pinggiran lapangan basket sekolah. Satu tangannya difungsikan sebagai bantal, menyanggah bagian bawah kepala. Dalam nada-nada yang lepas dari not, bibir Sam menyenandungkan lirik lagu “Boys Don’t Cry” milik The Cure. Bagi Sam, playlist milik Dad jauh lebih pas di telinganya dibanding Nickelback, Hoobastank, atau Evanescence yang cukup populer pada tahun itu—2004.
Ketika siluet Dad yang melangkah dengan kaki timpang semakin membayang kuat di pelupuk mata, rongga dadanya terasa begitu sesak. Saat itu Sam yakin bahwa dia tidak mampu berkonsentrasi pada apa pun, termasuk sekolah.
Sam pun bangkit, menegakkan punggung dari pembaringannya sejak sepuluh menit lalu. Bagian belakang kemeja OSIS-nya berkerut-kerut. Rambut cokelat gelap Sam, yang persis warna kayu, berantakan hingga jatuh acak menutupi sebagian permukaan keningnya yang lebar. Sam mengecek arloji sport yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih tersisa sekitar lima menit sebelum angka digital berubah menjadi pukul 07.00.
Kali itu, Sam tidak lagi peduli.
Dia menekan tombol off pemutar musiknya, lalu menyusupkan ke dalam saku celana. Kaki panjang Sam langsung bergerak meninggalkan lapangan basket, kembali pada lorong-lorong kelasnya di lantai dua. Sam menyelinap ke dalam kelas II IPS 1, menyambar ransel hitamnya, dan buru-buru keluar seperti ninja. Satu dua anak yang dia temui menatapnya heran. Mereka melemparkan pertanyaan, “Lo mau bolos, ya?” Sam hanya menjawab dengan senyum tipis. Namun, meski Sam bisa menghindari pertanyaan anak-anak, dia tidak bisa menghindar saat bertemu Remi yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Remi membelalak.
“Gila, man, lo mau bolos?”
Sam menaikkan alis kanannya.
“Kenapa? Lo, kan, nggak pernah kayak gini,” Remi mengerutkan kening.
Sam sama sekali tidak bisa menyalahkan sahabatnya itu. Berteman sejak kelas I, Remi selalu tahu bahwa Sam tidak pernah melewatkan pelajarannya—tanpa menyertakan daftar pelajaran yang membuat Sam tertidur di kelas. Remi juga tahu bahwa Sam tidak pernah membolos dari sekolah apalagi kabur. Kalaupun Sam tidak masuk, alasannya pasti karena sakit atau alergi debunya kambuh.
“Gue nggak punya banyak waktu.” Sam melirik arlojinya. Tersisa hanya tiga menit lagi. “See you tomorrow, man.”
Tanpa menggubris panggilan Remi, Sam berbelok di tikungan dan segera menuruni dua anak tangga sekaligus. Tiba di lantai bawah, Sam menempelkan punggungnya pada dinding. Kepalanya menyembul sebagian dari balik dinding bercat putih, memastikan bahwa lorong menuju lapangan belakang sekolah saat itu kosong. Sneakers hitamnya segera melintasi lantai marmer dan memelesat bak kilat. Layaknya seorang pemenang lomba lari cepat, Sam merasakan kemenangan begitu dia berhasil menyentuh pintu gerbang setinggi dua meter itu.
Sam segera melempar tasnya melewati gerbang, membuat debu tipis melayang di udara kala ransel itu jatuh berdebum pelan di tanah. Tanpa membuang waktu, kedua tangan Sam menggenggam jeruji besi yang cat abu-abunya terasa kasar. Dia mengangkat kaki kanan dan memijak pada sela-sela jeruji. Setelah mantap dengan ancang-ancang, kedua tangannya menarik kuat seluruh tubuh tanpa ragu. Setahap demi setahap, Sam mulai merangkak naik.
Sam baru saja tiba di ujung-ujung jeruji teratas saat mendengar derap suara lari yang terhenti. Entah apa yang membuat Sam ikut membeku di atas, lalu malah menatap bingung ke bawah. Ada seorang perempuan berseragam sama persis dengan yang dia kenakan dan tampak terengah-engah sehabis berlari. Bahu mungil perempuan itu naik turun seirama dengan napasnya. Dia membetulkan posisi topi dengan bordir sepasang sayap putih yang tampak sedikit kebesaran di kepalanya.
Perempuan itu mendongak, memperlihatkan mata yang persis sebentuk mutiara hitam legam, dari balik topi. Lalu, mata itu semakin membulat.
Dia?!
“Pak! Ada muridnya yang mau bolos!” Suara perempuan itu langsung membuat gendang telinga Sam seperti ingin pecah. “Buruan, Pak! Muridnya udah mau kabur!” tambahnya dalam pelafalan yang huruf R yang seperti terselip oleh lidah.
Sam tidak ingin tewas seketika karena mengalami perdarahan pada telinga. Dia juga tidak berharap bahwa rencana kaburnya berubah gagal karena perempuan menyebalkan itu. Karenanya, Sam terburu-buru kembali menuruni gerbang. Dia merasa gugup karena panik kalau-kalau ada guru yang mendengar teriakan memekakkan itu.
“Aduh, gimana, nih, masa depan SMA Andreas kalau muridnya ada yang bolos pake cara kabur segala.” Perempuan itu masih sibuk membuat laporan di udara. Sementara itu, kilat dalam matanya seolah berkata semoga-lo-tertangkap.
Setelah Sam berhasil menjejakkan sneakers-nya kembali ke tanah, dia segera menyambar tangan perempuan itu.
“Ikut gue,” ujar Sam dalam nada rendah.
“Pak, Bu! Tolong! Ada yang main kasar!” Lagi, huruf R-nya tersalip di tengah dia berusaha memberontak. “Duh, lepasin gue. Tolong! Ada orang gila.”
Menyebalkan. Saat itu Sam hanya ingin agar suara melengking itu segera berhenti. Hingga tahu-tahu tangan kanan Sam berusaha membekap mulut perempuan itu. Namun, usaha perempuan itu untuk memberontak, berakhir dengan dia menggigit jari telunjuk Sam. Membuat Sam menarik tangannya sambil mengaduh, keki.
“Sikap nyebelin lo semakin menjadi-jadi, ya!” Perempuan itu terlihat berkilat emosi. Tubuhnya mungkin hanya sebatas pundak Sam. Begitu mungil di balik seragam yang satu ukuran lebih besar dari ukuran seharusnya. Sam yakin bahwa angin pantai akan membuatnya terbang tidak berdaya. Tapi, perempuan itu justru mengangkat dagu lancipnya dan berkacak pinggang. Menantang. Kedua tulang pipi yang terlihat sama bulat dengan bola matanya, tampak kemerahan karena bersemangat—atau marah?
“Ayolah,” Sam mengembangkan tangannya, “lo yang mulai duluan.”
Kini dia bersedekap seakan ingin mempertahankan diri. “Oh, ya? Dari dulu juga lo yang mulai duluan. Gue nggak akan pernah lupa sama kejadian pas lo bikin lutut gue luka. Dua kali, astaga!” Perempuan itu menyorongkan kaki pendeknya, memperlihatkan lutut yang bertaut lurus dengan otot betis, yang biasa disebut persis talas. Sangat berbanding terbalik dengan kaki indah Natalie Portman saat melenggang di atas karpet merah. “Gue, tuh, cewek! Kaki harus bagus dan terawat. Buat aset masa depan pas nikah!”
“Itu bukan masalah gue.” Tanpa sadar, Sam ikut bersedekap kuat. “Lagian masih umur berapa udah mikir soal nikah?”
Perempuan itu hendak membalas kalimat Sam, tetapi dering bel membuatnya berjengit shock. “Duh, gara-gara lo gue telat, tahu!”
“Whoa, santai. Easy. Oke? Jelas-jelas lo yang menghalangi gue buat kabur.” Sam tidak habis pikir, kenapa dia malah terpaku di sana dan meladeni semua omong kosong itu. “Sekarang biarkan gue menjalankan rencana pagi ini dan lo mending buru-buru masuk kelas.”
“Siapa juga yang—”
“Samuel, Mika!”