KALI pertama Sam mengenal Remi, justru bukan sebagai kawan.
Pada akhir masa sekolah menengah pertama, tim bisbol Sam turun untuk sebuah pertandingan liga kecil. Seperti hampir di setiap pertandingan yang lain, Dad menyuruh Sam bermain setelah starter pitcher menguasai satu inning permainan.
Waktu itu Dad berkata agar Sam berhati-hati pada pemukul tim lawan bernomor punggung delapan. Larinya cepat dan pukulannya pun sering kali tepat. Meski peringatan Dad tidak membuat Sam gentar, tapi saat berhadapan langsung dengan Remi, entah kenapa Sam benar-benar merasa gugup. Dia khawatir kalau bola lemparannya akan memeleset karena tatapan tajam dari balik kacamata itu. Dan, memang itulah yang terjadi. Lemparan Sam terpukul dan bola jatuh pendek di tanah. Lalu, sosok Remi luput dari pengawasan Sam. Tiba-tiba, Remi sudah berada di base satu.
Safe.
Akan tetapi, sosok Remi yang Sam temui dalam lapangan, tidak muncul ketika Sam bertemu dengannya sebagai sesama peserta orientasi. Di samping atribut-atribut aneh khas peserta orientasi, Remi pun mengenakan pakaian layaknya mereka yang digolongkan dalam kelompok nerd. Kemeja seragam dengan badge bertuliskan “SMP Buana” yang dikancing sampai atas, wajah lonjong berkacamata dengan bingkai elips, dan rambut yang terpangkas rapi tanpa bantuan gel.
Sam menghampiri Remi, yang sedang duduk sendirian di tepi lapangan basket sambil menyantap bekal makan siangnya.
“Jadi, kamu sekolah di sini juga?”
Remi mendongak, mengalihkan pandangan dari bekal. Keningnya terlihat berkerut. “Oh, lo pitcher yang waktu itu? Tim Bintara, kan?”
Sam mengangguk.
Jujur saja, Sam telah salah menilai. Remi tidak seculun penampilannya.
Bagi Sam, Remi justru seperti sosok laki-laki keren yang bersembunyi di balik kebutaannya akan mode tren masa kini itu. Karena ketika mereka telah resmi mengenakan seragam putih abu-abu khas SMA Andreas, Remi terlihat seperti Clark Kent yang berubah wujud. Laki-laki itu menjelma menjadi sosok yang terlihat dewasa. Sam tahu, banyak siswi yang selalu melirik ke arah meja mereka kala menyantap makan siang di kantin. Meski sahabatnya itu selalu berkata, “Mereka itu ngelihatin lo, man,” Sam tidak pernah memercayai kalimat itu.
Dan, kali ini, dia yakin tebakannya itu benar.
Tawa Remi yang berderai hingga membuat pundaknya berguncang, telah mengundang beberapa pasang mata untuk melirik sambil tersenyum.
“Can’t you just stop laughing?” Sam ingin sekali melempar Remi dengan kerupuk dari nasi goreng yang sudah tandas setengah karena terlalu lapar. Membersihkan kamar mandi benar-benar menguras tenaganya. Dan, ya, guru kesiswaan tidak memberikan detensi lain. Nyaris selama tiga jam tadi, Sam harus terkurung bersama Mika.
Remi berusaha menghentikan tawa dengan mengusap bawah hidungnya, “Serius, Sam. Nggak ada kerennya sama sekali ketika lo udah siap-siap kabur, tetapi malah ketangkep basah.”
“Cewek itu gara-garanya!” Sam menelan nasi gorengnya dengan keki. Untuk kali itu, Sam tidak bisa menikmati makanan favoritnya dengan tenang.
“Cewek?” Remi membelalak. Mata ramah itu seperti terkejut seakan Remi tidak tahu kalau kelanjutan seri terbaru Detective Conan, kesukaannya, sudah muncul. “Akhirnya lo naksir cewek juga sampai-sampai lupa kalau mau kabur?”
Sam menatap Remi seperti berkata, Ayolah-itu-cuma-hal-bodoh. Lalu, buru-buru menambahkan dengan suara jutek, “Itu nggak akan terjadi.”
“Yah …,” Remi melipat kakinya di bawah meja, “siapa yang tahu, sih?”
“Gue tahu. Cewek itu jelas bukan tipe gue!” protes Sam.
“Oh, ya?” Remi memicingkan mata.
“Berhenti bereaksi seolah gue suka sama dia.”
Remi melebarkan cengirannya. “Gue nggak ngapa-ngapain, Sam. Kenapa lo harus mikir kayak gitu?”
Sam memutar bola mata, lalu melanjutkan suapan terakhir nasi gorengnya. Tepat ketika sudut matanya menangkap siluet Mika yang muncul bersama seorang teman, suara cekikikan itu pun mulai terdengar dari beberapa sudut meja. Air muka Mika yang sudah kusut, semakin terlihat tertekuk saat sebuah komentar muncul, “Lho, Mik, tren masa kini itu ke sekolah pake Swallow, ya?” yang diiringi tawa. Mika sontak menoleh. Dagunya yang melengkung lancip terlihat meninggi, melengkapi tatapan galaknya. Sam berani bertaruh, siapa pun yang berkomentar tadi pasti akan menyesal.
Akan tetapi, Sam tidak terlalu peduli. Dia masih sangat bangga pada dirinya karena telah melewati masa-masa krisis bersama alat pel dan Mika.
“Gue mau pesan makanan lagi. Lo mau apa?”
Remi melongo, melirik piring Sam yang sudah bersih. “Lo itu kelaparan atau cacingan, sih? Nafsu makan besar banget.”
Sam hanya mengedikkan bahu, lalu buru-buru mendatangi konter kantin. Sam sedang menimang santapan berikutnya ketika Ibu Kantin menyodorkan semangkuk bakso yang masih tampak mengepulkan asap tipis. Tidak ada sayuran hijau di dalamnya, hanya terdapat sejumput bihun dan bola-bola daging yang tampak kenyal. Menggiurkan. Kuahnya pun masih bening dengan jejak-jejak kekuningan seperti minyak.
“Untuk aku?” Sam bermaksud bergurau dengan Ibu Kantin, sosok wanita berusia empat puluhan. Dia ramah dan logat Jawa-nya akan kental terdengar saat dia bicara. Entah kenapa, Sam senang mendengar logat asing yang nyaris tidak ada dalam lingkungannya itu.
“Eeeh, bukan, toh, Mas Sam. Itu punyanya Mbak Mika.”
Tiba-tiba sudut bibir Sam mencuat tinggi. “Biar aku yang antar,” katanya sambil tersenyum kepada Ibu Kantin yang hanya mengangguk pelan. Dengan santai, Sam membawa mangkuk bakso itu melewati barisan-barisan meja, menuju tempat duduknya.
Tanpa perasaan bersalah, Sam menyantap bakso itu. Ketika setengah dari isinya telah tandas, tiba-tiba Sam merasa bulu kuduknya berdiri. Seseorang kini berdiri di samping Sam dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Sinar matanya yang tajam membuat Sam ingat dengan salah satu komik Samurai Deeper Kyo yang pernah Remi perlihatkan. Dari sudut mata Sam, Remi hanya melongo di tempatnya duduk.
“Jadi, lo malingnya?” ujar sebuah suara yang melengking. Dengan santai, Sam malah menyeruput kuah bakso. “Itu, kan, pesanan gue, Samuel! Lo, tuh, resek banget, ya. Udah bikin gue dihukum, nyiram sepatu gue, sekarang lo juga ngambil makanan gue?! Astaga!” Mika mendengus keki. Kedua tangannya yang mengepal kini turun ke samping rok abu-abunya. “Kenapa, sih, ada manusia kayak gini? Lo tahu, nggak, sih? Lo, tuh, nyebelin banget, banget, tahu!”
“Lo, tuh, bikin gue dapat detention, tahu!” tanpa sadar, Sam meniru nada suara Mika.
“Hah? Enak banget nyalahin gue. Yang mau kabur dari sekolah, kan, lo?”