July 12, 2080
Bradford, UK
...
Bradford telah mati. Seisi kota lenyap. Bahkan, seluruh dunia.
Bencana-bencana terlahir dari egoisme dan keserakahan manusia. Sumber daya alam dikeruk habis tanpa pertimbangan jangka panjang. Manusia menjadi monster di tempat tinggalnya sendiri. Segala kompetisi dilakukan demi mendapatkan pencapaian tertinggi.
Ekonomi, politik, hingga kesehatan menjadi ladang bisnis bagi para petinggi pemerintahan di berbagai negara. Mereka para penganut paham otoriterisme akan menutup telinga dan tak peduli akan derajat kebebasan individu. Kekusaan menjadi faktor utamanya. Bagi mereka, yang terkuat adalah yang menang.
Lembaga, badan hukum, bahkan individu itu sendiri terkena imbasnya.
Peperangan terjadi di mana-mana. Mulai dari perang asimetris, perang hibrida, hingga perang proxy. Semua itu yang menyebabkan hancurnya Bumi secara perlahan.
Manusia menjadi pelaku, sekaligus korbannya.
Kini, semua itu telah berakhir. Yang tersisa hanyalah penderitaan dan darah-darah yang mulai mengering.
Tidak ada lagi kompetisi, semua kalah, alam mengambil alih perannya.
Napas-napas pupus di udara. Menjadikannya sebagai pengisi ruang yang dipenuhi polusi dan kefakiran.
Bumi mati.
Tapi tidak dengan pemuda itu.
"Hidup ialah titipan. Kita hanya perlu menggunakan waktu yang kita miliki dengan sebaik-baiknya."
Josh mengejang. Ia terbangun dari tidurnya dengan bola mata membelalak dan napas terengah. Peluh bercucuran dari dahinya.
Suara berat Samuel Hall masih begitu segar di telinganya.
Sayangnya, suara itu sudah tidak bisa ia dengar lagi. Pemiliknya telah tiada. Samuel Hall mati diterkam singa jantan, seminggu silam.
Peristiwa mengerikan itu terjadi di depan mata kepalanya sendiri. Dan, bodohnya, Josh tak bisa menyelamatkan nyawa Samuel―yang mana mungkin adalah manusia terakhir di Bumi ini selain dirinya.
Kini, Josh tak dapat menemukan makna dalam setiap hembusan napasnya. Ini seperti sebuah kesia-siaan. Tak ada artinya lagi ia hidup.
Kematian Samuel membuat Josh hilang harapan. Keberadaan manusia lain di dunia ini terasa semakin mustahil baginya.
Bagaimana kalau ternyata ia adalah manusia terakhir yang hidup di dunia ini?
Bagaimana kalau ternyata tidak ada manusia lagi di belahan dunia mana pun?
*
Bandara Leeds Bradford yang terletak di Yeadon―Distrik Kota Leeds Metropolitan―tampak mengenaskan.
Dengan mengenakan pakaian serba hitam, topi, dan ransel besar yang tersampir di bahunya, Josh berjalan melewati puing-puing bangunan tanpa kesulitan. Ini memang sudah menjadi kegiatannya sehari-hari. Menjarah makanan―kadaluwarsa―di Supermarket, mengambil kendaraan milik orang lain, bahkan mencuri beberapa berkas penting di kantor pemerintahan Bradford.
Tidak ada yang peduli dengan semua itu. Pemiliknya sudah mati, berpuluh-puluh tahun silam.
Keadaan Bumi selepas Perang Dunia Ketiga memang sudah tidak bisa diandalkan lagi. Lebih dari sembilan puluh persen bangunan hancur. Bahkan, kini, perkotaan telah menjadi hutan. Pepohonan tumbuh di tengah jalan. Hewan-hewan yang masih hidup pun berkeliaran di mana-mana.
Josh harus ekstra waspada kalau tak ingin menjadi korban singa hutan berikutnya.
Meski sebagian dari dirinya telah berputus asa, tapi Josh masih memiliki setidaknya secuil harapan untuk melanjutkan hidupnya. Jika ia tidak bisa menemukan manusia lain, itu tak masalah. Seperti apa yang selalu Samuel katakan, ia harus menggunakan waktu yang ia miliki dengan sebaik-baiknya.
Menarik napas panjang, Josh membuka topinya dan menjadikannya sebagai kipas.
Matahari bersinar cukup terik siang ini. Smart-watch Polar RS600CX―hasil jarahannya dari rumah seorang saudagar kaya―yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan suhu 30°C. Itu artinya, berlama-lama di ruang terbuka akan membuat kulitnya terbakar.
Tak ingin hal itu terjadi, Josh cepat-cepat berjalan menuju runway―landasan pacu yang digunakan pesawat terbang untuk lepas landas. Ia mencari pesawat apa saja yang masih berfungsi dan akan terbang lintas negara.