Secerah mentari yang menyinari bangunan besar di hadapannya, Netta tersenyum bahagia. Hidupnya terasa begitu berwarna setelah berhasil masuk ke universitas swasta impiannya.
“Akhirnya!” Cewek itu merentangkan tangan lebar-lebar sembari meraup banyak-banyak oksigen bersih pukul setengah tujuh pagi dengan hidung mungilnya. Rambut panjang ikalnya yang dibiarkan tergerai bebas sesekali bergerak disapa angin pagi. Celana panjang hitam berbahan katun, berpadu dengan blus tunik hitam bermotif bintang menjadi pilihannya; tampak sederhana, tetapi rapi.
Setelah dua bulan penantian, ini hari pertama dia resmi menjadi mahasiswa tingkat satu Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Pionir Nusantara di Jakarta Selatan. Mata bulat dengan iris hitam pekat itu menilik setiap sudut kampus yang terlihat. Gedung Fakultas Desain dan Seni Kreatif terdiri dari dua lantai dengan nuansa klasik ala Eropa. Beberapa sudut koridor dihiasi patung hasta karya Jurusan Seni Patung.
Fakultas ini memiliki satu hall besar untuk mengadakan pagelaran bagi Jurusan Seni Pertunjukan maupun pameran karya untuk Jurusan Seni Murni dan Desain. Netta benar-benar merasa takjub. PINUS sungguh kampus idaman banyak orang, termasuk dirinya.
Namun, mendadak senyum lenyap dari wajahnya ketika dua kata melintas dengan cepat di kepala.
Drop out.
Netta berusaha mengenyahkan pikiran buruk itu. Dia harus yakin bahwa tidak akan ada yang tahu rahasianya. Bukankah om sekaligus dokternya itu juga sudah setuju? Bukankah kini dia berhasil masuk dan siap menerima materi kuliah pertamanya?
Cewek itu menyibakkan anak rambut yang menutupi mata. Sama sekali tak mudah membujuk omnya untuk memalsukan surat kesehatan. Akan tetapi, beliau akhirnya luluh demi permohonan satu-satunya keponakannya itu, yang diiringi banjir air mata di wajah. Netta sudah berjuang sejauh ini dan tak akan bisa mundur lagi.
Siapa pun enggak bisa menggagalkan mimpiku! Netta mengulangi sugesti itu dalam benaknya sebelum kembali melanjutkan langkah menuju kelas di lantai dua. Sepatu Keds hitam pun menjadi pilihan demi kenyamanan naik turun tangga seperti ini.
Kelas masih kosong. Kuliah memang baru akan dimulai pukul tujuh lewat dua puluh. Namun, rasa bahagia yang membuncah membuat Netta memutuskan berangkat lebih pagi. Lagi pula, jalan menuju kampus adalah neraka bagi kendaraan roda empat jika sudah mendekati jadwal masuk sekolah atau kerja.
Netta menyapukan pandang ke sekeliling kelas. Matanya tertumbuk ke sebuah kursi di tengah ruangan. Tempat yang cukup ideal untuk tidak tampil mencolok. Cewek itu bergegas bergerak, kemudian menyelipkan tubuhnya untuk bisa duduk di kursi kuliah bermeja itu.
Ada kelegaan saat Netta mulai mengeluarkan binder B5 dan pulpen, kemudian menyimpan tas di bawah kursi. Sayangnya, ketenangan itu kembali terusik ketika dua cewek masuk sambil mengobrol akrab.
Ah, Netta tersadar, saat masa orientasi dia begitu pemalu dan pasif dalam setiap kegiatan. Dirinya nyaris tidak bicara. Ketika teman-teman sekelasnya mulai mengenal satu sama lain, cewek itu hanya bisa memandang dari kejauhan.
Netta menggigit bibir bawahnya. Apakah dia harus menyapa? Jika nanti mereka mengobrol akrab, bisakah Netta tidak kelepasan menguak semua kebohongannya? Ketakutan itu membesar hingga akhirnya Netta hanya menunduk dan mencoret-coret isi bindernya asal-asalan.
Ada napas tertahan ketika kedua mahasiswi itu tersenyum kepadanya. Netta menaikkan ujung bibirnya sedikit dengan ganjil. Rasa waswas mendominasi, membuat ekspresinya sungguh tak sedap dipandang. Kedua teman sekelasnya itu berbisik sebelum kemudian memilih duduk di pojok kanan kelas.
Netta mengeluh dalam hati. Sejak tahu unya kelainan, dia semakin jauh dari rasa damai. Kebahagiaannya selalu terbelenggu oleh pemalsuan yang dia lakukan. Embusan napas panjang terdengar.
Setiap kali ada orang memasuki kelas, jantung Netta berdegup lebih keras. Bahkan, ketika kelas hampir terisi penuh, jemarinya semakin cepat bergerak mencoret kertas. Apakah dia harus seperti ini terus? Merasa cemas akan sesuatu yang dia putuskan sendiri? Merasa terkurung akibat kelainan yang ditakdirkan Tuhan hadir di tubuhnya?
Netta berusaha tak acuh. Dia bahkan tidak sadar ada cowok berkacamata masuk ke kelas dan bergerak ke arahnya. Wajah oriental dengan rambut hitam lurus yang sedikit berponi ke samping membuat cowok itu terkesan sangat serius. Kemeja panjang biru dan celana katun hitam dengan gesper di pinggangnya terlihat sangat resmi. Cowok itu dengan santai langsung duduk di samping Netta tanpa sapaan apa pun. Pasti karena hanya itulah kursi yang tersisa.
Tak lama berselang, seorang wanita paruh baya muncul. Akhirnya, Netta bisa mulai fokus pada materi yang hendak disampaikan tanpa harus memperhatikan orang di kiri dan kanannya.
Western Art Review.
Sejujurnya, Netta tidak begitu menyukai sejarah. Dia terlalu malas jika harus menghafal nama-nama pelukis zaman Renaissance dan Mannerism. Belum lagi mengingat segala jenis lukisan atau nama penemu gambar purbakala di gua, membuat kepalanya pusing duluan. Akan tetapi, pada mata kuliah ini, dia tak perlu khawatir rahasianya akan terbongkar. Karena itulah Netta berusaha semaksimal mungkin menyimak penjelasan dosen dan mencatat apa pun yang dirasa penting.
“Nah, daripada kalian mengantuk, ayo kita buat kelompok.” Dosen yang masih terlihat cantik itu tersenyum sembari mengedarkan pandang.
“Siapkan kertas.” Dosen itu tampak senang melihat beberapa mahasiswa begitu cekatan mengambil kertas masing-masing. Jemarinya kemudian menunjuk setiap deret yang terdiri atas tiga kursi. “Kelas ini dibagi per tiga kursi. Nah, silakan buat tim dengan anggota tiga orang sesuai deretan kursi dan buat makalah tentang salah satu pelukis yang menurut kalian menarik. Minggu depan, akan saya acak untuk maju presentasi.”
Dengungan protes menguar di udara, tetapi dosen itu hanya tersenyum santai seolah sudah menduga reaksi yang timbul.
Netta melirik selintas kepada cowok berkacamata di sebelah kanannya. Mata cowok itu sipit dan tajam. Hidungnya lumayan mancung, dengan bibir tipis yang tegas. Dia masih sibuk menulis dengan wajah serius yang tampak sulit didekati.
Netta terkesiap saat menoleh ke arah kiri. Seorang cowok berambut kecokelatan sedang menelungkupkan kepala di meja, beralaskan tangan yang terlipat. Matanya terpejam dan napasnya terdengar sangat teratur.
Apa dia tidur? Netta membatin khawatir.
“Siapa nama kamu?” Suara bariton yang tegas menyentak Netta. Dia menoleh ke arah sumber suara. Cowok berkacamata itu mengangkat alis dan memutar-mutar pulpen di tangan kanannya.
“Netta. T-nya dua.”
Dia berdecak. “Nama lengkap, dong!”
“Annetta Shelladhika Putri.”
Lagi-lagi cowok itu tampak tak suka kala mendengar nama Netta yang dirasa jauh dari kata mudah. “Tulis sendiri!”
Netta merengut melihat perlakuan teman barunya itu. Saat dia hendak menggoreskan tinta, dibacanya nama yang tertulis di nomor pertama.
“Arundal?” bisiknya.
“Kenapa? Ada masalah?” Aru menatap tajam seolah sudah mengira Netta akan sedikit tergelitik melihat namanya yang hanya terdiri satu kata itu.
Netta buru-buru menggeleng dan menuliskan namanya di bawah nama kenalan barunya tersebut.
“Bangunin, tuh!” Aru mengangkat dagunya sedikit.
Netta melirik cowok berkaus biru dongker di sisi kirinya dengan khawatir. Bahkan, guncangan di bahu tak menggoyahkan dengkuran halusnya. Sial!
“Hei, siapa nama kamu?” Netta berbisik.
Tak ada jawaban.
“Mundur!” Aru menelengkan kepala, memerintahkan Netta untuk bersandar sepenuhnya pada kursi. Setelah cewek di sebelahnya menurut, menggunakan buku Western Art Review yang memiliki sampul keras dan kuat, dia memukul kepala cowok yang masih juga terlelap itu.
“SAKIT, SIALAN!” cowok itu berteriak sembari menepis buku yang hendak dihantamkan ke kepalanya sekali lagi.
Sontak semua mahasiswa di kelas menoleh ke arah sumber suara, termasuk sang dosen yang justru tertawa pelan. “Makanya, di kelas jangan tidur.” Tak ada sorot kemarahan di matanya. “Minggu depan tim kalian yang presentasi duluan, ya!”
Netta merasa detak jantungnya berhenti sejenak, tetapi Aru sama sekali tidak terlihat terpengaruh. Sementara itu, si cowok berambut cokelat berusaha tertawa canggung dan segera melirik ke arah lawan yang berani menyakiti kepalanya.
“Apa, sih, masalah lo?!” Alis tebalnya bertaut dalam. Iris cokelat cerahnya berkilat marah.