Eyenomaly

Noura Publishing
Chapter #3

BAB 2

Butuh beberapa waktu sebelum Netta menguasai diri dari pengaruh senyum Aru. Cewek itu berusaha keras kembali fokus untuk mem­pertegas efek mengilap pada karyanya. Dia menggunakan satu set pensil Derwent Sketching Collection hadiah dari Ahsan saat dia ber­ha­sil masuk DKV PINUS. Netta menyukai hasil goresannya yang sangat halus dan rapi. Sangat sebanding dengan besarnya biaya yang dikeluarkan.

Masih ada waktu tiga puluh menit sebelum kelas berakhir. Se­luruh mahasiswa sudah kembali ke kursi masing-masing. Lembar-lembar kertas hasil karya mereka bertumpuk di meja dosen.

Dosen muda itu mengedarkan pandang ke seluruh penjuru kelas. “Nah, saya akan memberi review singkat tentang tugas yang sudah kalian kerjakan.” Suara rendahnya terdengar berwibawa. Selintas, dia memperbaiki posisi kerah kemejanya sebelum bergerak ke arah meja.

Pria itu tetap berdiri sembari melirik ke arah kertas tugas. Di­ambilnya lembar yang paling atas dan melihatnya sepintas. Kertas bergambar bangku taman itu diangkatnya sebatas dada. “Ini lumayan. Tinggal dipertegas arsirannya.” Setelah itu, kertas diletakkan di sam­ping. Selanjutnya, dia kembali mengambil tugas demi tugas untuk di­berikan komentar singkat.

Netta bisa merasakan keringatnya keluar membasahi telapak tangan. Berkali-kali dia membasahi bibir. Lututnya tanpa sadar ber­goyang ke atas dan ke bawah. Bagaimana reaksi dosen yang sejak tadi tak tersenyum itu saat melihat karyanya nanti? Dosen satu ini terkesan sangat killer.

Tiba-tiba, terdengar suara debas panjang dari depan kelas. “Kalian sudah mahasiswa. Jangan memakai jalan pintas untuk berkarya!” ujar­nya sedikit keras. Dosen itu mengangkat sebuah kertas bergambar lam­pu jalan dan kursi.

“Membuat bayangan menggunakan gesekan jari itu JOROK!” Pria itu mencebik sebelum membelah kertas itu menjadi dua bagian. “Karya seperti ini tidak layak dikumpulkan! Buat ulang!”

Netta nyaris terlonjak dari bangkunya. Karya siapa yang dirobek? Ah, bukan saatnya dia ingin tahu karena bisa saja nanti dia akan bernasib sama. Bukankah dirinya juga menggunakan arsiran abu-abu?

“Itu pantas dirobek. Sampah.” Aru mencibir dingin, nyaris tanpa ekspresi. Pandangannya tetap tajam ke depan, seolah dia juga berhak menilai semua karya yang dikomentari sang dosen.

Harus Netta akui, Aru memang jeli. Penilaian cowok itu tidak ha­nya karena besar mulut saja, melainkan karena dia memiliki kemam­puan mumpuni yang setara dengan ucapannya. Namun, Netta beru­sa­ha tidak terlalu kagum. Bagi cewek itu, mengucapkan kata kasar, mes­ki­pun benar, bukanlah suatu hal yang pantas dilakukan.

Lalu, bagaimana reaksi Ray? Netta melirik ke kiri dan melihat cowok itu hanya mengangkat alis sedikit, seolah itu bukan hal me­ngejutkan baginya.

“Nah, lihat ini.” Dosen itu mengangkat satu gambar dengan objek serupa. “Lihat bagaimana teman kalian menggambar detail ornamen lampunya.” Telunjuknya membuat gerakan melingkar di atas kertas. “Dia membuat kertas menjadi penuh dengan fokus pada kepala lampu. Arsiran nuansa malamnya juga sangat bagus dan rapi.”

Beberapa mahasiswa tampak mencatat apa yang harus mereka lakukan untuk memperbaiki karya mereka. Netta juga termasuk di dalamnya.

“Wow!” Kali ini dosen itu terdiam tatkala memandang sebuah lukisan bergaya hyperrealism. Setiap guratan kayu diarsir begitu detail. Tak hanya itu, setiap helai daun dan cahaya yang membias di sela-selanya tampak nyata. “Saya ingin tahu, siapa yang menggambar ini?”

Dengan gaya yang begitu tenang, Aru bangkit dari kursinya dan mengangkat tangan kanannya sebatas dada. “Saya, Pak!” jawabnya bangga.

Sang dosen mengangguk dan mempersilakannya duduk kembali. “Ini baru luar biasa!”

Aru berusaha keras menahan senyum puasnya. Namun, sudut bibirnya yang sedikit melengkung ke atas tak bisa disembunyikan. Netta ingin tertawa melihat bagaimana Aru selalu berusaha menyem­bunyikan rasa bangga saat dipuji. Seolah cowok itu merasa bahwa san­jungan adalah hal lumrah, sehingga dia tak perlu terkesan.

“Komposisinya enak dilihat,” sang dosen melanjutkan penilaian­nya. “Tidak ada ruang kosong percuma. Tebal tipisnya mendukung dimensi dan tekstur. Lanjutkan seperti ini!”

Netta menatap Aru dengan perasaan iri menyusup. Dia tidak lagi mendengarkan ketika dosen itu kembali memberikan tanggapan kepada tugas yang lain. Saat ini, rasanya Netta ingin bisa menggambar sebagus itu. Namun, jika dipikir-pikir, dia lebih menyukai desain grafis. Menyusun iklan, kartu nama, dan logo lebih diminatinya daripada mem­buat ilustrasi. Akan tetapi, bukankah manusia pada dasarnya sera­kah dan ingin menguasai semuanya?

Tiba-tiba, lengan kirinya dicolek berulang. “Gambar lo, tuh. Jangan lirik Aru mulu. Enggak bakal kabur dia.” Ray memberi kode agar Netta menoleh ke depan.

“Ini yakin tidak pakai penggaris?” Dosen itu mengangkat gam­bar sedan dengan lekuk badan mobil yang detail dan rapi.

“Tidak, Pak,” Netta berdiri perlahan dan berbisik takut-takut.

Dosen itu tampak terkejut dan membaca nama yang tertulis di sudut kertas. Dia sedikit tak menyangka bahwa pelukis benda oto­motif ini adalah seorang perempuan.

“Dia tidak pakai penggaris, Pak. Dia hanya pakai Derwent satu kotak.” Aru tiba-tiba berdiri, masih dengan wajah tanpa ekspresinya. Dia mengangkat satu kotak alat lukis Netta yang sedari tadi masih tergeletak di meja. “Saya tadi di sebelahnya.”

Tak bisa dijelaskan perasaan yang menghantam dada Netta saat ini. Aru membelanya? Sejak kapan cowok itu memperhatikannya menggambar? Tanpa sadar, semburat merah muncul jelas di pipinya. Netta menunduk, berusaha menyembunyikan semua rasa yang meruak nyata.

Dosen itu tertawa pelan. “Saya bukannya tidak percaya. Hanya terkejut ternyata yang menggambar perempuan. Cukup jarang melihat perempuan menggambar kendaraan sebagus ini.” Pria itu menunjuk bagian di dekat pintu. “Dimensi dan efek reflektif bahan objek keli­hat­an jelas. Kedalaman benda juga tergambar dengan jelas.”

Netta meremas ujung bajunya gugup. Ada rasa senang mem­buncah mendengar pujian itu terhadap gambarnya. Dia bersyukur mengubah keputusan dan memilih menggambar mobil daripada po­hon seperti idenya semula. Mungkin dia harus berterima kasih kepada Ray untuk itu.

“Kamu sangat berbakat untuk menggambar design product.” Dosen itu menutup ulasannya.

“Terima kasih, Pak,” bisik Netta dengan wajah tersipu-sipu.

Dia duduk dan tersenyum lega. Semua kekhawatirannya seakan terbilas pergi. Dia punya tempat di kelas ini. Ada yang mengakui kemampuannya, tanpa harus membedakan apakah dia buta warna atau tidak.

“Lo enggak usah berterima kasih sama gue. Gue tahu lo pilih mobil karena lo enggak mau samaan kayak gue.” Ray mengangguk khidmat seolah bisa membaca pikiran Netta yang sedari tadi meli­riknya diam-diam.

Semua perasaan sentimental yang tadi Netta rasakan langsung ambyar tanpa sisa. Makhluk geblek satu ini apa belum minum obat? batinnya merutuk.

“Aduh!” Dosen mereka tiba-tiba berdecak ke arah sebuah gambar yang lagi-lagi dia angkat agar semua mahasiswa bisa melihat. “Saya yakin pelukisnya bisa menggambar lebih bagus dari ini. Kelihatan dari arsirannya yang sudah berbentuk dan bertekstur. Tapi, entah karena tidak niat, atau memang tidak ada waktu?”

Ray hanya tersenyum tipis memandangi gambarnya kini menjadi topik pembahasan. Dia tidak memedulikan perkataan dosen itu, ter­ma­suk saran untuk menggambar objek lain agar kertasnya tidak terlalu kosong.

“Apa kubilang? Pasti diprotes.” Aru membetulkan posisi kaca­matanya.

Lihat selengkapnya