Ketika Khaira telah sampai di rumah sakit, yang pertama kali ia lihat adalah Felix yang tengah dicengkeram kerah bajunya oleh Jimmy di depan ruangan unit gawat darurat. Felix yang biasanya tak akan mudah ditundukkan, kini menyerah tak berdaya di tangan Jimmy yang jelas-jelas memiliki badan lebih kecil dari dirinya.
“Kalian ini apa-apaan? Kalau mau bertengkar sana pergi ke tempat parkir,” Khaira pelan. Semarah apa pun ia pada mereka, Khaira masih punya etika untuk tidak berteriak-teriak di rumah sakit.
“Ini semua gara-gara si idiot ini! Kau pikir siapa kau, belum punya SIM saja sudah berlagak. Dasar bodoh, kau mau cari mati, hah!”
Jimmy tampak sangat emosi pada Felix, terlihat dari bagaimana cara pemuda dengan wajah bulat itu menatap marah pada teman baiknya itu.
“Kau yang bodoh, ini masih di rumah sakit.” Khaira berdesis guna mengurangi suara yang mereka timbulkan.
Sungguh, jika bukan karena para dokter dan suster yang melirik sinis pada mereka, mungkin sekarang Khaira sudah berteriak lebih kencang dari Jimmy. Namun sepertinya hal yang Khaira lakukan malah membuat emosi Jimmy semakin menjadi-jadi. Ia menepis tangan Khaira yang mencegah tangannya untuk memukul Felix.
“Halah, kau sama saja dengan sampah satu ini,” ujar Jimmy dalam tepat di telinga Khaira. Setelahnya Jimmy pun pergi meninggalkan Khaira dan Felix dengan wajah paling masam yang pernah Khaira lihat dari Jimmy.
Khaira terdiam di tempatnya. Itu kali pertama sepanjang umur pertemanannya dengan Jimmy, lelaki itu melemparkan kata-kata sinis pada dirinya. Terkejut, tentu saja. Namun lain sisi ia juga ketakutan, kata-kata Jimmy tadi seperti menampar Khaira ke masa lalu. Di mana ia tak dianggap, disamakan dengan sampah tak berguna yang berserakan di pinggir jalan.
Khaira menoleh ke arah Felix setelahnya. “Kau menyuruhnya datang juga?”
Felix hanya mengangguk saat itu, ia terlihat sangat lemas juga kacau dengan noda darah di seluruh bajunya. Khaira hanya bisa menghela napas dan kemudian kembali bertanya karena merasa ganjil dengan kemarahan Jimmy yang menjadi-jadi. “Sebenarnya siapa yang kau tabrak?”
Belum juga Felix menjawab pertanyaan Khaira, mereka sudah dikejutkan dengan suara tapak kaki yang menggema dari ujung koridor.
Khaira ingat betul siapa salah satu dari dua orang yang datang. Dia Danny, kakak dari Hilya, seseorang yang ia lihat tengah bercengkerama dengan gadis itu di taman sekolah siang tadi. Sementara wanita di sebelahnya sama sekali tak bisa Khaira kenali.
Mereka terlihat begitu cemas hingga tidak menyadari keberadaan Khaira dan Felix yang berdiri tepat di dekat mereka.
“Di mana Hilya?” tanya wanita yang datang bersama Danny entah pada siapa. Mantel tipis yang ia gunakan sama sekali tak bisa menghalau angin malam, terlebih dengan cara yang ia gunakan terlihat asal-asalan.
Dalam sorot mata wanita itu Khaira bisa melihat kekhawatiran yang sangat kental.
Tapi tunggu!
Hilya?
“Kau menabrak Hilya?” tanya Khaira dengan suara keras pada Felix.
Mendengar pertanyaan Khaira, Danny lantas melirik ke arah mereka. “Kau yang menabrak adikku?” tanya Danny, tangannya mulai merambat dan mencengkeram kerah baju yang Felix gunakan. Persis sama seperti yang dilakukan oleh Jimmy sebelumnya.
Entah apa yang terjadi selanjutnya jika saja dokter tidak keluar dari ruang gawat darurat tersebut. Danny yang dengan sukarela melepaskan kerah baju Feli kini tentu saja langsung memberondong pria paruh baya dengan jas putih tersebut dengan berbagai macam pertanyaan mengenai keadaan Hilya di dalam sana.
“Saudari Hilya masih dalam masa kritisnya. Tulang rusuknya patah karena benturan keras dari setang sepeda yang ia kendarai, dan itu melukai organ dalamnya. Kemungkinan besar ada salah satu organ vitalnya yang rusak. Dia harus segera menjalani operasi.”
Kosong. Hanya itu yang ia dapatkan dari mata kedua orang di depannya.
Setelah dokter itu pergi, Danny kembali menatap Felix dan Khaira marah, lalu dengan segala kemurkaannya pemuda menarik kembali kerah Felix kasar. Dan sekonyong-konyongnya, ia mengamuk seperti gorila kepada Felix. Ia membawa punggung pemuda itu ke arah dinding dan mengimpitnya sebelum melemparkan bogem mentah.
“Kau, jika terjadi sesuatu pada adikku di dalam sana. Aku tak akan segan-segan untuk membunuhmu.”
“Danny!” sergah wanita yang bersama Danny. Ia terlihat ingin menghentikan pemuda itu, namun melihat bagaimana mata Danny berkilat marah sudah jelas membuatnya ikut menciut. Ia tak seberani Khaira yang kini maju seraya menahan tangan yang besarnya hampir dua kali lipat dari tangannya.
“Kau tidak perlu memukulnya lagi. Tenang saja, berapa pun akan kami bayar untuk hal ini,” ucap Khaira. Ia benar-benar tidak terima kalau Felix dipukul. Bagaimana pun ia sudah berani bertanggung jawab dengan membawa Hilya ke rumah sakit.
“Kalian pikir, uang bisa menyelesaikan semuanya. Kalian pikir serendah apa kami ini?” balas Danny.
Khaira tersenyum sinis mendengarnya. “Memang kau mau kami bertanggung jawab dengan apa lagi, satu unit apartemen? Mimpi.” Khaira menghempaskan tangan Danny begitu saja. Seolah tak gentar dengan tubuh Danny yang kelewat besar untuk ia hajar. “Dengar, kami sudah berbaik hati untuk bertanggung jawab. Kami bukan merendahkanmu, jadi terima saja kalau uang orang kaya ini yang akan menyelamatkan adikmu.”
Rahang Danny mengeras mendengarnya, ia ingin sekali membuat wajah sombong gadis di hadapannya itu hancur dengan tangannya sendiri, tapi mengingat keadaan Hilya yang ada di dalam sana membuat Danny benar-benar tidak bisa merealisasikan keinginannya.
Khaira sendiri terlihat sama sekali tak gentar dengan tatapan Danny padanya. Tapi begitu menangkap sebuah bayangan pria tua di sisi lain koridor tempatnya berdiri, Khaira tak bisa menelan ludahnya dengan gampang.
***
Plak!
Suara tamparan itu menggema di seluruh sudut ruangan tersebut.
Khaira menunduk, ia tak bisa memalingkan wajahnya dari lantai mengkilap yang menjadi tempatnya berpijak saat ini. Pipinya perih, tapi Khaira yakin ini bukan saatnya ia mengeluh akan rasa sakit yang ditimbulkan oleh tangan kakeknya itu.
“Apa yang harus Kakek lakukan untuk menghadapi kelakuanmu, Khai. Apa belum cukup kau membuatku jengah dengan masalahmu di sekolah selama ini! Lalu sekarang apalagi, menabrak orang? Kau benar-benar ingin membunuh Kakek secara perlahan?”
Khaira tak menjawab, ia juga tak berani mengangkat kepalanya. Ia hanya bisa meresapi rasa sakit yang menjalar dari pipi hingga hatinya. Khaira takut setengah mati. Namun ia masih berdiri tegak di sana, berusaha sekuat mungkin untuk menahannya.
“Sudah Kakek bilang, berteman dengan orang-orang seperti mereka hanya akan menambah masalah. Tapi apa, kau malah melibatkan diri terlalu jauh! Apa kau tak memikirkan bagaimana jadinya jika kelakuanmu itu akan mencoreng nama keluarga?”
Keluarga, keluarga, keluarga. Memang aku punya keluarga?
“Dengar, sudah cukup Kakek pusing dengan kelakuan kakakmu. Sekarang kau pun ingin membuat Kakek tambah pusing! Kenapa kau tak bunuh saja langsung Pak Tua ini, Khaira!”
Khaira tersentak, ia segera menghampiri Kakeknya yang tengah mengurut pelipis di meja kerjanya. Khaira tahu dia sangat benci kakeknya, hanya saja jika ia harus kehilangan lagi, Khaira mana sanggup. Sudah cukup banyak orang yang berjalan jauh dari dirinya, kakeknya jangan.
“Jangan bicara seperti itu. Maafkan aku,” ucapnya sambil menenggelamkan kepalanya di atas paha kakeknya.
Lelaki tua itu jelas tahu apa yang menjadi kelemahan cucunya itu. Kakak berengseknya saja masih bisa ia bela apa lagi dirinya. Khaira pasti akan tunduk dengan satu gertakan.
Pria itu menunduk menatap cucu perempuannya itu dengan sendu. Ia tak tega, tapi ini lebih baik ketimbang ia melihat Khaira menjauh seperti cucunya yang lain. Ia menyayangi gadis itu lebih dari apa pun. Caranya memang keras, tapi hanya dengan cara itulah kakeknya bisa mempertahankan Khaira.
“Jangan seperti ini lagi,” ucap kakek Khaira seraya mengusap kepala cucunya.