Bel berbunyi, tidak seperti biasanya, Khaira yang selalu enggan untuk pulang kini melesat cepat keluar dari kelasnya. Dengan gesit gadis itu melewati siswa-siswa yang berjalan di koridor. Beberapa orang berpandangan bingung, sebagian lagi tak begitu memperhatikannya ketika Khaira masuk ke dalam toilet.
“Ah, wajahku jelek sekali. Mungkin aku harus membersihkannya,” ucap Khaira seraya meraba-raba wajahnya yang mulai berminyak. Gadis manis itu kini berdiri di depan sebuah cermin besar sambil meneliti wajahnya.
Sebelumnya, Khaira tak pernah begitu memperhatikan penampilannya, apalagi jika hendak pulang sekolah begini. Namun entah kenapa untuk saat ini rasanya beda sekali. Khaira seolah ingin tampil lebih baik dari biasanya. Ia bahkan mencuci wajahnya dua kali untuk memastikan jika tak ada setitik kotoran yang tersisa di sana.
Tadi saat bel pulang tinggal beberapa menit lagi berbunyi, Khaira sudah menerima pesan dari Joseph kalau lelaki itu akan menjemput Khair dan memenuhi janjinya untuk membawa Khaira ke kafe yang ia bicarakan di pertemuan terakhir mereka.
Tak ada yang menarik sebenarnya. Toh Khaira pun bukan seseorang yang doyan nongrong, tapi ada sesuatu yang membuat semangatnya membuncah. Dan Khaira sadar, itu adalah Joseph.
“Argh! Jantung sialan. Berhentilah berdetak terlalu cepat!” gerutunya seraya menepuk-nepuk pipinya sendiri.
Khaira sudah akan pergi dari toilet itu, ketika ia mendengara suara riuh yang berasal dari balik pintu. Ia mungkin tak akan ambil pusing jika ia tak mendengar nama kakaknya di sebut, namun dengan jelas mereka membawa-bawa namanya dan Kenan dalam perbincangan seru tersebut.
“Iya, bukan sebuah rahasia lagi kalau Kenan Mahesa itu kakaknya Khaira. Hanya saja dia tidak mengakuinya.”
Dengan buru-buru Khaira masuk ke dalam salah satu bilik toilet. Ia duduk di atas closet dan mulai mendengarkan apa-apa saja yang mereka ucapkan.
“Memang siapa yang mau mengakui Khaira? Orang sepertinya, sekali lirik saja sudah membuatku ingin muntah karena kelakuannya.”
Khaira yakin mereka lebih dari dua orang. Suara yang baru saja ia dengar berbeda dengan apa yang telinganya tangkap saat di depan pintu tadi.
“Hei, kau harusnya tahu kalau mereka berdua sama saja. Aku mendengar kalau Kenan mendapat banyak keluhan dari para staf dan juga fans. Katanya dia sering memperlakukan mereka dengan sangat buruk. Kau tahu, aku dan Mia kapok datang ke fanmeetingnya. Mia melihat langsung kalau Kenan memarahi staf sesaat setelah acara selesai. Ia mengeluh tentang banyaknya fans yang datang. Mereka berdua benar-benar tidak waras, adik dan kakak sama saja.”
“Tapi dia terlihat seperti orang yang baik.”
“Sudah kukatakan kalau mereka mempunyai topeng yang sama. Dari luar saja manis, dalamnya busuk. Lihat saja berapa lama lagi Kenan bisa bertahan. Aku rasa sebentar lagi ia akan mendapatkan satu skandal yang akan membuat kariernya hancur.”
Tawa mereka begitu tajam menusuk Khaira. Gadis itu bahkan kini harus menahan kedua tangannya agar tak bergetar begitu hebat.
Berkali-kali ia bilang, siapa pun boleh menganggapnya monster. Namun kakaknya, jelas tidak akan mendapat tolerasi. Hatinya lebih sakit mendengar cacian yang mereka tujukan untuk kakaknya ketimbang dirinya.
Bagi Khaira, Kenan adalah kelemahannya.
***
Begitu selesai dengan urusannya di toilet, serta memastikan tak ada jejak-jejak air mata di wajahnya, Khaira lekas-lekas pergi ke gerbang sekolah. Ia berdiri di depan pos jaga satpam, membuat sebagian besar mata di sana menatapnya dengan heran.
Khaira berkali-kali memeriksa jam tangannya, Joseph jelas terlambat beberapa menit. Tapi anehnya, Khaira seolah tak keberatan dengan itu. Sampai akhirnya sebuah panggilan nyaring datang dari seorang gadis cantik dengan rambut cokelat gelap yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya.
Dia begitu manis dengan poni yang menutupi dahi, bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum kotak yang tak kalah menawan dari bulu mata lentik yang menghiasi matanya. Ia yang mengenakan seragam berbeda dengan Khaira tentu saja mengundang tanya dari siswa lain di sekitar mereka.
“Selamat sore, Khai.”
Orang-orang yang melewatinya menatap heran juga. Mungkin sebagaian dari mereka penasaran tentang siapa gadis di sebelah Khaira tersebut.
“Mau apa Kakak kemari?” tanya Khaira acuh tak acuh.
“Tentu saja untuk menepati janjiku waktu itu.”
Khaira berdecak. “Bukankah aku sudah bilang kalau Kakak tidak perlu menemuiku lagi. Kakak tidak bisa mengerti bahasa manusia, ya?”
Senyum Hanny yang awalnya lebar kini perlahan mulai luntur. Ia sudah mengantisipasi jika hal ini yang akan terjadi, tapi tetap saja saat benar-benar terjadi hatinya masih sangat terasa sakit.
“Tapi Khai—”
“Tutup mulutmu, aku tidak punya waktu untuk bicara dengan orang sepertimu.”
Khaira berjalan melewati Hanny yang terpaku di tempatnya begitu melihat Joseph menunggu di seberang jalan, hingga tak sadar bahu keduanya saling bertubrukan.
Itu benar-benar sebuah ketidaksengajaan.
***
Itu adalah ketidaksengajaan. Hanny percaya itu. Namun ia tak bisa berbohong jika hatinya tetap sakit.
Gadis itu tersenyum perih. Berpikir jika Khaira masih enggan bergerak maju membuat Hanny merasa sedih. Dia terus berpikir soal apa yang bisa ia lakukan untuk membuat Khaira kembali menjadi temannya yang dulu.
Ia hanya berniat membantu Khaira, tidak lebih. Hanny bahkan sangat tulus, tapi ketulusan saja tampaknya kurang untuk menyentuh hati gadis yang telah membeku itu. Di tahun kesekian kejadian itu telah berlalu, Hanny masih belum bisa membuat semuanya seperti semula.
“Jangan menangisi seseorang seperti dia. Air matamu jauh lebih berharga dibandingkan anak itu.”
Hanny berbalik begitu seseorang dengan baik hati memberikannya sebuah sapu tangan. Namun bukannya terkkesan, Hanny malah melirik sinis pada seorang siswa yang kini telah berdiri di sampingnya itu.
Mereka kemudian sama-sama menatap Khaira. Gadis itu telah berlalu menggunakan sepeda motor bersama seorang pria yang tidak Hanny kenal.
“Kau ditinggalkan demi seorang lelaki. Miris sekali,” ujar siswa itu lagi.