Sepedah motor milik Joseph terhenti di depan rumah megah keluarga Khaira. Begitu roda kendaraan itu berhenti sempurna, Khaira segera turun, membuat Joseph harus menahan motor tersebut dengan kedua kakinya. Lelaki itu mendesah resah ketika melihat bibir Khaira yang pucat juga badannya yang menggigil. Dia sudah pasti kedinginan kedinginan.
“Maafkan aku, harusnya kau menerima jaketku tadi supaya tidak kedinginan seperti ini.” Joseph berkata seraya menerima helm dari Khaira.
“Jangan sok tidak butuh.” Khaira tersenyum kecil. “Anda itu duduk di depan, jadi lebih membutuhkan jaketnya dibandingkan saya.”
Tetap saja, walau Khaira bilang ia tidak apa-apa, perasaan khawatir itu telanjur menyelimuti hati Joseph. Apalagi melihat bibir Khaira yang sesekali bergemertak karena suhu yang mulai begitu rendah malam itu.
“Lagi pula ini juga salahku terlalu lama di rumah sakit,” lanjut Khaira.
“Oh iya, aku belum sempat bertanya. Apa keadaan temanmu itu sudah membaik?”
“Em, aku rasa begitu,” jawab Khaira ragu-ragu. Joseph bisa menangkapnya dengan jelas, namun ia memilih untuk kembali diam dan pura-pura tak tahu.
“Ya sudah. Lebih baik kau masuk saja, mungkin ibumu sudah menunggu.”
Khaira terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengangguk dan mulai berjalan ke dalam gerbang. Di sana sudah ada penjaga yang menyambut gadis itu dengan hangat, sayangnya itu tidak berdampak apa pun. Karena baik di luar maupun di dalam, keadaan Khaira masih sama-sama dingin.
***
Danny menatap sendu ke arah Hilya yang masih ada di ruang ICU. Di sana ia bisa melihat gadis itu dengan luka-luka di sekujur tubuhnya. Patah tulang rusuk, kerusakan ginjal, dan gegar otak ringan. Berita tadi malam dari dokter benar-benar membuatnya putus asa. Terlebih ketika kemarin siang Khaira dengan teganya berkata jika ia tak mau memberi uang kompensasi itu pada mereka.
Dunia Danny yang sudah jatuh kini kembali runtuh. Untuk makan saja kadang mereka harus mengandalkan makanan sisa yang Ersa bawa dari restoran tempatnya bekerja, lantas bagaimana nasib mereka dengan tekanan lebih dengan keadaan Hilya sekarang.
Ketika masih asyik berkutat dengan pikirannya sendiri, Danny tiba-tiba tersadar ketika telinganya mendengar langkah kaki. Dari ujung koridor ia melihat seseorang berjalan ke arahnya. Dia ingat betul siapa orang itu. Salah satu teman berengseknya Khaira, Pikir Danny.
“Mau apa kau kemari? Belum cukup puas kau dan temanmu itu mengejek—” Perkataan Danny terhenti ketika Jimmy menyerahkan sebuah kertas berisikan keterangan jika semua biaya pengobatan Hilya, baik yang telah lalu atau yang akan datang telah lunas di tangannya.
“Aku tidak berniat merendahkanmu. Aku hanya ingin membantu juga mewakili kedua temanku untuk meminta maaf.“ Jimmy berucap sungguh-sungguh, namun tampak tak berani menatap Danny.
“Kau tidak bercanda?” ucap Danny pelan. Bantuan yang Jimmy tawarkan sama sekali tak pernah ada dalam prediksinya. Oleh karena itu ia perlu memastikan kebenarannya. jangan sampai ia kembali dipermainkan lagi oleh mereka.
“Kak, ini bukan saatnya bercanda. Aku tahu Hilya sangat membutuhkannya. Melihat bagaimana Khaira memperlakukanmu tempo hari membuatku sadar, betapa jauh kesalahanku sebagai sahabatnya. Harusnya aku bisa menghentikan tindakan Khaira, tapi nyatanya aku tidak mampu. Jadi sekarang, aku di sini datang untuk membantu. Terserah kalian mau menganggap apa, tapi yang jelas aku benar-benar tulus meminta maaf dan membantu.”
Danny kembali terdiam, namun beberapa saat kemudian tangannya terangkat untuk menepuk bahu Jimmy pelan.
“Terima kasih, terima kasih banyak. Khaira harusnya bisa cepat sadar sepertimu. Sekali lagi, aku berterima kasih.” Danny berrucap penuh syukur. “Aku lega sekali sekarang, setidaknya adikku bisa menjalankan pengobatan lainnya sebelum kami mendapatkan pendonor yang cocok.” Danny melanjutkan perkataannya setelah melirik Hilya sekilas di dalam ruangannya.
“Jadi Hilya belum mendapatkan pendonor yang cocok?” tanya Jimmy terkejut.
“Belum, aku dan Kak Ersa telah mengikuti tes. Tapi sayang tidak ada yang cocok, sedangkan ibuku yang memiliki golongan darah yang sama dengannya benar-benar tidak bisa melakukan operasi. Beliau juga sakit.”
“Kalau begitu aku. Aku akan mencoba untuk menjadi pendonor untuk Hilya, semoga saja aku bisa.”
“Kau mau?” tanya Danny terkejut, pasalnya ini bukan lagi sesuatu yang mudah. Banyak risiko yang akan Jimmy hadapi jika ia benar-benar berniat mendonorkan ginjalnya.
“Tentu, kenapa tidak. Aku bisa menemui dokter sekarang juga untuk konsultasi, aku sudah legal dan jika semuanya cocok, aku akan melakukannya.”
Jimmy segera berlari melesat meninggalkan Danny.
Sementara pemuda itu kembali menatap Hilya dari balik kaca. “Ada harapan, Ya. Jadi bertahanlah!”
***
Malam sudah larut, jam yang melekat di tangan Khaira telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Namun hal itu bukan alasan Khaira untuk tidak menemui sahabatnya.