Khaira, si gadis tak punya hati itu kini tengah berbaring menatap langit-langit ruangan inapnya sendirian. Tak ada satu pun dari mereka yang sudi menemaninhya di saat-saat sulit seperti ini. Justru sebaliknya, Khaira rasa kini mereka tengah berpesta merayakan hari itu sebagai hari yang bersejarah.
Orang-orang itu akan bersenang-senang karena tak akan ada lagi pengganggu yang akan merusak pagi mereka yang sempurna. Tak akan ada lagi yang bisa membuat orang-orang mengumpat kasar lagi. Hidup mereka pasti tenang ketika mengetahui Khaira tak akan menginjakkan kakinya di sekolah untuk beberapa waktu ke depan.
Kakeknya telah berucap dan Khaira tak bisa menghindar. Ia resmi menjadi tahanan rumah, walau nyatanya ia masih berada di rumah sakit. Tapi apa bedanya, sama-sama sepi, sama-sama tak ada orang. Khaira selalu sendirian di mana pun ia berada.
Khaira ingat tentang pertemuannya dengan sekelompok anak kelas satu saat pulang sekolah. Mereka terdengar tengah membicarakan mengenai rencana untuk menengok Hilya. Dengan keadaan Hilya saat itu, Khaira mengira anak-anak itu hanya bisa melihat teman mereka dari jauh. Namun lihatlah, keadaan kamar Khaira yang besar juga status ruangan VVIP tak lantas membuatnya banyak orang keluar hilir mudik untuk melihat keadaannya. Rasanya lebih baik Khaira tidur di lantai koridor saja.
Gadis itu tak mengharapkan seluruh orang memperhatikannya, ia hanya ingin ada satu orang. Satu saja cukup. Khaira sudah bahagia dengan adanya satu orang yang bertanya ‘Apa ia baik-baik saja?’ Atau mengusap kepalanya sambil berkata, ‘Lain kali hati-hati, sekarang istirahatlah agar cepat sembuh.’
Keinginan Khaira tidak pernah terasa sulit. Ia tak pernah meminta diberikan mobil keluaran terbaru atau rumah mewah. Khaira hanya ingin di pagi hari ada satu orang mendoakan kepergiannya ke sekolah. Lalu saat malam menjelang, orang itu akan menepuk pundaknya dan dengan bangga mengatakan kalau yang Khaira kerjakan hari itu benar-benar membuatnya bangga.
Itu saja.
Apa hanya dengan itu Khaira dianggap serakah?
Khaira menutup matanya. Di pelupuk matanya kini ia bisa melihat bayangan masa lalu yang amat menyenangkan tengah menari seolah mengejek keadaannya yang sekarang.
Mereka tertawa, bahkan Kenan mengusap rambut Khaira dengan lembut ketika ia masih menyuarakan tawanya yang manis. Ibu yang memangkunya, mengecup puncak kepala Khaira ketika ia dengan bahasa anak-anaknya berceloteh tentang teman-temannya. Lalu ayah di depannya menatap bangga ke arah mereka semua.
Itu hangat, tapi kenapa begitu Khaira kenang, semua kehangatan itu terasa menyakitkan? Air mata tak urung mengalir membasahi bantal gadis itu yang sebelumnya kering.
“Ma, Pa, maafkan aku,” ucapnya mengisi udara kosong yang hampa.
Sementara seseorang di luar sana menatap Khaira pedih sambil meremas dua buku di pelukannya. Ia tak pernah tahu kalau siswanya mempunyai beban yang amat berat.
***
“Kau yakin tak apa-apa?” tanya Joe yang masih menatap Kenan di depannya.
Sudut bibir anak itu membiru dan sedang disamarkan oleh para make up artis. Tak bisa dipungkiri kalau lelaki dengan perawakan kecil itu begitu khawatir dengan keadaan artisnya.
Kenan bukan seorang artis yang gampang diselami maunya. Ia bahkan baru tahu satu tahun dari debut Kenan tentang keluarga lelaki tersebut. Saat itu Joe memaklumi karena Kenan memberikan jawaban yang mengagumkan.
“Aku tak mau kedudukan keluargaku membuat jalan karier yang aku tempuh jadi terlampau mulus, aku ingin melakukannya sendiri, dengan keringatku sendiri.” Begitu katanya.
Tapi saat ini, sayangnya lidah Joe teramat gatal untuk tidak bertanya mengenai luka di wajah Kenan. “Ceritakanlah padaku apa yang terjadi. Kalau memang ada hubungannya dengan penguntit, kita bisa segera usut.”
“Tenanglah, ini hanya karena aku kembali main ke dojo. Anak-anak yang lain minta aku bertarung satu lawan satu. Tapi karena aku sedang tidak fit, beberapa kali aku kena pukul.”
“Dojo? Sudah lama sekali sejak terakhir kali kau pergi ke tempat itu.”
“Hanya sedang rin—”
“Yang aku ingat, kau ke sana hanya jika kau banyak pikiran. Apa kau sedang ada masalah?”
Kenan tiba-tiba diam. Tak ada yang pria itu tanggapi, ia hanya melihat lurus tanpa ekspresi. Itu cukup membuat Joe paham kalau Kenan memang tak mau mengungkit-ungkit masalah yang sebelumnya terjadi.
Maka ia pun memutuskan untuk pergi, sebelum akhirnya sebuah panggilan masuk di ponselnya mengurungkan niat lelaki itu undur diri. Ia berbincang sebentar, sampai akhirnya menutup panggilan tersebut.
“Ken, kau tidak bilang kalau adikmu masuk rumah sakit.”
Joe melihatnya, melihat bagaimana saat sepersekian detik mata Kenan membulat seperti terkejut. Tapi amat singkat sampai Joe tidak sadar saat raut wajah Kenan yang datar kembali ke mukanya.
“Bukan urusanku.”
“Hei, aku tahu hubungan kalian kurang baik. Tapi ini adikmu loh, kau tak mau menengoknya?”
“Tidak tertarik.”
Joe memutar matanya jengah. Ia tidak tahu serumit apa hubungan mereka. Tapi melihat bagaimana reaksi Kenan tentang kabar adiknya membuat Joe yakin, ini bahkan lebih buruk dari masalah perkelahian malam tadi.
“Setidaknya kau harus punya itikad baik untuk melihat adik—”
“Dia bukan adikku,” kata Kenan membantah. “Dia pembunuh,” lanjutnya lirih.
Joe dan satu staf itu tertegun tak mengerti. Akan tetapi, ketika air mata Kenan tumpah, segalanya berubah menjadi sendu.
Pria yang lebih tua itu mengibaskan tangannya pada para staf yang ada di sana, mengisyaratkan mereka untuk pergi. Bisa gawat jika ada salah satu dari mereka yang merekam dan menyebarkan hal ini.
“Hei, apa yang kau bicarakan?”
Joe mendekat ke arah Kenan. Ia menarik sebuah kursi lain supaya bisa duduk di samping artisnya itu. “Aku tidak tahu apa masalah kalian tap—”
“Hentikan, aku tak ingin membicarakan pembunuh itu!” Nada suara Kenan yang histeris kembali memotong perkataan Joe.
Bohong jika ia tak khawatir meninggalkan Khaira malam itu. Dusta setengah mati jika tak ada secuil pun rasa iba ketika melihat adiknya itu terbaring begitu saja di pinggir jalan. Tapi sekuat apa pun rasa cemas, khawatir serta kasihan yang Kenan rasakan, dendam dan kebenciannya pada Khaira lebih besar dan terlalu kukuh untuk dihancurkan.
***