Jika ingin tampar, tampar Khaira sekarang. Buktikan pada dirinya kalau ia tidak sedang bermimpi.
Karena kini dengan sangat jelas dan nyata, Kenan duduk di samping ranjangnya. Kakak yang ia idam-idamkan kehadirannya itu tengah memangku semangkuk bubur dan dengan sabar menyuapi Khaira sambil tersenyum hangat.
“Ayo, makan Khai, Kakak tidak mau kau sakit terus seperti ini.” Kenan membujuk dengan sangat lembut, membuat Khaira tak bisa menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ia membuka mulutnya ragu-ragu untuk menerima suapan pertama dari Kenan.
Rasanya nikmat sekali. Bubur paling enak di dunia kalah rasanya dengan bubur yang berasal dari suapan yang diberikan kakaknya. Khaira tersenyum kecil, begitu pula dengan Kenan. Ia mengusap rambut Khaira dan berbisik,
“Anak pintar.”
Semuanya terasa begitu nyata, jika saja tidak ada banyak kamera yang mengelilingi mereka. namun begitu kata 'cut' terdengar, semua kehangatan tadi buyar.
“Bagus, Ken.” Seorang pria yang sedari tadi mengamati monitor memuji penuh.
Kenan lalu meletakkan dengan kasar mangkuk bubur milik Khaira dan berjalan ke arah sofa yang ada di sana tanpa rasa peduli sedikit pun pada adiknya.
Sekali lagi Khaira kehilangan. Ia seolah diberi umpan kosong. Di mana hatinya tadi telah bergejolak saking senangnya, kini kembali hampa melihat Kenan yang sama sekali tak mau melirik sedikit pun kepadanya. Walau ia tahu semua yang Kenan lakukan palsu, Khaira tetap merasa hatinya telah dikhianati.
Ia menunduk pada akhirnya, hal paling ampuh membuat Khaira lemah adalah Kenan. Maka jangan heran jika untuk sekarang bisa saja Khaira menangis tanpa memedulikan orang-orang itu menganggapnya cengeng.
“Apa ini sudah selesai?” tanya Kenan.
“Sebenarnya sudah. Memang kenapa?” jawab salah satu staf.
“Aku ingin keluar. Joe, aku ke mobil, ya.”
Joe, sempat akan melarang. Tapi melihat mata Kenan yang memerah membuat lelaki itu menganggukkan kepalanya.
Sementara itu di hadapannya keadaan Khaira tak beda jauh. Joe tahu pasti hati gadis itu terluka. Anak ini masih sangat butuh perhatian Kenan, tapi artis asuhannya itu begitu menutup mata dan telinganya untuk hal itu.
“Tidak usah dipikirkan, Khai. Aku yakin kau pasti tahu tabiat kakakmu.” Joe berkata seolah berusaha menghibur gadis itu.
Namun Khaira tak menghiraukannya. Ia malah menarik selimutnya dan kembali berbaring. “Iya, aku tahu. Kakakku memang membenciku.”
Perkataan Khaira itu sukses menohok ulu hati milik lelaki bersurai hitam tersebut. Ia sakit hati melihat bagaimana cara dua manusia ini saling sakit menyakiti.
***
“Kita harus bicara,” ucap Joe sesaat setelah ia masuk ke dalam mobil di mana Kenan juga berada di dalamnya.
Kenan menatap Joe segan. Walau kerap kali menyanggah keinginan manajernya ini, bukan berarti Kenan tak memiliki rasa takut pada sorot mata tajam pria yang lebih tua beberapa tahun darinya itu.
“Ken, aku tahu kau membenci Khaira, tapi melihat bagaimana kau memperlakukannya tadi, kau benar-benar membuatku tak habis pikir. Secara tidak langsung kau hanya memanfaatkan Khaira demi membangun citra di depan masyarakat tanpa memikirkan perasaannya. Kau tahu, dia menangis di sana. Karenamu!” kata Joe gusar. Ia melihat dengan jelas bagaimana bahu Khaira bergetar ketika para staf dan beberapa orang dari agensi meninggalkan kamarnya begitu saja.
Dari sana Joe sadar kalau gadis itu tak bisa sepenuhnya dianggap ikhlas melakukan semuanya. Ia mengharapkan sesuatu, dan itu Kenan.
“Lalu apa urusanku? Dia sudah menyetujuinya.” Joe menatap Kenan tak percaya.
“Kenan Mahesa, di mana hatimu?” Joe berbisik rendah, matanya menyelisik tajam ke arah Kenan yang membuang muka keluar jendela. “Dia adikmu! Adikmu sedang sakit di sana dan kau hanya datang untuk merekam supaya bisa menunjukkan pada penggemarmu bagaimana baiknya dirimu. Tapi itu palsu, kau memberikan sesuatu yang palsu pada penggemar.”
“Aku tanya, di mana masalahnya?”
“Masalahnya adalah dia adikmu dan kau hanya memanfaatkannya!” Joe membentak. Ia benar-benar tak bisa mengendalikan emosinya lagi.
“Dia bukan adikku! Dia pembunuh! Kalau saja dulu dia tak meminta Papa dan Mama menjemputnya terlebih dahulu mereka pasti masih hidup! Mereka pasti masih bisa melihatku sukses dengan mimpiku! Tapi sekarang di mana mereka, apa dengan berbuat baik pada Khaira, kedua orang tuaku bisa kembali? Apa Khaira bisa mengembalikan mereka?”
Joe terdiam. Ia tak pernah tahu kalau perasaan Kenan sangat rumit. Tapi seharusnya ia sadar kalau pasti Khaira pun merasakan hal yang sama dengan apa yang Kenan rasa.
Bahkan bisa jadi lebih parah.
“Lalu apa dengan cara membencinya mereka bisa kau dapatkan lagi? Semuanya sama, Ken. Bagaimanapun kau memperlakukan Khaira, orang tua kalian masih tetap tak bisa kembali padamu lagi.” Joe menyahut dengan nada yang lebih tinggi.
Sebenarnya Joe termasuk manajer yang cukup baik hati. Ia akan mengusahakan yang terbaik bagi Kenan, entah itu karier atau segala fasilitasnya. Tapi untuk sekarang, Joe benar-benar tak bisa mengerti apa sebenarnya yang Kenan mau. Ia hanya tidak ingin Kenan berjalan terlalu jauh lagi. Ia ingin Kenan kembali menjadi Kenan yang dulu.
Namun tanpa diduga-duga, daripada membalas perkataan Joe, Kenan malah menangis seperti anak kecil.
Joe terpaku, ia tak pernah melihat Kenan sehancur ini. Ia memang terkadang bisa melihat sorot lemah itu di mata Kenan, tapi ketika melihatnya segamblang ini, Joe benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Joe menghela napas sebelum akhirnya menepuk-nepuk pelan pundak lelaki itu, berusaha memberikan kekuatan. Karena walau Kenan terlihat begitu kuat, Joe begitu yakin, di dalamnya ia tak ubahnya seperti serangkai bunga dandelion. Ketika kau tiup dengan angin yang lembut sekalipun, ia akan berhamburan. Rapuh.
***
Joseph kembali mengoreksi catatan kelasnya dengan saksama. Pria yang tengah mengejar gelar sarjana itu kini memang tengah giat-giatnya melakukan evaluasi lanjutan, mengingat ia sudah memasuki semester buncit. Joseph hanya tidak mau mengulang hingga membebani orang tuanya yang tinggal di luar kota. Ia merantau bukan untuk menambah pengeluaran, melainkan untuk meringankan.
Joseph tinggal sendiri, ia membayar semua uang kuliahnya lewat beasiswa dan gaji dari mengajar les pada siswa yang membutuhkan, seperti Khaira. Pria berusia dua puluh satu tahun ini terkenal pintar, tekun juga berprinsip keras. Namun beberapa saat yang lalu, prinsipnya seolah melunak, karena Khaira.
Ia kini telah berada di kafe yang sebelumnya ia datangi bersama Khaira. Ini bukan jadwalnya memberi les pada gadis itu, makanya ia tak punya alasan mengunjungi Khaira di rumah sakit.
Khaira memang tak sering bicara. Tapi walau begitu, suaranya terekam jelas di kedua indra pendengaran Joseph. Kadang, di sela kesibukannya, suara itu akan muncul dengan sendiri di pikiran Joseph. Membuatnya mengalihkan perhatian dari apa saja yang tengah ia kerjakan hanya untuk mencari asal suara tersebut. Tapi tentu saja hasilnya nihil, karena ia benar-benar tengah berkhayal, berhalusinasi bersama suara gadis itu yang entah kenapa malah semakin menjadi candu.
Ketika sedang asyik-asyiknya membayangkan suara Khaira, seseorang tiba-tiba menyenggol kursi Joseph, hingga dengan tak sengaja tangannya membuat cangkir kopi yang ia pesan tumpah.
“Ah, maafkan aku Tuan, maaf.” Lelaki itu berkata panik sambil membungkuk berkali-kali. “Saya akan mengganti kopi Anda.” Lelaki tadi berusaha mencarikan solusi paling baik yang bukan hanya berisi permintaan maaf.