Sesampainya di rumah petaknya yang kecil, Joseph membanting pintunya kesal.
“Sialan,” umpatnya kasar. Ia lalu melemparkan badannya dan berbaring di atas kasurnya untuk sejenak memejamkan mata.
Joseph berpikir, harusnya ia sadar siapa dirinya dan siapa Khaira. Gadis itu terlalu tinggi untuk ia raih, belum lagi jika harus membandingkan dirinya sendiri dengan pemuda yang menemani Khaira saat itu. Joseph jelas kalah telak.
Joseph pusing memikirkannya. Ia benar-benar menyesal saat ini. Seharusnya ia tak pernah punya perasaan lebih pada Khaira. Seharusnya ia tak menaruh hati pada gadis itu, seharusnya Joseph sadar diri.
Bodoh!
Joseph memejamkan matanya saat itu juga. Hingga tak sadar kalau semua rasa kecewanya membuatnya tertidur begitu cepat.
Sampai akhirnya sebuah dering telepon membangunkannya.
Joseph celingak-celinguk. Keadaan gelap. Berapa lama ia tidur? Pikirnya.
Lelaki itu lalu meraih ponselnya yang berada di nakas. Sebuah nomor asing tertera di sana. Karena takut dari orang yang penting, mau tak mau Joseph mengangkatnya.
“Hal—” belum sempat Joseph menyelesaikan ucapannya orang itu memotong perkataannya.
“Pak?”
Joseph terdiam. Ia tak salah dengar, kan? Apa karena sebelum tidur ia memikirkan Khaira makanya saat ini Joseph malah membayangkan suara Khaira sedang meneleponnya.
“Pak Joseph?”
“Khaira?”
“Pak, bisakah Anda ke rumah sakit sekarang?”
“Ya, ke rumah sakit?”
“Iya, aku sendiri. Aku ...”
Ada jeda, tapi tak terlalu memedulikan kelanjutannya. Joseph malah memilih untuk segera bergegas mengambil jaketnya.
“... aku sendirian, Pak.” Di seberang sana, Khaira berkata lirih.
“Baiklah, tunggu aku di sana.”
Telak. Suara Khaira telah mengalahkan Joseph dan rasa kecewa di hatinya.
***
Joseph membuka pintu dengan kencang, membuat Khaira yang ada di dalam sana terlonjak kaget. Gadis manis itu kini tengah terduduk di atas lantai sambil memeluk lututnya dengan air mata yang berlinang.
Entah datang dari mana, keberanian Joseph muncul untuk mendekat ke arah Khaira dan meraih gadis itu ke dalam pelukannya.
Dari awal, sejak hari di mana Khaira menjabat tangannya. Joseph seolah terikat pada sebuah perjanjian tak kasat mata untuk melindungi dan memberikan apa pun yang Khaira perlukan. Termasuk kasih sayang darinya.
***
Danny berlari kencang dari ujung koridor menuju ke tempat di mana Ersa berada. Raut wajahnya tak bisa diterjemahkan. Sebuah kelegaan terpancar begitu kentara di mukanya. Ketika ia telah sampai, ia memeluk Ersa dengan erat. Membuat kakak tertuanya itu terpaku tak bisa berkata apa-apa.
Terkejut, sudah pasti Ersa sangat terkejut. Ini pertama kalinya Danny memperlakukannya seintim itu. Mungkin karena merasa seorang laki-laki, Danny kurang suka mengungkapkan perasaannya lewat sentuhan langsung. Tapi sekarang, lihat betapa ia memeluk kakaknya dengan sangat erat. Seolah semua gengsi yang ia junjung tinggi-tinggi selama ini hancur lebur bersama sukacita yang sebentar lagi akan ia bagikan.
“Kak, Hilya akan segera operasi, Kak. Dia akan sembuh.”
Mendengar perkataan Danny, Ersa segera melepas pelukan adiknya tersebut dengan kasar. “Apa maksudmu?”
“Hilya mendapatkan seorang pendonor yang cocok. Kata dokter dia merupakan sukarelawan di sini.”
“Benarkah? Kau tidak main-main kan, Dan?” wanita yang lebih tua itu bertanya penuh selidik
“Aku sungguh-sungguh, dokter bilang Hilya bisa operasi secepatnya.” Danny berkata seraya menunjukkan surat-surat dari rumah sakit.
“Ah, ya Tuhan syukurlah.”
Ersa berlutut sambil memegangi lembaran surat itu di dadanya. Tak ada yang lebih melegakan dari kabar malam hari ini. Ersa yakin setelah ini ia bisa kembali melihat senyum Hilya lagi.
***
Yang Joseph mampu lakukan hanyalah menggenggam tangan Khaira erat-erat. Ketika mendapati kegelisahan muncul di wajah yang sedang tertidur itu. Berulang kali Joseph juga mengusap kerutan samar di dahi Khaira.
Ia tak pernah tahu sebanyak apa beban yang Khaira tanggung, tapi ketika merasakan remasan kencang di kemejanya ketika gadis itu menangis, membuat Joseph sadar, walau Khaira tak secara gamblang bicara, Joseph suda mengerti seperti apa hidup gadis itu.
Yang Joseph tak mengerti, sejauh ia mengenal Khaira, gadis terlihat begitu berani dan kuat. Tapi malam ini ia begitu rapuh dan ketakutan pada sesuatu yang ia sendiri belum bisa pastikan. Ia hanya bergumam tentang semua kesalahan yang ia lakukan. Ia berulang-ulang mengucapkan kata maaf yang Joseph sendiri tak mengerti untuk siapa itu ditujukan.
Joseph tak mau menggali lebih dalam, lebih tepatnya berusaha menahan dirinya sendiri. Pria itu mengambil napas dalam-dalam sebelum melirik satu kotak dengan label salah satu kafe di nakas samping ranjang Khaira. Isinya tinggal satu, itu pun tidak utuh lagi karena ada bekas gigitannya. Lama-lama menatapnya membuat Joseph mengingat seorang pemuda yang sore tadi bersama Khaira. Pemuda yang menemani gadis itu tertawa dan saling lempar canda dengan mesranya.
Joseph penasaran, ke mana kira-kira pemuda itu sekarang. Kenapa dia meninggalkan Khaira? Kenapa ia membiarkan Khaira sendirian? Karena jika Joseph jadi orang itu, ia tak akan pernah meninggalkan gadis manis itu dalam keadaan sebegini parahnya.
Masih bergelut dengan pikirannya, Joseph nyaris tak sadar kalau Khaira telah membuka matanya dan menatap bingung ke arah tangan Joseph yang terlihat begitu erat menggenggam tangannya.
“Pak?”
Joseph menoleh dan terkejut mendapati Khaira yang telah membuka mata. “Khaira, kau bangun? Apa aku membangunkanmu?”
Khaira menggeleng pelan, sejenak ia melupakan tangan mereka yang masih bertautan. Tak apa, pikirnya. Toh itu sangat nyaman.
Namun begitu melihat pakaian Joseph yang berantakan, Khaira pun segera melepaskan pegangan tangan mereka.