Malam itu, tak ada siapa pun di depan kamar inap yang Khaira tempati. Membuatnya memilih keluar untuk sekadar berjalan-jalan di koridor rumah sakit. Kepalanya penat, mungkin karena terlalu banyak menangis.
Langkah kakinya secara tidak sadar membawa Khaira ke lorong di mana ruangan Hilya berada.
Gadis itu melangkah semakin dekat setelah memastikan tidak ada satu pun orang yang menunggui Hilya. Ia menyentuh kaca yang membatasi tempatnya berdiri dengan ruangan tempat Hilya berbaring. Tangan mungil itu terlihat ragu-ragu mengusap embun dari napasnya yang membuat bayangan Hilya di dalam sana memburam. Ada sedikit rasa lega yang berpesta di sudut kecil hati Khaira ketika ia mendapati adik kelasnya itu dalam keadaan yang lebih baik dari sebelumnya.
Jika diingat, betapa lucunya dulu ketika ia dan Jimmy mengikuti Hilya dari jauh, hanya untuk memastikan si gadis kelinci itu sampai dengan selamat ke rumahnya. Jimmy memang pengecut, ia mungkin tak akan pernah bergerak jika di belakangnya tak ada Khaira atau Felix. Walau sering kali berbicara blak-blakan, Jimmy nyatanya akan berubah jadi pemalu jika itu berhubungan dengan Hilya.
Maka saat itulah Khaira dan Felix datang untuk membantu. Entah itu membantu dengan dukungan verbal atau berupa tindakan. Walau Jimmy sendiri tak pernah tahu, tapi Khaira memastikan ia akan selalu ada di belakang sahabatnya itu.
“Khaira?”
Gadis itu tersentak ketika namanya dipanggil. Ia sontak menoleh ke arah datangnya suara dan mendapati Ersa yang tengah berdiri sambil membawa sebuah plastik.
Yang lebih tua tersenyum, sementara Khaira menunduk. Pikirannya tak bisa bergerak ketika wanita itu berjalan menghampirinya.
“Kamu Khaira, kan? Jadi kamu juga dirawat di sini?” tanya Ersa pelan. Agaknya wanita itu masih mengingat video yang tonton beberapa saat yang lalu. Hingga tak meleset menebak Khaira.
“Kamu sedang sakit, kenapa keluar malam-malam?”
Khaira mengangkat kepala dan mendapati Ersa masih menatapnya dengan pandangan yang sama. Pandangan hangat yang selalu Khaira ingin rasakan dari Kenan.
“H-Hilya ...” Suara Khaira terputus, entah karena apa, air matanya tiba-tiba jatuh. Entah apa yang ia pikirkan, hanya saja mengingat bagaimana keadaan Hilya saat ini, membuat perasaan bersalah itu muncul dan mencubit kecil ulu hatinya.
Tanpa Khaira duga, Ersa dengan lembutnya membawa Khaira dalam pelukannya. Ia bahkan membiarkan gadis itu membalas pelukan yang ia berikan.
Khaira mungkin memang dilimpahi harta berlimpah dan fasilitas kelas atas di rumahnya, namun bukan berarti dia kaya dalam segala hal. Karena nyatanya hanya untuk sekadar menerima pelukan hangat seperti ini, Khaira harus bertindak seperti seorang pengemis yang kelaparan kasih sayang dari orang lain.
Dan walau bukan dari Kenan, Khaira merasa cukup untuk sekarang. Pelukan Ersa dan rasa hangatnya mampu menahan rasa lapar akan sebuah perhatian dari seseorang.
***
Begitu Hanny mendapatkan kabar dari Felix tentang keadaan Khaira, ia ingin segera menemui adik kecilnya itu. Namun sayang, saat itu ia tengah menghadapi ujian yang mengharuskannya belajar bersama kelompoknya dua kali lipat lebih sering. Tidak ada waktu kosong. Tidak, sebelum hari ini datang.
Hanny mengunjungi Khaira dengan buah tangan yang sama, yakni kue kering buatan ibunya yang selalu Khaira puja-puja. Dulu.
Hatinya amat terenyuh ketika pertama kali membuka pintu ruangan inap milik Khaira. Gadis itu berbaring di sana dengan selimut yang menutupi sebagian besar tubuhnya. Tubuhnya yang memang sudah kecil itu kini menjadi semakin kurus.
Hanny ingin menangis rasanya.
“Ah, kenapa jadi seperti ini?” Hanny bergumam seraya mengusap lembut rambut Khaira yang telah dipotong beberapa hari yang lalu. Kini tak ada lagi rambut panjang bergelombangnya. Hanya tersisa rambut sebahu di kepala gadis tersebut.
Hanny diam setelah duduk di samping ranjang milik Khaira. Beberapa saat kemudian, usapan rambut itu tampaknya membuat tidur Khaira terusik. Ia membuka matanya, namun tidak banyak bereaksi pada Hanny yang berada di depannya.
“Kenapa Kakak ada di sini?” tanya Khaira pelan. Ia menatap bingung ke arah mata Hanny yang mulai memerah.
“Kamu ...” ucapan Hanny terpotong ketika matanya mengeluarkan air mata yang telah susah-susah ia tahan. “Kenapa sih, kamu nakal sekali? Kamu tahu, aku sangat khawatir mendengar kamu sakit dari Felix waktu itu.” Hanny berkata seperti seorang ibu memarahi anaknya.
“Kamu boleh membenciku Khai, kamu boleh meninggalkanku, tapi aku mohon, jangan seperti ini. Jangan menyakiti dirimu sendiri. Hiduplah dengan benar, Khai. Jangan seperti ini,” lanjutnya seraya menggenggam tangan Khaira dengan erat.
Rasa sakit yang Hanny rasakan saat ini terasa dua kali lebih sakit ketimbang saat Khaira mengabaikannya. Seperti yang ia katakan, ia lebih baik dibenci oleh gadis di hadapannya ini, asalkan Khaira baik-baik saja.
“Kak, maafkan aku.”
Hanny mendongak begitu mendengar bisikan lirih dari Khaira.
“Maafkan aku karena telah menyakitimu selamat ini. Aku hanya takut Kakak seperti ini, menangis karena seseorang tak berguna seperti aku.” Khaira berkata seraya menghapus air mata Hanny. “Aku tidak pantas berada di samping orang baik sepertimu.”
“Khai!” Hanny menarik Khaira ke dalam pelukannya, membiarkan gadis itu ikut larut dalam perasaan mereka. “Aku tulus, seburuk apa pun dirimu, kamu masih adikku. Aku mohon lupakanlah masa lalu kita, kau harus bergerak maju. Jangan seperti ini terus.” Hanny mengoceh dengan segala kata-kata indahnya. Ia berusaha menguatkan jiwa adiknya yang semakin melemah.
Mereka sama-sama tahu siapa yang lebih terluka saat ini. Hanny memang sudah melupakan semua hal yang terjadi dulu, ia sudah ikhlas. Namun untuk Khaira,baginya dosa tak semudah itu bisa ia hapus.
***
Hanny menutup pintu kamar inap Khaira dengan perlahan. Matahari di luar sana begitu terik menyengat. Bersinar terang, namun berbeda seratus delapan puluh derajat dengan keadaan dirinya.
Ia begitu sendu. Air matanya nyaris turun lagi ketika melihat Khaira di balik pintu itu tengah menatap kosong entah ke mana.
“Keras kepala,” gumam Hanny pelan. Ia lalu berbalik untuk melangkah pulang.
Hari ini sudah cukup. Khaira memintanya pulang ketika Hanny bercerita bahwa ia akan segera menghadapi ujian. Awalnya Hanny menolak, namun ancaman gadis itu membuat Hanny menyerah.
Hanny berjalan santai begitu ia keluar dari lift, namun tanpa di duga-duga, Hanny mendapati satu wajah yang hampir ia kenali tengah berdiri di depan meja resepsionis.
Wajah itu tidak mungkin Hanny lupakan. Wajah yang telah dengan gamblang menyatakan kebencian pada Khaira. Wajah menyebalkan yang seenaknya menilai orang dari luar.
Mata yang awalnya berfokus pada wanita di balik meja, kini bergulir mengarah kepadanya. Membuat Hanny berusaha menghindari sosok itu, namun si pemuda yang berusaha Hanny hindari tak bisa begitu saja dikelabui.
“Kau sakit?” tanya Danny begitu ia berhasil mendekat ke arah Hanny.
Hanny mendengus dan hendak meninggalkan Danny, karena untuk seseorang yang baru bertemu beberapa kali, Danny termasuk orang yang lancang. Namun sayangnya, tangan Hanny sudah terlebih dahulu ditahan.
“Apa sih maumu?” tanya Hanny geram.
“Hei, aku hanya bertanya.”
“Kau mengganggu. Lagi pula aku tidak mengenalmu.”
“Bukannya aku sudah memperkenalkan diri waktu itu. Namaku Danny, aku—”
“Tidak ada yang menyuruhmu memperkenalkan diri.”
“Tapi—”
“Aku tidak mau berurusan denganmu. Jadi minggir, aku mau pulang.”
Tampaknya Hanny benar-benar tidak menyukai kesan pertamanya dengan Danny. Pemuda itu jelas sudah salah melangkah. Bukannya mengesankan, Danny malah membuat mood Hanny hancur berantakan.
***
Joseph berjalan bolak-balik seperti setrika di depan kafe yang akhir-akhir ini selalu ia datangi. Dia bukannya bingung hendak membeli penganan manis apa, karena yang terjadi ia memang telah mendapatkan apa yang ia mau.