Hanny masih terus memacu kaki dan tangannya mengikuti iringan instrumen musik yang melantun memenuhi udara studio dance tempatnya berlatih. Peluh yang bercucuran tak ia pedulikan. Derap langkah kakinya terdengar begitu lantang, berbeda dengan keadaan hatinya yang begitu lemah.
Dulu, dulu sekali. Ia tak pernah bisa meninggalkan tempat ini jika belum merasakan kaki dan tangannya hampir patah. Tapi sekarang, untuk datang saja Hanny butuh waktu berhari-hari untuk sekadar berpikir.
Semua itu karena Khaira.
Hanny takut datang ke tempat ini karena Khaira. Karena Khaira yang menghancurkan semuanya. Gadis itu yang membuat kacau. Khaira yang membuat mereka gagal.
Khaira membuat Hanny disalahkan.
Itu yang selama ini Khaira pikirkan.
“Aku hanya menjadi sebuah tembok penghalang untukmu. Pergilah, jangan pernah menemuiku lagi. Bersamaku, Kak Hanny hanya akan merasa kesusahan.” Begitu katanya.
Mulai saat itu semuanya tak lagi sama. Baik Hanny maupun Khaira tak lagi mengunjungi studio tari yang biasa mereka sewa. Khaira berhenti dengan tragis, sementara Hanny masih belum bisa menemukan alasan untuk kembali melanjutkan mimpinya.
Sampai akhirnya beberapa hari yang lalu, ketika ia mengunjungi gadis itu di rumah sakit. Ia menemukan lagi alasan itu. Tidak lain dan tidak bukan, alasan itu adalah Khaira.
“Kak, aku tak bisa menari lagi. Jadi, Maukah kakak menari untukku?”
***
“Buku apa yang kau tulis?”
Khaira berbalik kaget mendengar seseorang berbicara di samping telinganya. Tangannya pun dengan spontan menutup rapat buku berwarna jingga yang sedari tadi ia pangku..
“Kak Ersa?” ujarnya setelah tahu siapa seseorang yang berada di belakangnya.
“Dari tadi serius sekali menulisnya,” kata Ersa sambil terkekeh pelan melihat wajah terkejut Khaira.
Khaira tersenyum kecil, ia tak tahu harus melakukan apa ketika wanita dengan rambut hitam terurai itu mendudukkan dirinya di samping Khaira.
Pertemuan terakhir mereka menjadi sangat emosional dan memunculkan sedikit rasa malu yang membuat Khaira merasa canggung berhadapan kembali dengan Ersa.
“Bagaimana keadaanmu, sudah lumayan baik?” tanya Ersa dengan tangan yang mengusap lembut rambut Khaira.
“Baik, hanya tinggal menunggu dokter mengizinkan pulang saja.” Khaira menjawab sambil meletakkan buku yang ia bawa di sebelahnya.
“Syukurlah.”
Ersa mengambil napas panjang sebelum menengadahkan kepalanya. Khaira bisa melihatnya, bagaimana mata itu amat kelelahan, namun jika mengingat senyum wanita itu tadi, Khaira sama sekali tak menemukan sebuah kejenuhan di dalamnya. Ia terlihat segar walau dengan kantong matanya menghitam.
“Kenapa?” tanya Ersa. Ia menoleh ke arah Khaira begitu sadar ada yang memperhatikan.
mengerjap kaget, tangannya meremas pakaian rumah sakit yang ia gunakan. Pertanyaan Ersa begitu tiba-tiba, hingga membuat pikiran Khaira buntu seketika.
“Ah tidak, hanya ... sedikit khawatir. Kakak terlihat kelelahan.”
“Ah kau pasti lihat kantung mataku, ya?” kata Ersa, ia tertawa geli. “Tidak apa-apa. Aku sudah biasa. Hari ini aku dapat giliran kerja pagi, jadi bisa ke sini sebentar. Nanti saat Danny pulang sekolah, aku akan pulang.”
Khaira mengangguk, ia lalu melakukan hal yang sama dengan Ersa, menengadah dan menghirup udara dengan rakus.
Langit begitu bersih, gumpalan awan terlihat enggan mengisi bagian kosong di atas sana. Khaira bahkan bisa melihat sebuah pesawat terbang dengan begitu jelasnya. Angin juga berembus begitu tenang membelai kulit kedua perempuan tersebut. Agaknya Khaira sedikit terbuai hingga tertidur, namun kemudian terbangun ketika suara Ersa kembali terdengar.
“Kemarin aku melihat video kakakmu.”
Khaira menaikkan sebelah alisnya dengan mata yang masih terpejam. Dalam hati ia bertanya-tanya, dari mana Ersa tahu video tersebut. Apa dia juga salah satu penggemar kakaknya?
“Hilya sangat mengidolakan kakakmu. Bahkan Danny sempat merasa cemburu karena Hilya lebih sering memuji Kenan daripada dirinya.” Perkataan Ersa diakhiri dengan sebuah tawa geli yang membuat Khaira membuka matanya lebar-lebar.
“Benarkah? Tidak aku sangka.”
“Tentu saja benar, dia bisa sangat antusias jika berhubungan dengan Kenan.”
“Lain kali, jika Hilya sudah benar-benar sembuh. Aku bisa mengenalkannya pada kakakku,” kata Khaira semangat. Namun akhirnya, ia harus menggigit bagian dalam pipinya sendiri, mengingat apa yang ia ucapkan tak ubahnya hanya sebuah omong kosong belaka.
“Hilya pasti sangat senang, dia selalu ingin datang ke salah satu konser Kenan. Tapi kau sendiri tahu bagaimana keadaan ekonomi kami. Hal-hal seperti itu tidak mungkin Hilya dapatkan.”
Khaira mengulum bibirnya tak enak hati.
Angannya lalu terbang ke kejadian beberapa saat lalu. Walau mungkin ia begitu yakin Jimmy akan membantu Hilya, tapi pasti sebelum itu terjadi Ersa amat panik juga ketakutan memikirkan nasib adik perempuannya.
“Kak, aku—”
“Kak? Sedang apa kau di sini?”
Belum juga selesai Khaira berbicara, dari arah belakang suara Danny terdengar jelas.
“Danny, sudah datang?”
“Sedang apa Kakak bersama orang ini? Kurang kerjaan sekali.”
Keadaan berubah tegang ketika pemuda itu mendekat ke arah mereka. Danny dengan mata yang menyala marah seolah hendak menguliti Khaira saat itu juga.
“Danny, jaga bicaramu.” Ersa berdesis pelan sambil mencubit kecil pinggang lelaki bergigi kelinci itu.