“Ah pantas kau senang ke sini. Di sini udaranya segar,” ucap Kenan sambil berusaha menghirup udara pagi yang bersih sebanyak mungkin.
Khaira yang masih duduk di kursi rodanya hanya dapat tersenyum senang. Sebagian hatinya masih tak percaya kalau yang ia idamkan selama ini bisa dirinya raih dengan sangat mudah.
Mereka kini tengah berada di taman rumah sakit. Dua minggu setelah Khaira sadar keadaan tubuhnya mulai membaik. Ia bahkan sudah bisa kembali tersenyum, bercanda, bergurau dengan siapa pun yang datang. Entah itu kakeknya, bahkan Kenan yang selalu menemaninya setiap sore atau pagi seperti ini.
Taman rumah sakit yang mereka kunjungi itu lumayan luas, banyak bunga juga pohon-pohon peneduh. Di sana juga terdapat beberapa kursi taman yang terbuat dari kayu yang biasanya menjadi tempat favorit Khaira,
“Aku senang kalau Kakak senang.”
“Hei, harusnya Kakak yang senang kalau Khai senang.”
“Aku senang jika bersama Kakak.”
Senyum di wajah gadis itu tak pernah luntur sampai mereka tiba di sebuah pohon yang cukup besar dengan beberapa bunga di sekitarnya. Mereka berdua berhenti sejenak di sana. Udara yang sejuk serta sinar matahari yang tak terlalu terik membuat tempat itu cukup nyaman.
“Eh, bunganya cantik,” pekik Kenan ketika mendapati bunga-bunga kecil berwarna kuning di dekat pohon. Ia meninggalkan Khaira untuk memetik beberapa dan kembali ke arah gadis itu dengan beberapa tangkai bunga tersebut.
“Ini indah,” ucapnya seraya menaruh bunga itu di pangkuan adiknya.
“Ya, indah sekali.” Khaira berujar, tapi bukan pada bunganya, melainkan pada Kenan.
Mereka tak pernah seperti ini sejak bertahun-tahun yang lalu. Kenan selalu enggan berada sedekat ini dengan Khaira. Membuat si adik tak pernah bisa mengagumi wajah memesona milik kakaknya.
Namun sekarang, Khaira bahkan bisa menyentuhnya dengan leluasa tanpa rasa takut. Bahkan, Kenan tersenyum tanpa paksaan di hadapannya.
“Hei, Khai. Kenapa menangis?” tanya Kenan sambil menangkup wajah adiknya.
“Aku ...” Khaira menunduk dan membiarkan air matanya jatuh ke atas bunga yang Kenan petik tadi.
“Aku ... bahagia, Kak. Akhirnya aku bisa melihatmu dengan jelas.”
Kenan membuang wajahnya yang telah memerah. Air matanya juga tak sanggup ia bendung. Jika tahu kalau rasa rindu adiknya ini begitu menggebu-gebu, mungkin dari dulu Kenan berlari ke arah Khaira dan memeluknya.
“Aku selalu ingin Kakak tersenyum padaku seperti tadi. Tapi dulu begitu sulit, bahkan untuk melihatmu dengan jarak sedekat ini saja aku tak bisa. Aku ... bahagia sekali sekarang. Sangat bahagia hingga rasanya ingin mati saja.”
“Heh!” Kenan menyentil dengan pelan ke kening Khaira. “Berhenti bilang kalau kau ingin mati karena bahagia. Aku akan ada di sini bersamamu selamanya. Jadi jangan mati dulu, kalau kau mati siapa yang akan menemaniku?”
Kini giliran Khaira yang tersenyum geli melihat kakaknya itu mengomel sambil merengek seperti anak kecil. Rasanya seperti dilempar ke masa lalu, di mana ia dan Kenan masih menangisi hal yang sama sambil sesekali saling melemparkan rengekan satu sama lain. Sederhana, tapi bagi Khaira itu sangat menyenangkan.
Seperti sekarang.
“Aku menyayangimu,” gumam Kenan, lalu menarik Khaira ke dalam pelukannya. Pelukan hangat yang selalu Khaira inginkan.
***
“Aku mau makan bubur kacang hijau.”
“Nanti Kakak belikan.”
“Aku mau Kakak yang buat.”
“Kakak kan tidak bisa masak.”
“Ah, Kak Ken!”
“Ah baiklah. Nanti aku akan meminta bantuan Bibi Nam.”
“Nah begitu, dong.”
Kenan mendengus dengan permintaan Khaira.
Kini mereka sedang berjalan menuju kamar Khaira dan mulai berbicara mengenai makanan apa yang Khaira inginkan untuk dibawa Kenan besok. Namun sayang permintaan itu berubah menjadi apa yang harus Kenan masak untuk Khaira. Kenan yang tak bisa melakukan apa-apa selain mengiyakan.
Keduanya masih saling bercengkerama ketika seorang gadis menghampiri dan memanggil Khaira ragu-ragu.
“Kak Khaira?”
Khaira menoleh dan mendapati Hilya sedang berdiri sambil menyeret tiang infusnya. Itu sebuah hal yang mengejutkan, karena seingatnya Khaira tidak pernah memperkenalkan diri kepada Hilya.
“Aku Hilya. Adik kelas kakak di sekolah.”
“Eh, dia juniormu, Khai?”
“Ah, apa Anda Kenan Mahesa?” tanya Hilya agak terkejut.
“Iya.”
“Aku penggemarmu,” ucap Hilya di luar ekspektasi Khaira.
“Oh, benarkah? Wah, aku terkejut bisa bertemu dengan penggemarku di sini. Omong-omong apa kau sakit?” tanya Kenan diselingi nada khawatir di ujung kalimatnya.
“Aku mengalami kecelakaan. Sudah dioperasi dan hanya tinggal menunggu tanganku sembuh,” jawab gadis manis itu.
Khaira bisa melihat Hilya masih menggunakan arm sling, namun jika di ihat lebih saksama anak itu bahkan bisa dibilang lebih sehat ketimbang Khaira yang masih sering merasakan nyeri ketika berjalan.
“Ah, aku turut prihatin. Khaira-ku juga baru saja menjalani operasi.”
Hilya tampak mengerutkan dahinya. “Khaira-ku?”
“Em, Khaira ini adikku. Kau tidak tahu? Katanya penggemar.”
“Aku tahu Anda punya adik. Tapi kukira bukan Kak Khaira.”
Kenan tergelak melihat wajah polos Hilya yang kebingungan. Namun di sudut lain hatinya juga ikut merasa tercubit kecil mendengar penuturan gadis tersebut. Ia mengaku salah karena tak pernah berada dekat dengan Khaira dulu.
“Ya, dan sekarang kau beruntung. Kau bisa bertemu dengan adikku.” Nada bicara Kenan begitu ceria, membuat Khaira ataupun Hilya terdiam takjub.
Bagi Hilya yang cukup mengenal Kenan sebagai idolanya, hal itu cukup jarang terjadi. Sudah jadi rahasia umum kalau Kenan merupakan penyanyi yang dingin dan sangat jarang berekspresi di depan publik, terkecuali jika sedang tatap muka dengan penggemarnya. Itu pun masih banyak orang yang berkata Kenan hanya sekadar pencitraan. Tapi kali ini Hilya berkesempatan melihat senyum tulus itu secara langsung.
Sedangkan Khaira, kalian pasti tahu alasannya.
“Wah, aku tidak menyangka kalau adik idolaku ini juga kakak kelasku di sekolah.”
“Aku juga tak menyangka kau kenal aku.” Khaira berkata setelah lama terdiam.
“Aku tahu banyak tentang Kakak. Teman-teman di kelasku banyak yang membicarakan Kakak.” Hilya begitu semangat, terlihat jelas dari kepalan tangannya yang berada di depan dada.
“Bicara yang seperti apa?” tanya Khaira sukses membuat Hilya terdiam. Tak mungkin kan kalau ia berkata teman-temannya membicarakan hal buruk tentang gadis itu.
Tapi semuanya sudah terlanjur Khaira sadari. Ia tahu arti diamnya Hilya.
“Tidak usah dijawab. Aku juga sudah tahu.” Khai berujar dengan segala kamuflase guna menyembunyikan kekecewaan yang telanjur kembali bercokol di hatinya.
“Tapi Kak, aku—”
“Hilya,” belum sempat Hilya menyelesaikan ucapannya, seseorang tiba-tiba muncul dengan raut wajah khawatir.
“Kau membuat aku khawatir. Kan sudah aku bilang untuk menungguku, jangan seperti itu lagi. Mengerti?”
“Iya, maaf. Lagi pula salah sendiri, Kakak lama sekali.” Hilya mengerucutkan bibirnya kesal pada pemuda di depannya tersebut. Jimmy, yang masih belum sadar akan kehadiran Khaira di dekatnya.
“Oh, maafkan aku, tapi lain kali jangan pergi sendirian seperti ini lagi, oke?” Jimmy berkata seraya mengusap rambut Hilya.
Hilya mengangguk, lalu pandangannya kembali teralihkan pada Khaira yang menatap nanar ke arah mereka.