Hanny terlambat pulang hari itu, ia mendapat beberapa tugas tambahan karena kemarin-kemarin sempat izin untuk urusan keluarganya.
Hari sudah berubah senja ketika ia keluar dari gedung sekolahnya. Ia sudah siap-siap akan segera pulang dan kembali menengok Khaira di rumah sakit. Felix bilang Khaira sudah semakin sehat. Hanny juga senang ketika mendengar bahwa baik kekek juga kakak Khaira telah mengibarkan bendera putih guna kebaikan gadis itu sendiri.
Hilya belum sempat berjalan terlalu jauh ketika matanya melihat seseorang tengah berdiri di depan pos jaga sambil sesekali mengecek jam yang ada di pergelangan tangannya.
Hanny hanya bisa menghela napas melihat orang itu lagi, lagi, dan lagi. Ia mulai merasa kalau memang orang itu tidak memiliki rasa bosan untuk menemuinya.
Ini sudah kali keempat Danny berusaha menemuinya semenjak kejadian di rumah sakit hari itu dan empat kali pula Hanny berhasil menghindarinya. Mulai mendapatkan tumpangan dari temannya, sampai berhasil mengelabui Danny dengan pulang lewat jalan belakang.
Inginnya Hanny kembali mengelak, meninggalkan pemuda dengan seragam berbeda dari miliknya itu. Tapi pikirannya bertanya telak, mau sampai kapan? Seseorang seperti Danny tak akan menyerah begitu saja. Lihat saja, sekarang bahkan sudah hampir senja dan ia masih menunggu di sana. Kalau Hanny masuk kembali, akan jam berapa ia pulang nanti.
Maka dengan berat hati, Hanny melangkah mendekat ke gerbang sekolah. Membiarkan risiko tertangkap basah oleh pemuda tersebut.
“Hanny.” Benar saja, Danny dengan segera menyadari kalau Hanny baru saja lewat di depannya. “Aku menunggu lama di sini,” lanjut Danny seraya mengikuti langkah kaki Hanny menuju ke halte bus.
“Aku tidak menyuruhmu menunggu. Lagi pula untuk apa repot-repot menungguku?”
Mereka kini telah sampai di halte yang memang jaraknya tak seberapa jauh dari sekolah Hanny.
Bus yang Hanny tunggu akan segera datang sekitar lima belas menit lagi. Hal itu menjadi sangat menyebalkan bagi Hanny untuk saat ini, karena ia harus bersama dengan Danny selama lima belas menit tersebut.
“Han,” panggil Danny begitu tahu kalau Hanny benar-benar tak mengacuhkannya. Gadis itu bahkan tidak meliriknya sama sekali.
“Hm.”
“Aku ke sini ingin minta maaf ...”
Hanny dengan segera berbalik menatap Danny.
Serius, orang ini akan minta maaf? Di pikirannya, pemuda seperti Danny tidak mungkin minta maaf begitu saja. Ia terlihat seperti pemuda dengan ego yang besar juga tidak mau kalah. Mustahil rasanya jika Danny meminta maaf semudah itu.
“... kepadamu.”
“Hah? Tidak salah meminta maaf kepadaku?”
Hanny tersenyum remeh. Orang seperti Danny memang tak bisa diharapkan. Ia kira awalnya Danny ingin meminta maaf pada Khaira, bukannya malah pada dirinya. Memang salah apa Danny pada Hanny, apa karena kejadian di rumah sakit?
“Aku sudah berkata kasar padamu saat di rumah sakit. Jadi aku minta maaf atas itu.”
“Kau tahu, Dan, ketimbang aku, kau harusnya minta maaf pada Khai.”
“Kenapa kau bawa-bawa dia lagi. Ini urusan kita, aku tidak mau membentakmu lagi hanya karena dia.”
Hanny kini berbalik menatap Danny yang tak habis pikir dengan ucapannya tadi. “Kau memang benar-benar bodoh, ya,” ujar Hanny kesal.
“Apa maksudmu? Dengar, aku ke sini untuk meminta maaf. Kenapa kau malah memancingku untuk marah lagi, sih?”
“Danny, kau tahu. Kau harusnya kembali ke sekolah dasar. Belajar lagi membedakan mana yang lebih besar dan kecil. Kesalahanmu kepadaku tidak ada apa-apanya dibandingkan kesalahanmu pada Khaira.”
“Aku bilang jangan—”
“Jangan pandang seseorang dari satu sisi. Karena nyatanya, koin saja punya dua sisi yang berbeda. Mulailah buka matamu pada sesuatu yang tidak kau sadari.” Hanny bicara dengan nada tegas, matanya tak kalah tajam dengan sebilah belati yang baru saja diasah.
Danny terdiam. Dia yang seorang juara kelas dua tahun berturut-turut itu bisa kalah dengan kata-kata sederhana yang Hanny ucapkan. Sama sepertinya, walau dari luar Danny begitu keras dan ambisius ia masih punya rasa sayang dan pengertian ketika berhadapan dengan ibu dan kedua saudaranya. Apalagi Hilya.
Hanny pun sama, gadis dengan bola mata kecokelatan itu terlihat amat keras pada Danny atau siapa pun di dunia ini yang berpikiran buruk terhadap Khaira. Hanny telah lelah melihat orang-orang salah paham akan keadaan yang Khaira alami saat ini dan itu membuatnya ingin melindungi Khaira bagaimana pun caranya.
“Lain kali, temui aku kalau kau sudah sadar betul apa yang jadi kesalahanmu.” Hanny berdiri begitu melihat calon penumpang lain yang telah mendekat ke arah jalanan. Waktu bus datang tinggal lima menit lagi. Namun belum juga kakinya melangkah, tangan Danny menahannya lagi. Ia masih belum puas dengan buah hasil dari hampir dua jam waktu yang ia habiskan untuk menunggu Hanny.
“Apa?” tanya Danny seraya menatap dalam ke arah mata Hanny yang seolah bersinar. “Apa ada satu saja perbuatan Khaira yang bisa membuatku sadar kalau dia memang tak seburuk yang aku kira?”
Ingin sekali Hanny berteriak pada orang satu ini kalau Khaira adalah orang yang telah menyelamatkan nyawa adiknya, tepat di depan wajah Danny sekarang juga. Namun itu bukan keputusan bijak, yang ada ia hanya akan membuat Khaira marah karena telah membocorkan sesuatu paling rahasia kepada orang yang salah.
“Apa? Katakan padaku jika memang ada!” tuntut Danny.
Hanny melarikan pandangannya, beberapa orang yang hendak menaiki bus pun tampak penasaran dengan pembicaraan dua sejoli tersebut. Hingga akhirnya dengan cepat, Hanny balik bertanya. “Kutanya, apa yang membuatmu begitu ingin aku maafkan?”
Kening Danny berkerut dalam ketika ia menerima pertanyaan lain dari Hanny . “Aku ...” pipi Danny merona seketika. Begitu memalukan ketika sadar jika di depannya sendiri ada Hanny yang menyaksikan perubahan warna di wajahnya.
Perasaan itu muncul lagi. Perasaan aneh yang selalu Danny rasakan tiap kali ia memikirkan Hanny. Apa pun tentang gadis ini selalu mampu membuat jantungnya berdebar dua kali lebih cepat. Senyumnya, bibir tipisnya, tindakannya, semuanya.
Memikirkannya terlalu jauh membuat Danny ingin merengkuh Hanny supaya dekat darinya. Itu, itu alasan Danny meminta maaf kepada Hanny. Karena ia ingin lebih dekat dengan gadis manis tersebut.
“Aku ingin, mengenalmu lebih jauh,” gumam Danny begitu lirih.
Hanny mengangkat sebelah alisnya, ia menatap wajah Danny yang menunduk. “Kau suka padaku, ya?” tanya Hanny begitu percaya diri. Lagi pula, tingkah Danny yang terlihat seperti orang linglung begitu lucu di mata Hanny.
Sementara wajah Danny telah benar-benar merah saat ini. Apakah Hanny tidak pernah diajarkan basa-basi oleh orang tuanya hingga ia dengan mudahnya berkata demikian padanya? Seringan itu, sesantai itu. Danny tak habis pikir dengan gadis itu.
“Apa aku harus menjawab yang satu itu?” gumam Danny pelan. Ia malu setengah mati.
“Baiklah, pertanyaan aku ganti. Apa yang membuatmu suka padaku?”