Khaira melewati pintu kelasnya dengan wajah tak asing di mata murid-murid yang lain. Dingin, juga datar. Semua siswa yang sudah datang seolah mengabaikannya. Mereka tengah pura-pura sibuk dengan urusan masing-masing. Khaira tidak peduli, ia lebih memilih duduk di bangku biasa tanpa mau ambil pusing dengan tingkah manusia-manusia di depan matanya.
Hari ini hari pertama Khaira masuk sekolah setelah hampir dua bulan lamanya izin sakit. Banyak yang berubah, tentu saja. Awalnya, tatapan takut dan segan akan menghujaninya ketika Khaira berjalan di koridor, kini yang ia dapat hanya sebatas lirikan meremehkan. Begitu pula dengan keadaannya di kelas.
Khaira sepenuhnya tak peduli, toh ia yakin semua itu telah mereka lakukan jauh sebelum hari ini. Bedanya sekarang mereka melakukannya secara terang-terangan.
Hari makin siang dan dua bangku di depannya tak kunjung diisi. Felix dan Jimmy belum juga datang, memunculkan sebuah tanda tanya besar dalam benak Khaira.
“Kasihan sekali, sekarang dia sendirian,” ucap seorang murid yang berada di barisan paling depan.
“Huh, lagi pula siapa suruh punya wajah tebal. Kalau aku jadi dia, aku sudah operasi plastik dan mencari tempat di mana orang tidak tahu bagaimana kelakuanku di masa lalu,” timpal yang lain.
Khaira tahu yang mereka bicarakan itu dirinya. Bagaimana pun, Felix sering bercerita kalau semenjak Khaira tidak sekolah, banyak murid yang makin berani, jadi hal itu bukan sesuatu yang bisa membuatnya terkejut.
Saat itu Khaira hanya bisa tersenyum menanggapinya. Namun kali ini, ketika ia mendengar dengan telinganya sendiri, Khaira tak bisa lagi menjabarkan bagaimana hatinya. Terluka, tentu saja.
“Jimmy menjauhinya, Felix juga sudah kehilangan kekuasaan karena ayahnya masuk penjara. Tidak akan ada yang membelanya sekarang, kasihan sekali.”
Entah apa yang mereka katakan lagi selanjutnya, karena begitu seseorang duduk di kursi yang ada di depannya, suara para siswa itu mendadak tergantikan oleh sebuah instrumen lagu keras. Suara drum dan gitar listrik saling bersahutan, membuat dahi Khaira berkerut tak suka.
“Astaga, wajahmu,” ucap seseorang di depannya tersamarkan oleh musik ribut tersebut.
Khaira segera melepaskan earphonenya dan menatap kesal ke arah Felix . “Apa-apaan tadi itu? Kau ingin membuat telingaku tuli?”
“Pakailah lagi. Kadang, ucapan seseorang lebih menyakiti telingamu ketimbang musik metal paling berisik di seluruh dunia,” ucap Felix kencang. Entah apa maksudnya, tapi jika ia berniat membungkam mulut-mulut nakal di sekitar mereka, ia berhasil.
Namun bukan itu yang jadi pusat pikiran gadis manis itu sekarang. Ia ingat seorang dari mereka sempat membicarakan ayah Felix, membuat rasa penasaran mendobrak kasar mulutnya untuk bertanya.
Khaira pun menarik Felix keluar. Mereka berjalan di sepanjang koridor yang mulai sepi, rata-rata siswa yang sudah datang akan segera masuk dan membuka kembali buku mata pelajaran yang akan diajarkan oleh guru mereka sebentar lagi. Hingga jarang terlihat siswa-siswa berkerumun di depan kelas.
“Kenapa, sih?” tanya Felix tidak mengerti, karena Khaira menatapnya sudah seperti seorang tukang jagal sapi yang tengah memelototi sapi potongnya.
“Kau, semenjak aku di rumah sakit, berapa banyak rahasia yang kau sembunyikan dariku?” tanya Khaira dengan nada menuduh.
“Heh, apa maksudmu?” balas Felix. Kedua bola matanya berlarian mencari tempat persembunyian. Ke mana saja, asal jangan ke arah mata Khaira yang begitu tajam mematainya.
“Aku dengar ayahmu di penjara. Kenapa?” tanya Khaira pelan-pelan. Ia takut ucapannya menyakiti hati Felix.
Lantas bukannya menjawab, Felix malah tertawa kencang. “Sungguh Khai, dia pantas mendapatkannya.”
Khaira terlihat kesal dengan respons sahabatnya. Hingga ia tanpa takut sedikit pun mencubit perut sahabatnya itu dengan cukup kencang.
“Aku serius!” pekik Khaira geram.
“Ah! Ah! Ah! Iya-iya, aku jawab,” ucap Felix, membuat Khaira dengan terpaksa melepaskan cubitannya.
Mereka akhirnya duduk bersandar di sebuah pohon dekat lapangan olahraga. Hanya itu satu-satunya tempat yang tak dilalui anak-anak ketika pagi hari.
“Jadi kenapa?”
“Dia membunuh ibuku,” jawab Felix ringan.
Khaira segera menoleh, ia mendapati tatapan Felix yang lurus ke depan tanpa ekspresi. Namun luka disorot mata itu tak pernah bisa membohongi Khaira. Ia tahu seberapa bencinta Felix pada ayah dan ibunya, hanya saja saat keadaan telah seperti ini, sudah pasti hati pemuda itu pun merasakan perih yang cukup untuk membuat dadanya sesak.
“Kau serius?” tanya gadis itu.
Kini giliran Felix yang menoleh ke arah Khaira. Ia tersenyum, namun amat perih. “Aku tak pernah mau mainmain dengan kematian.” Pemuda yang lebih tua beberapa bulan dari Khaira itu mengambil napas panjang dan dengan pasrah mengembuskannya lagi. “Sesakit apa pun luka yang ayah berikan padaku lewat pukulan juga tamparannya dulu, rasanya tak sesakit ketika aku melihat dia menyiksa ibuku. Dan bodohnya aku tak bisa melakukan apa pun.”
Felix tertunduk. Akhirnya, akhirnya setelah sekian lama ia memendamnya sendiri kini Felix bisa menceritakan semua kesakitannya pada Khaira.
“Aku memang membenci mereka. Tapi ketika salah satu dari mereka pergi, aku juga merasa sedih. Bersama mereka pun aku masih merasa kesepian, bagaimana saat ini, ketika mereka benar-benar menghilang. Aku tidak punya tumpuan lagi.”
Tak bisa Felix dan Khaira cegah, air mata keduanya turun tanpa diinginkan. Namun pada saat itu juga Khaira mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Felix. Ibu jarinya mengusap pelan punggung tangan Felix yang dingin.
“Kau masih memilikiku. Kita akan saling topang, aku akan ada untukmu. Begitu pun kau, kau harus selalu ada juga untukku. Kita teman selamanya,” kata Khaira. Genggaman tangannya semakin erat di tangan Felix. Ia berusaha melakukan hal yang sama dengan yang pernah pemuda itu lakukan kepadanya dulu.
“Sebelum aku operasi, kau yang bilang seperti itu padaku. Jadi sekarang, izinkan aku mengucapkan hal yang sama kepadamu.”
Felix menatap lama mata Khaira yang jernih. Ia sadar kalau sekarang hidup Khaira telah berubah secara perlahan. Khaira menemukan kebahagiaannya. Namun walau begitu, ia tak pernah sedikit pun terlihat ingin meninggalkan Felix.
“Terima kasih, Khai.”
“Tak perlu, melihatmu kuat bagiku sudah lebih dari cukup daripada terima kasih. Kita harus bangkit lagi, walau sulit, jika melewatinya sama-sama aku rasa tidak akan memakan banyak tenaga.”
Khaira tersenyum, walau matanya masih tak bisa menghentikan tangis yang entah kenapa berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Karena tak selamanya tangis adalah luka. Mungkin memang benar, tangis bukanlah jalan keluar. Tapi, tangis akan menjadi pembasuh perih yang ampuh. Yang akan mengalirkan hangat ke seluruh tubuh, menjadi obat walau sementara. Tapi setidaknya, ketika kesedihan mengalir bersama air mata, mereka bisa berpikir sedikit lebih jernih.
Tak ubahnya seperti udara kotor yang terhapus oleh air hujan.
***
Jimmy berjalan tanpa arah. Ia mendengar semuanya. Semua yang dibicarakan oleh Felix dan Khaira di depan lapangan. Mereka berdua benar-benar hancur dan Jimmy dengan tega meninggalkan dua sahabatnya itu.