Joseph berlari memacu langkahnya secepat yang ia bisa. Beberapa petugas rumah sakit bahkan tak luput dari serudukannya. Ia benar-benar tak bisa mengontrol kakinya untuk saat ini. Kekhawatiran juga rasa cemas berkumpul menjadi satu dalam dadanya, mengaduk-aduk perasaan-perasaan itu hingga tak keruan.
Saat ini, yang ingin ia temui hanya Khaira. Ia hanya ingin memastikan kalau gadis itu baik-baik saja.
“Mana Khaira?” tanya Joseph pada Jimmy yang tengah duduk terdiam di depan ruang gawat darurat.
Matanya kosong, ia sama sekali tak menghiraukan Joseph yang hampir meledak di depannya. Untung saja saat itu seorang dokter keluar. Joseph dibawa ke suatu tempat untuk mendiskusikan keadaan Khaira. Sementara Jimmy tetap di sana. Tangannya meremas dua buah ransel penuh darah milik Khaira dan Felix. Ia duduk diam bersama kebingungan yang menyerang kepalanya.
Jimmy melihatnya, melihat bagaimana kedua temannya itu jatuh bergulingan ke dasar tangga. Namun dalam keadaan seperti itu ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa terdiam sampai orang-orang mengerubungi mereka. Jimmy benar-benar merasa tak berguna sekarang. Ia hanya bisa menangis dalam diam dengan tangan yang masih memeluk erat ransel mereka berdua.
Ia tak mau kehilangan mereka. Jimmy tak bisa membayangkan jika itu sungguh terjadi. Hidupnya hanya akan terisi oleh rasa bersalah yang mendalam.
Kenan datang ketika Jimmy masih dalam keadaan gamang. Ia berjalan pelan, berbeda dengan Joseph yang grasah-grusuh. Matanya menatap nanar ke arah ruangan di mana Khaira dan Felix berada dengan tatapan yang jauh dari kata tenang.
“Kenapa lagi?”
Jimmy menoleh, “Khai jatuh dari tangga.”
Kenan menoleh. “Kau teman Khai juga?”
Jimmy hanya mengangguk. Masih terasa ragu mengakui diri sebagai teman gadis itu. Ia merasa tak pantas, tapi Jimmy tak tahu harus berkata apa.
“Kau yang mengantarkan Khai ke sini?”
“Ya, aku menemani mereka berdua.”
“Khai beruntung, memiliki sepertimu. Beberapa orang menganggap orang lain teman, tapi tak jarang mereka datang hanya jika sedang membutuhkan.”
“Aku juga bukan teman yang baik. Aku, sama piciknya dengan mereka.”
Jimmy benar-benar merasa kalau semua ini adalah hukuman Tuhan kepadanya. Ia yang telah menyia-nyiakan Khaira dan Felix selama ini, tapi tetap merasa tak rela jika Tuhan hendak mengambil kembali teman-temannya itu. Bayangkan betapa egoisnya ia sekarang, membuat Jimmy ingin bertukar posisi dengan salah satu dari keduaa temannya.
“Tapi aku rasa, kau bukan Kakak yang jahat?” Jimmy kembali menoleh, ia menatap lamat-lamat pada mata Kenan yang masih belum fokus, seperti berlarian berusaha mencari sebuah jawaban.
“Kau pasti tahu bagaimana aku memerlukan Khai dulu. Itu tak ada seujung kuku pun dari kesalahanmu.”
“Khai bilang kalau Kak Kenan adalah kakak paling hebat yang pernah ia miliki.”
Ucapan Jimmy yang spontan itu turut menyeret rasa penasaran Kenan. Hingga pria itu, untuk pertama kalinya, melepaskan pandangannya dari pintu berkaca buram yang sedari tadi ia tatap ke arah Jimmy yang ada di sampingnya.
“Kakak bisa membuat Khai tersenyum hanya dengan mendengar suaramu. Kakak bisa membuat mood Khaira naik hanya dengan melihatmu di sebuah papan iklan. Sebesar itu cinta Khai padamu Kak, dan aku harap Kakak tak pernah menyia-nyiakan rasa cinta itu lagi. Sepertiku ...” Air mata Jimmy turun lagi tanpa di perintah. “ … Aku telah menyianyiakan rasa cinta Khai dan Felix. Dan aku menyesal ... aku ... aku menyesal ... untuk itu.” Jimmy meremas rambutnya, membuat ransel kedua sahabatnya itu jatuh.
Kenan yang sedari tadi telah larut dalam kesedihannya mendekat ke arah Jimmy. Ia merangkul pemuda itu, berusaha membagi ketakutan bersamanya.
***
Hilya masih berdiri di depan rumah mereka. Ia menunggu kakaknya pulang bersama Ersa yang langsung datang ke sekolah ketika guru konseling menelepon.
Hilya sama sekali tak tahu apa yang terjadi di sekolah setelah ia dipaksa pulang. Hanya saja, begitu Danny terlihat memasuki pelataran rumah mereka, ia langsung menghadiahi kakak keduanya itu dengan sebuah tonjokan telak di sisi kiri pipinya.
“Hilya, apa-apaan kau ini!” lerai Ersa. Ia tak pernah melihat Hilya seperti ini, membuatnya kembali mempertanyakan kesaksian Danny ketika mereka masih di sekolah tadi.
Adiknya mengalami penindasan, tindakan Danny hanya semata-mata sebagai tindak pembelaan, begitu katanya tadi.
“Kenapa Kakak jahat sekali,” ucap Hilya seraya memukuli dada Danny dengan kekuatan tak main-main.
“Hei, hei Hilya , kita bicarakan ini di dalam rumah, jangan di sini.”
“Bicarakan apa lagi? Apa yang harus kita bicarakan? Sudah jelas-jelas dia yang salah. Apa yang perlu kita cari lagi pembenarannya?”
“Danny berusaha melindungimu. Apa itu salah?” tanya Ersa berusaha menenangkan adiknya.
“Hah? Melindungiku?” Hilya membelalakkan matanya, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan Ersa. “Melindungiku dari apa, Kak? Harusnya aku melindungi diriku sendiri dari orang seperti dia.”
“Mereka berusaha menyakitimu, apa kau tidak sadar?” kata Danny pada akhirnya. Ia masih berjuang membenarkan tindakannya, walau dalam hatinya sendiri Danny merasa ragu.
“Atas dasar apa Kakak bicara seperti itu? Nyatanya tidak mungkin seseorang yang nyawanya untuk menyelamatkanku, menyakitiku di hari yang lain. Jangan konyol.”
“Jimmy memang pernah menyelamatkanmu sekali tapi—” sangkal Danny yang langsung dipotong perkataan Hilya.
“Yang aku bicarakan bukan Kak Jim, tapi Kak Khai.”
“Hah?” Danny tentu saja tersikap tak habis pikir. “Jangan bercanda.”
Kini sekarang giliran Hilya yang tertawa keras. “Apa Kakak tidak pernah penasaran ginjal siapa yang ada di dalam tubuhku sekarang?”
Saat itu, Danny bungkam. Pikirannya kosong. Namun satu nama tiba-tiba muncul begitu saja, tanpa sebuah pertanda, tanpa sebuah aba-aba. Membuat seluruh persendian Danny mati rasa.
Tidak mungkin, tidak mungkin Khai, kan?
***
Khai tampak sedang tertidur begitu lelap, terlihat damai ketika Kenan masuk ke dalam ruangannya dengan baju steril khas rumah sakit.
Air mata Kenan telah berkumpul di pelupuk matanya, tapi ia segera menengadahkan kepalanya berusaha menghalau mereka berjatuhan. Ini bukan saatnya, dia tak boleh begitu saja menangis di hadapan Khaira. Pikirnya, ia harus kuat untuk adiknya.
Maka Kenan tersenyum, dan membelai rambut Khaira. Tidak dengan dahinya yang masih terbalut perban. Luka di sana memang tak begitu parah, tapi tetap saja Kenan merasa bersalah melihatnya.
“Khai, kau harus tahu. Banyak yang sedih kalau kau terus seperti ini. Tadi Hanny datang dan menangis hingga napasnya habis. Joseph juga tak tidur semalaman, begitu juga dengan Jimmy, dia sepertinya sedih sekali.” Kenan menjeda, ia mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.
“Felix ...” pemuda itu tertunduk sambil menggigit bibirnya. Keraguan tergambar jelas di wajah Kenan. Namun tak lama ia kembali duduk tegak memandang ke arah Khaira yang seolah tidak terganggu dengan kedatangannya. “... dia akan sangat kecewa jika kau tidak sembuh. Jadi cepatlah bangun, aku dan yang lainnya menunggu,” tutupnya dengan kepala tertunduk.
Sesekali Kenan mengusap kepala Khaira juga tangannya. Kenan amat menyesali keputusannya di masa lalu untuk meninggalkan Khaira dan baru kembali ketika keadaan sudah separah ini.
“Mulai sekarang jangan pernah kesepian lagi. Setiap kau sendiri Kakak akan datang tak peduli Joe mengizinkan atau tidak. Kakak janji akan menjadi kakak yang lebih baik untukmu. Jadi cepat sembuh dan kita habiskan waktu kita lagi, dengan Kakek juga.”
Setelahnya, tak ada suara. Kenan hanya diam memandangi Khaira yang terlelap
“Permisi Tuan, waktu jenguk Anda sudah habis,” ucap seorang perawat dari arah pintu, menyadarkan Kenan pada waktu yang tak terasa cepat berlalu.